Kamis, 31 Mei 2012

Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia, Rendra

Aku tulis sajak ini di bulan gelap raja-raja
Bangkai-bangkai bergeletak lengket di aspal jalan
Amarah merajalela tanpa alamat
Ketakutan muncul dari sampah kehidupan
Pikiran kusut membentur simpul-simpul sejarah

O, zaman edan!
O, malam kelam pikiran insan!
Koyak-moyak sudah keteduhan tanpa kepercayaan
Kitab undang-undang tergeletak di selokan
Kepastian hidup terhuyung-huyung dalam comberan

O, tatawarna fatamorgana kekuasaan!
O, sihir berkilauan dari mahkota raja-raja!
Berhentilah mencari ratu adil!
Dari sejak zaman Ibrahim dan Musa
Allah selalu mengingatkan
bahwa hukum harus lebih tinggi
dari keinginan para politisi, raja-raja, dan tentara

O, kebingungan yang muncul dari kabut ketakutan!
O, rasa putus asa yang terbentur sangkur!
Berhentilah mencari ratu adil!
RAtu adil itu tidak ada! RAtu adil itu tipu daya!
Apa yang harus kita tegakkan bersama
adalah Hukum Adil
Hukum Adil adalah bintang pedoman di dalam prahara

Bau anyir darah yang kini memenuhi udara
menjadi saksi yang akan berkata:
Apabila pemerintah sudah menjarah Daulat Rakyat
apabila cukong-cukong sudah menjarah ekonomi bangsa
apabila aparat keamanan sudah menjarah keamanan
maka rakyat yang tertekan akan mencontoh penguasa
lalu menjadi penjarah di pasar dan jalan raya

Wahai, penguasa dunia yang fana!
Wahai, jiwa yang tertenung sihir tahta!
Apakah masih buta dan tuli di dalam hati?
Apakah akan meniru diri sendiri?
Apabila saran akal sehat kamu remehkan
berarti pintu untuk pikiran-pikiran kalap
yang akan muncul dari sudut-sudut gelap
telah kamu bukakan!

Cadar kabut duka cita menutup wajah Ibu Pertiwi
Air mata mengalir dari sajak ini.


Anak

anak dipandang
masa depan tampak

anak dipandang
segala usaha kelihatan

anak jadi tenaga
anak jadi semangat

untuk anak segala diusaha
segala dicoba

anak
akankah bakti membalas

pada-Nya saja semua disandar

Terus

maju
terus
melangkah
terus

biar tertatih
biar letih
biar pedih
biar risih

jangan henti
jangan pasi

jangan mati
sebelum pasti

Rabu, 30 Mei 2012

ABG

abege
menggila

kurang akal
kurang ilmu
kurang agama

jumpalitan di udara hampa
mengejar burung terbang tinggi
mengejar rusa berlari kencang
mengejar harimau di tengah hutan

abege lupa diri lupa daratan
mencoreng arang di kening
mencabik baju di dada
menusuk belati ke dada

abege
Akhirnya BEgini  ya GEmana lagi

Perasaan Seni, J.E. Tatengkeng


Bagaikan banjir gulung-gemulung,
Bagaikan topan seruh-menderuh,
Demikian rasa,
datang semasa,
Mengalir, menimbun, mendesak, mengepung,
Memenuhi sukma, menawan tubuh.
Serasa manis sejuknya embun,
Selagu merdu dersiknya angin,
Demikian rasa,
datang semasa,
Membisik, mengajak, aku berpantun,
Mendayung jiwa ke tempat diingin.
Jika kau datang sekuat raksasa,
Atau kau menjelma secantik juita,
Kusedia hati,
Akan berbakti,
Dalam tubuh Kau berkuasa,
Dalam dada Kau bertakhta       J.E. Tatengkeng

Bukan Beta Bijak Berperi, Rustam Efendi


Bukan beta bijak berperi,
Pandai mengubah madahan syair,
Bukan beta budak negeri,
Mesti menurut undangan mair.
Sarat saraf saya mungkiri,
Untai rangkaian seloka lama,
Berai buang berai singkiri,
Sebab laguku menurut sukma.
Susah sungguh saya sampaikan,
Degup-degupan di dalam kalbu,
Lemah laun lagi degungan,
Matnya digamat rasaian waktu.
Sering saya susah sesaat,
Sebab madahan tidak nak datang,
Sering saya sulit menekat,
Sebab terkurang lukisan memang.
Bukan beta bijak berlagu,
Dapat melemah bingkaian pantun,
Bukan beta berbuat baru,
Hanya mendengar bisikan alun.
(Rustam Effendi)

Bu Guru

bu guru
pergi pagi pulang sore
sampai di rumah bekerja keras
mengurus suami dan anak
memasak
mencuci
membersihkan rumah

anak dan bapak bertanding
yang paling rewel
yang paling bisa mencari perhatian

bu guru
lelah tentu menerpa
hari berlalu tanpa terasa

bu guru
tertatih dalam pengabdian
tanpa harga
 tanpa harta

Kawan

pada kawan
yang di sana
yang aku hendak sampaikan sesuatu
yang aku tak tahu

pada kawan
ingatlah akan dulu
saat putih masih bercahaya
saat kilau menyilau
saat jernih mewarna

kawan
aku di sana tak mau pergi
walau aku harus pergi

ke suatu tempat dan masa

hitam gelam
gelap belap
kelam malam
gulita bulita


suatu masa yang mesti aku lari
tapi tak bisa
aku lari
aku lumpuh
diikat

kawan
semoga
masa itu
jadi saksi

siapa

yang berdiri dalam diam
siapa

yang tepaku dalam sunyi
siapa

yang tertegak tak bergerak
siapa

yang terkenang banyak masa dan cerita
siapa

yang teringat akan dosa dan terus menambahnya
siapa


yang terus merasa takut
dalam kesendirian
tapi ia tak berkawan
ia tak bisa

siapa

Selasa, 29 Mei 2012

Kepada Saudaraku M. Natsir, karya Buya Hamka

Kepada Saudaraku M. Natsir

Meskipun bersilang keris di leher
Berkilat pedang di hadapan matamu
Namun yang benar kau sebut juga benar

Cita Muhammad biarlah lahir
Bongkar apinya sampai bertemu
Hidangkan di atas persada nusa
Jibril berdiri sebelah kananmu
Mikail berdiri sebelah kiri

Lindungan Ilahi memberimu tenaga
Suka dan duka kita hadapi
Suaramu wahai Natsir, suara kaum - mu
Kemana lagi, Natsir kemana kita lagi
Ini berjuta kawan sepaham

Hidup dan mati bersama -sama
Untuk menuntut Ridha IlahiD
an aku pun masukkan
Dalam daftarmu …….!

Puisi karya Buya Hamka


Sajak Karya Hamka
.
Di atas runtuhan Melaka
Lama penyair termenung seorang diri
ingat Melayu kala jayanya
pusat kebesaran nenek bahari

Di sini dahulu laksamana Hang Tuah
satria moyang Melayu sejati
jaya perkasa gagah dan mewah
"tidak Melayu hilang di bumi"

Di sini dahulu payung berkembang
megah bendahara Seri Maharaja
bendahara cerdik tumpuan dagang
lubuk budi laut bicara

Pun banyak pula penjual negeri
mengharap emas perak bertimba
untuk keuntungan diri sendiri
biarlah bangsa menjadi hamba

Inilah sebab bangsaku jatuh
baik dahulu atau sekarang
inilah sebabnya kakinya lumpuh
menjadi budak jajahan orang

Sakitnya bangsaku bukan di luar
tapi terhunjam di dalam nyawa
walau diubat walau ditawar
semangat hancur apakan daya

Janji Tuhan sudah tajalli
mulialah umat yang teguh iman
Allah tak pernah mungkir janji
tarikh riwayat jadi pedoman

malang mujur nasibnya bangsa
turun dan naik silih berganti
terhenyak lemah naik perkasa
tergantung atas usaha sendiri

Riwayat lama tutuplah sudah
sekarang buka lembaran baru
baik hentikan termenung gundah
apalah guna lama terharu

Bangunlah kekasih ku umat Melayu
belahan asal satu turunan
bercampur darah dari dahulu
persamaan nasib jadi kenangan

Semangat yang lemah buanglah jauh
jiwa yang kecil segera besarkan
yakin percaya iman pun teguh
zaman hadapan penuh harapan

Bunga Gugur, Rendra

bunga gugur
di atas nyawa yang gugur
gugurlah semua yang bersamanya

kekasihku

bunga gugur
di atas tempatmu terkubur
gugurlah segala hal ikhwal antara kita

baiklah kita ikhlaskan saja
tiada janji 'kan jumpa di sorga
karena di sorga tiada kita 'kan perlu asmara

asmara cuma lahir di bumi
(di mana segala berujung di tanah mati)
ia mengikuti hidup manusia
dan kalau hidup sendiri telah gugur
gugur pula ia bersama-sama

ada tertinggal sedikit kenangan
tapi semata tiada lebih dari penipuan
atau semacam pencegah bunuh diri

mungkin ada pula kesedihan
itu baginya semacam harga atau kehormatan
yang sebenarnya akan berontokan

kekasihku

gugur, ya gugur
semua gugur
hidup asmara, embun di bunga
yang kita ambil cuma y ang berguna

Rumah Kelabu, karya WS Rendra

Rumah batu, rumah kelabu
begitu lapang berpenghuni satu
kesuraman merebahinya
redup lampu, denting piano

terpendam penghuninya mengurung diri
warna duka menembusi jendela
lagu piano, lelap sepi, redup lampu

racun apa mendinding dirinya
begitu benar dicintainya sepi?

pupus kepercayaan oleh ketidakabadian segala?
apa ia keliwat mencintai dirinya?
tidak dibiar satu luka di sisi bekas yang lama?
mati cita rasa bagi nikmat agung sedetik bunga?

penghuni yang mengunci diri dan hati pada sepi
di hati kutanya-tanya kapan ia bunuh diri?

rumah batu, rumah kelabu
kesuramannya tidak memberita kecuali teka-teki

Etsa, puisi karya Toto Sudarto Bachtiar

suara kasih dalam hati mendalam
kian lincah, tapi kemudian membeku
tanpa bulan, karena bulan beradu
dan hatiku sendiri kian terbenam

Merah, karya Subagio Sastrowardojo

aku suka kepada merah
karena mengingat kepada darah
yang berteriak ke arah sawang
merebut terang

darah mengalir
waktu lahir
darah mengalir
waktu akhir

darah
getah bumi
membeku
pada aku

dalam darah
berbayang
nyawa
pucat bagai siang

Catatan Masa Kecil

Karya Sapardi Djoko Damono

     Ia mengambil jalan pintas dan jarum-jarum rumput berguguran oleh langkah-langkahnya. Langit belum berubah juga. Ia membayangkan rahang-rahang laut dan rahang-rahang bunga lalu berfikir apakah burung yang tersentak dari ranting lamtara itu pernah menyaksikan rahang-rahang laut dan rahang-rahang bunga terkam-menerkam. langit belum berubah juga. Angin begitu ringan dan bisa meluncur ke mana pun dan bisa menggoda laut sehabis menggoda bunga tetapi ia bukan angin dan ia kesal lalu menyepak sebutir kerikil. Ada yang terpekik di balik semak. ia tak mendengarnya.
     Ada yang terpekik di balik semak dan gemanya menyentuh sekuntum bunga lalu tersangkut pada angin dan terbawa sampai ke laut tetapi ia tidak mendengarnya dan ia membayangkan rahang-rahang langit kalau hari hampir hujan. Ia sampai di tanggul sungai tetapi mereka yang berjanji  menemuinya di sini ternyata tak ada. Langit sudah berubah. Ia memperhatikan ekor srigunting yang senatiasa bergerak dan mereka yang berjanji mengajaknya ke seberang sungai belum juga tiba lalu ia menyaksikan butir-butir hujan  mulai jatuh ke air dan ia memperhatikan lingkaran-lingkaran itu melebar dan ia membayangkan mereka tiba-tiba mengepungnya dan melemparkannya ke air.
     Ada yang memperhatikannya dari seberang sungai tetapi ia tidak melihatnya. Ada.

Sabtu, 26 Mei 2012

Laki-Laki Sejati Cerpen Putu Wijaya


 Laki-Laki Sejati

Cerpen Putu Wijaya

Seorang perempuan muda bertanya kepada ibunya.
Ibu, lelaki sejati itu seperti apa?

Ibunya terkejut. Ia memandang takjub pada anak yang di luar pengamatannya sudah menjadi gadis jelita itu. Terpesona, karena waktu tak mau menunggu. Rasanya baru kemarin anak itu masih ngompol di sampingnya sehingga kasur berbau pesing. Tiba-tiba saja kini ia sudah menjadi perempuan yang punya banyak pertanyaan.

Sepasang matanya yang dulu sering belekan itu, sekarang bagai sorot lampu mobil pada malam gelap. Sinarnya begitu tajam. Sekelilingnya jadi ikut memantulkan cahaya. Namun jalan yang ada di depan hidungnya sendiri, yang sedang ia tempuh, nampak masih berkabut. Hidup memang sebuah rahasia besar yang tak hanya dialami dalam cerita di dalam pengalaman orang lain, karena harus ditempuh sendiri.

Kenapa kamu menanyakan itu, anakku?
Sebab aku ingin tahu.
Dan sesudah tahu?
Aku tak tahu.

Wajah gadis itu menjadi merah. Ibunya paham, karena ia pun pernah muda dan ingin menanyakan hal yang sama kepada ibunya, tetapi tidak berani. Waktu itu perasaan tidak pernah dibicarakan, apalagi yang menyangkut cinta. Kalaupun dicoba, jawaban yang muncul sering menyesatkan. Karena orang tua cenderung menyembunyikan rahasia kehidupan dari anak-anaknya yang dianggapnya belum cukup siap untuk mengalami. Kini segalanya sudah berubah. Anak-anak ingin tahu tak hanya yang harus mereka ketahui, tetapi semuanya. Termasuk yang dulu tabu. Mereka senang pada bahaya.
Setelah menarik napas, ibu itu mengusap kepala putrinya dan berbisik.

Jangan malu, anakku. Sebuah rahasia tak akan menguraikan dirinya, kalau kau sendiri tak penasaran untuk membukanya. Sebuah rahasia dimulai dengan rasa ingin tahu, meskipun sebenarnya kamu sudah tahu. Hanya karena kamu tidak pernah mengalami sendiri, pengetahuanmu hanya menjadi potret asing yang kamu baca dari buku. Banyak orang tua menyembunyikannya, karena pengetahuan yang tidak perlu akan membuat hidupmu berat dan mungkin sekali patah lalu berbelok sehingga kamu tidak akan pernah sampai ke tujuan. Tapi ibu tidak seperti itu. Ibu percaya zaman memberikan kamu kemampuan lain untuk menghadapi bahaya-bahaya yang juga sudah berbeda. Jadi ibu akan bercerita. Tetapi apa kamu siap menerima kebenaran walaupun itu tidak menyenangkan?
Maksud Ibu?
Lelaki sejati anakku, mungkin tidak seperti yang kamu bayangkan.
Kenapa tidak?

Sebab di dalam mimpi, kamu sudah dikacaukan oleh bermacam-macam harapan yang meluap dari berbagai kekecewaan terhadap laki-laki yang tak pernah memenuhi harapan perempuan. Di situ yang ada hanya perasaan keki.
Apakah itu salah?

Ibu tidak akan bicara tentang salah atau benar. Ibu hanya ingin kamu memisahkan antara perasaan dan pikiran. Antara harapan dan kenyataan.

Aku selalu memisahkan itu. Harapan adalah sesuatu yang kita inginkan terjadi yang seringkali bertentangan dengan apa yang kemudian ada di depan mata. Harapan menjadi ilusi, ia hanya bayang-bayang dari hati. Itu aku mengerti sekali. Tetapi apa salahnya bayang-bayang? Karena dengan bayang-bayang itulah kita tahu ada sinar matahari yang menyorot, sehingga berkat kegelapan, kita bisa melihat bagian-bagian yang diterangi cahaya, hal-hal yang nyata yang harus kita terima, meskipun itu bertentangan dengan harapan.
Ibunya tersenyum.
Jadi kamu masih ingat semua yang ibu katakan?
Kenapa tidak?
Berarti kamu sudah siap untuk melihat kenyataan?
Aku siap. Aku tak sabar lagi untuk mendengar. Tunjukkan padaku bagaimana laki-laki sejati itu.

Ibu memejamkan matanya. Ia seakan-akan mengumpulkan seluruh unsur yang berserakan di mana-mana, untuk membangun sebuah sosok yang jelas dan nyata.

Laki-laki yang sejati, anakku katanya kemudian, adalah… tetapi ia tak melanjutkan.
Adalah?
Adalah seorang laki-laki yang sejati.
Ah, Ibu jangan ngeledek begitu, aku serius, aku tak sabar.

Bagus, Ibu hanya berusaha agar kamu benar-benar mendengar setiap kata yang akan ibu sampaikan. Jadi perhatikan dengan sungguh-sungguh dan jangan memotong, karena laki-laki sejati tak bisa diucapkan hanya dengan satu kalimat. Laki-laki sejati anakku, lanjut ibu sambil memandang ke depan, seakan-akan ia melihat laki-laki sejati itu sedang melangkah di udara menghampiri penjelmaannya dalam kata-kata.
Laki-laki sejati adalah…
Laki-laki yang perkasa?!

Salah! Kan barusan Ibu bilang, jangan menyela! Laki-laki disebut laki-laki sejati, bukan hanya karena dia perkasa! Tembok beton juga perkasa, tetapi bukan laki-laki sejati hanya karena dia tidak tembus oleh peluru tidak goyah oleh gempa tidak tembus oleh garukan tsunami, tetapi dia harus lentur dan berjiwa. Tumbuh, berkembang bahkan berubah, seperti juga kamu.
O ya?

Bukan karena ampuh, bukan juga karena tampan laki-laki menjadi sejati. Seorang lelaki tidak menjadi laki-laki sejati hanya karena tubuhnya tahan banting, karena bentuknya indah dan proporsinya ideal. Seorang laki-laki tidak dengan sendirinya menjadi laki-laki sejati karena dia hebat, unggul, selalu menjadi pemenang, berani dan rela berkorban. Seorang laki-laki belum menjadi laki-laki sejati hanya karena dia kaya-raya, baik, bijaksana, pintar bicara, beriman, menarik, rajin sembahyang, ramah, tidak sombong, tidak suka memfitnah, rendah hati, penuh pengertian, berwibawa, jago bercinta, pintar mengalah, penuh dengan toleransi, selalu menghargai orang lain, punya kedudukan, tinggi pangkat atau punya karisma serta banyak akal. Seorang laki-laki tidak menjadi laki-laki sejati hanya karena dia berjasa, berguna, bermanfaat, jujur, lihai, pintar atau jenius. Seorang laki-laki meskipun dia seorang idola yang kamu kagumi, seorang pemimpin, seorang pahlawan, seorang perintis, pemberontak dan pembaru, bahkan seorang yang arif-bijaksana, tidak membuat dia otomatis menjadi laki-laki sejati!
Kalau begitu apa dong?

Seorang laki-laki sejati adalah seorang yang melihat yang pantas dilihat, mendengar yang pantas didengar, merasa yang pantas dirasa, berpikir yang pantas dipikir, membaca yang pantas dibaca, dan berbuat yang pantas dibuat, karena itu dia berpikir yang pantas dipikir, berkelakuan yang pantas dilakukan dan hidup yang sepantasnya dijadikan kehidupan.
Perempuan muda itu tercengang.
Hanya itu?
Seorang laki-laki sejati adalah seorang laki-laki yang satu kata dengan perbuatan!
Orang yang konsekuen?
Lebih dari itu!
Seorang yang bisa dipercaya?
Semuanya!
Perempuan muda itu terpesona.

Apa yang lebih dari yang satu kata dan perbuatan? Tulus dan semuanya? Ahhhhh! Perempuan muda itu memejamkan matanya, seakan-akan mencoba membayangkan seluruh sifat itu mengkristal menjadi sosok manusia dan kemudian memeluknya. Ia menikmati lamunannya sampai tak sanggup melanjutkan lagi ngomong. Dari mulutnya terdengar erangan kecil, kagum, memuja dan rindu. Ia mengalami orgasme batin.

Ahhhhhhh, gumannya terus seperti mendapat tusukan nikmat. Aku jatuh cinta kepadanya dalam penggambaran yang pertama. Aku ingin berjumpa dengan laki-laki seperti itu. Katakan di mana aku bisa menjumpai laki-laki sejati seperti itu, Ibu?

Ibu tidak menjawab. Dia hanya memandang anak gadisnya seperti kasihan. Perempuan muda itu jadi bertambah penasaran.
Di mana aku bisa berkenalan dengan dia?
Untuk apa?

Karena aku akan berkata terus-terang, bahwa aku mencintainya. Aku tidak akan malu-malu untuk menyatakan, aku ingin dia menjadi pacarku, mempelaiku, menjadi bapak dari anak-anakku, cucu-cucu Ibu. Biar dia menjadi teman hidupku, menjadi tongkatku kalau nanti aku sudah tua. Menjadi orang yang akan memijit kakiku kalau semutan, menjadi orang yang membesarkan hatiku kalau sedang remuk dan ciut. Membangunkan aku pagi-pagi kalau aku malas dan tak mampu lagi bergerak. Aku akan meminangnya untuk menjadi suamiku, ya aku tak akan ragu-ragu untuk merayunya menjadi menantu Ibu, penerus generasi kita, kenapa tidak, aku akan merebutnya, aku akan berjuang untuk memilikinya.
Dada perempuan muda itu turun naik.

Apa salahnya sekarang wanita memilih laki-laki untuk jadi suami, setelah selama berabad-abad kami perempuan hanya menjadi orang yang menunggu giliran dipilih?
Perempuan muda itu membuka matanya. Bola mata itu berkilat-kilat. Ia memegang tangan ibunya.
Katakan cepat Ibu, di mana aku bisa menjumpai laki-laki itu?
Bunda menarik nafas panjang. Gadis itu terkejut.
Kenapa Ibu menghela nafas sepanjang itu?
Karena kamu menanyakan sesuatu yang sudah tidak mungkin, sayang.
Apa? Tidak mungkin?
Ya.
Kenapa?
Karena laki-laki sejati seperti itu sudah tidak ada lagi di atas dunia.
Oh, perempuan muda itu terkejut.
Sudah tidak ada lagi?
Sudah habis.
Ya Tuhan, habis? Kenapa?
Laki-laki sejati seperti itu semuanya sudah amblas, sejak ayahmu meninggal dunia.
Perempuan muda itu menutup mulutnya yang terpekik karena kecewa.
Sudah amblas?

Ya. Sekarang yang ada hanya laki-laki yang tak bisa lagi dipegang mulutnya. Semuanya hanya pembual. Aktor-aktor kelas tiga. Cap tempe semua. Banyak laki-laki yang kuat, pintar, kaya, punya kekuasaan dan bisa berbuat apa saja, tapi semuanya tidak bisa dipercaya. Tidak ada lagi laki-laki sejati anakku. Mereka tukang kawin, tukang ngibul, semuanya bakul jamu, tidak mau mengurus anak, apalagi mencuci celana dalammu, mereka buas dan jadi macan kalau sudah dapat apa yang diinginkan. Kalau kamu sudah tua dan tidak rajin lagi meladeni, mereka tidak segan-segan menyiksa menggebuki kaum perempuan yang pernah menjadi ibunya. Tidak ada lagi laki-laki sejati lagi, anakku. Jadi kalau kamu masih merindukan laki-laki sejati, kamu akan menjadi perawan tua. Lebih baik hentikan mimpi yang tak berguna itu.
Gadis itu termenung. Mukanya nampak sangat murung.
Jadi tak ada harapan lagi, gumamnya dengan suara tercekik putus asa. Tak ada harapan lagi. Kalau begitu aku patah hati.
Patah hati?
Ya. Aku putus asa.
Kenapa mesti putus asa?
Karena apa gunanya lagi aku hidup, kalau tidak ada laki-laki sejati?
Ibunya kembali mengusap kepala anak perempuan itu, lalu tersenyum.

Kamu terlalu muda, terlalu banyak membaca buku dan duduk di belakang meja. Tutup buku itu sekarang dan berdiri dari kursi yang sudah memenjarakan kamu itu. Keluar, hirup udara segar, pandang lagit biru dan daun-daun hijau. Ada bunga bakung putih sedang mekar beramai-ramai di pagar, dunia tidak seburuk seperti yang kamu bayangkan di dalam kamarmu. Hidup tidak sekotor yang diceritakan oleh buku-buku dalam perpustakaanmu meskipun memang tidak seindah mimpi-mimpimu. Keluarlah anakku, cari seseorang di sana, lalu tegur dan bicara! Jangan ngumpet di sini!
Aku tidak ngumpet!
Jangan lari!
Siapa yang lari?
Mengurung diri itu lari atau ngumpet. Ayo keluar!
Keluar ke mana?
Ke jalan! Ibu menunjuk ke arah pintu yang terbuka. Bergaul dengan masyarakat banyak.
Gadis itu termangu.
Untuk apa? Dalam rumah kan lebih nyaman?
Kalau begitu kamu mau jadi kodok kuper!
Tapi aku kan banyak membaca? Aku hapal di luar kepala sajak-sajak Kahlil Gibran!

Tidak cukup! Kamu harus pasang omong dengan mereka, berdialog akan membuat hatimu terbuka, matamu melihat lebih banyak dan mengerti pada kelebihan-kelebihan orang lain.
Perempuan muda itu menggeleng.
Tidak ada gunanya, karena mereka bukan laki-laki sejati.
Makanya keluar. Keluar sekarang juga!
Keluar?
Ya.

Perempuan muda itu tercengang, suara ibunya menjadi keras dan memerintah. Ia terpaksa meletakkan buku, membuka earphone yang sejak tadi menyemprotkan musik R & B ke dalam kedua telinganya, lalu keluar kamar.

Matahari sore terhalang oleh awan tipis yang berasal dari polusi udara. Tetapi itu justru menolong matahari tropis yang garang itu untuk menjadi bola api yang indah. Dalam bulatan yang hampir sempurna, merahnya menyala namun lembut menggelincir ke kaki langit. Silhuet seekor burung elang nampak jauh tinggi melayang-layang mengincer sasaran. Wajah perempuan muda itu tetap kosong.
Aku tidak memerlukan matahari, aku memerlukan seorang laki-laki sejati, bisiknya.
Makanya keluar dari rumah dan lihat ke jalanan!
Untuk apa?

Banyak laki-laki di jalanan. Tangkap salah satu. Ambil yang mana saja, sembarangan dengan mata terpejam juga tidak apa-apa. Tak peduli siapa namanya, bagaimana tampangnya, apa pendidikannya, bagaimana otaknya dan tak peduli seperti apa perasaannya. Gaet sembarang laki-laki yang mana saja yang tergapai oleh tanganmu dan jadikan ia teman hidupmu!

Perempuan muda itu tecengang. Hampir saja ia mau memprotes. Tapi ibunya keburu memotong. Asal, lanjut ibunya dengan suara lirih namun tegas, asal, ini yang terpenting anakku, asal dia benar-benar mencintaimu dan kamu sendiri juga sungguh-sungguh mencintainya. Karena cinta, anakku, karena cinta dapat mengubah segala-galanya.
Perempuan muda itu tercengang.

Dan lebih dari itu, lanjut ibu sebelum anaknya sempat membantah, lebih dari itu anakku, katanya dengan suara yang lebih lembut lagi namun semakin tegas, karena seorang perempuan, anakku, siapa pun dia, dari mana pun dia, bagaimana pun dia, setiap perempuan, setiap perempuan anakku, dapat membuat seorang lelaki, siapa pun dia, bagaimana pun dia, apa pun pekerjaannya bahkan bagaimana pun kalibernya, seorang perempuan dapat membuat setiap lelaki menjadi seorang laki-laki yang sejati! ***Denpasar, akhir 2004

Inyik Lunak Si Tukang Canang

Inyik Lunak Si Tukang Canang
AA Navis

Pada  masa PRRI, Otang, teman Si Dali, pulang  kampung. Seperti  banyak  orang lain sebelum APRI  menyerbu.
  Otang seorang gembong. Juga bukan pegawai  negeri. Kalau Otang pulang kampung juga, hanyalah karena alasan  khusus. Katanya,  karena solider pada Pak Natsir, tokoh  idolanya, yang  mengirimnya magang di peternakan  Amerika di Florida selama  setahun. Tapi pengetahuan peternakannya itu  tidak bisa  dipraktikkan di kampungnya. Selain  hambatan  sosial        budaya, juga oleh masalah modal. Karena itu  dia  menetap saja  di Jakarta. Menunggu perobahan kondisi  dan  situasi yang akan dapat mengangkat martabat dirinya.

Katanya,  betapa dia tidak akan solider. Dari  seorang berayah pemilik warung, lalu berkesempatan melihat Amerika yang  serba wah seperti yang diangankannya  ketika  nonton film-filmnya. Bahkan  lebih daripada solider  itu,  ialah karena perasaan malu pada diri sendiri bila tidak solider. Otang menikah sebelum dia ke Amerika. Alasan orang tuanya  di kampung, agar Otang tidak kecantol pada  gadis di sana, lalu tidak mau pulang lagi. Pada mulanya Otang keberatan.  Namun  segera saja dia setuju  demi  ketemu  calon istri yang secantik bintang film Titien Sumarni. Bedanya hanya  tanpa tahi lalat di bibir atas. Ketika  kembali  ke kampung karena ikut PRRI, dia sudah punya dua  anak.  Dan selama  di kampung dia tidak bekerja apapun. Memang  tidak ada  yang bisa dikerjakannya. Karena semenjak  sekolah  di kampung sampai ke Amerika pun dia tidak belajar untuk bekerja. Dia belajar untuk jadi orang tahu tentang  berbagai ilmu. Dalam masa perang ilmu tidak berguna. Yang  diperlukan, kalau tidak senjata, ya akal. Minimal akal-akalan.

Tibalah masanya kampung Otang diduduki APRI. Oleh  APRI disebut dibebaskan. Maka tiba pulalah masanya Otang  harus bekerja memegang pacul. Yaitu bergotong-royong massal  dan        ronda malam di kecamatan. Di kala gotong-royong semua lakki-laki berbaur. Apa orang tua, apa petani, apa guru, apa haji,  apa datuk, apalagi orang semacam Otang. Bagi  Otang sekali mengayunkan pacul, melepuhlah telapak tangannya. Telapak tangan melepuh, tidak dapat dijadikan alasan istirahat dari bergotong-royong. 

Yang  jadi  komandan APRI di kecamatan  itu  berjabatan Bintara  Urusan Teritorial, kronimnya Buter. Talib namanya. Sersan  Mayor pangkatnya. Orangnya  berbobot besar. Bedegab, kata penduduk. Suaranya bariton. Jika  berteriak, kecutlah semua orang. Berpacu bunyi pacul pada batu untuk mengeluarkan rumput. Lama-lama Buter Talib jarang mengawasi gotong-royong. Namun perintah gotong-royong datang  hampir  saban hari. Melalui seruan Inyik Lunak dari ujung ke ujung kampung, sambil memalu canang yang berbunyi cer cer cer. Karena pada paro bahagian canang itu sudah pecah. Dan suara  Inyik Lunak itu pun serak seperti selaput  suaranya juga pecah. 

Gotong-royong hampir setiap hari itu sangat menjengkelkan Otang. Juga semua orang. Bukan karena kehilangan waktu untuk  bekerja, juga merasa sengaja dihina  sebagai  orang taklukan. Sehingga setiap mendengar bunyi cer cer cer dari canang yang dipukul dan diiringi suara pecah Inyik  Lunak, lama-lama  berakibat pada ketidak-sukaan Otang pada  Inyik Lunak. Setiap berpapasan dengan Inyik Lunak di jalan, dia selalu melengos ke arah lain. Kalau lagi nongkrong di lepau Mak Mango di sudut pasar, lalu Inyik Lunak datang, dia buru-buru  pergi. Sebaliknya jika Inyik Lunak sudah  lebih dulu nongkrong, dia batal masuk lepau itu.

Bahkan  Otang kian mual pada Inyik Lunak setelah  tahu, apa  yang  dilakukan Buter Talib ketika  semua laki-laki bergotong-royong. Bersama salah seorang kopralnya dia  masuk kampung  keluar kampung menzinai  istri-istri  orang-orang  PRRI yang terus bertahan di pedalaman. Kopral  Jono juga berbuat yang sama. Camat Basri yang orang kampung itu sendiri pun sama dengan  yang lain dan yang lainnya lagi. Pembantu Ispektur Polisi Hartono meniduri kedua anak gadis Sudira,  Sipir Penjara. "Mau apa kita? Bilang apa kita?" itulah  kata-kata yang keluar dari mulut  penduduk  negeri yang ditaklukan itu. 

Akhirnya,  meski  tidak ikut perang, cuma  karena  rasa simpati saja, dia harus membayar mahal seperti orang  taklukan yang lain. Sengsara jugalah jadinya Otang.  Sengsara bukan karena bersimpati kepada PRRI, melainkan karena  istrinya  cantik. Atun yang semula jadi istri dibanggakan, kini menjadi ranjau darat yang membelah-belah  jantungnya. Pada waktu penduduk diperintah gotong-rotong, Buter Talib mampir ke rumah Atun. Malah Buter Talib konon pernah menginap ketika giliran Otang ronda malam.

Awal-awalnya Otang tidak tahu apa yang terjadi. Mertuanya  tidak memberi tahu. Apalagi Atun. Wajah  keruh  kedua perempuan  itu setiap Otang pulang  dari  bergotong-royong tidaklah difahami Otang. Pada mulanya memang begitu. Tapi ketika Inyik Lunah si tukang canang membisikkan agar Atun diantar ke kota, dia mulai membauni kasus yang sebenarnya. Otang mencak-mencak. Atun dicaci-maki karena tidak melawan perkosaan itu. Dia pun mengomeli ibu mertuanya yang bersekongkol. 

"Otang,  cobalah kau tempatkan dirimu sebagai si  Atun, atau  sebagai  aku sendiri ketika bencana  itu  tiba. Apa mungkin  kami melawan? Apa mestinya kami  mengadu  padamu, supaya  Si Talib yang berkuasa itu kau hajar?" kata ibu mertuanya setelah gelegak darah Otang mulai mereda.     

Otang  tidak terhibur. Setumpuk sesal menghimpit  dirinya. Menyesal dia tidak ikut memanggul senjata  melawan APRI. Kalau dia jadi tentera PRRI, pasti dia akan menembak APRI semacam Buter Talib itu. Dua hal yang tidak mampu dia sesali.  Pertama dia pulang kampung karena alasan  solider pada Pak Natsir. Kedua karena Atun begitu cantiknya. Tapi membawa  isteri dan anaknya pulang kampung karena yakin PRRI akan menang perangnya, adalah salah perhitungan  yang paling disesalinya. 

Dia  marah pada  Buter Talib. Marah sekali. Juga benci dan  jijik. Tapi nyalinya hilang demi melihat semua orang berbaju hijau, seperti Buter Talib lebih-lebih. Dia sadar, bahwa  dia bukan laki-laki yang jantan. Karena dia tidak pernah  belajar jadi jantan, sejak dari sekolah sampai  ke Florida sana. Dia hanya mendengar dan menerima  apa  kata guru dan kata buku.

Maka ketika Bupati Kasdut, teman sekolahnya dulu yang kapten  pangkat militernya, datang inspeksi ke kecamatan, Otang  menemuinya. Diceritakannya perilaku tentera pada penduduk......."Kalau cara APRI datang membebaskan daerah ini menjunjung rasa kemanusiaan berbangsa, tiga bulan saja PRRI sudah habis. Tapi karena tentera bersikap ganas, merampok, memperkosa istri-istri orang, perang akan lama. Karena  PRRI  tidak  akan menyerah  kepada musuhnya yang ganas, walaupun bertahun-tahun di hutan rimba."

"Itu dunia tentera, Otang. Risiko buruk bagi yang kalah perang. Tentera orang awak pun sama ganasnya ketika  melakukan operasi militer ke daerah lain." kata Bupati  Kasdut yang kapten itu.

"Dengan bangsa sendiri mesti berlaku ganas?"

"Itu  kebijaksanaan komando agar rakyat di daerah mana pun tidak lagi berkhayal untuk berontak."

"Menegakkan  kebijaksanaan dengan cara yang ganas itu apa APRI dapat menjadi pahlawan yang dicintai rakyat?"

"Sampai saat ini kebijaksanaan komando tidak akan berobah." kata Kapten Kasdut yang Bupati itu.

Otang  lalu  ingat slogan masa itu:  "Jika  takut  pada bedil, lari ke pangkalnya." Tak ada gunanya melawan  orang yang  sedang menang perang. Dan ketika Bupati  Kasdut kembali ke kota kabupaten, Otang minta ikut. Dan semenjak itu seisi kampung tidak ada yang tahu kemana dan dimana Otang.


***
  


Dua puluh lima tahun kemudian, Si Dali ketemu Otang  di Jakarta. Di rumah Kasdut yang sudah pensiun dengan pangkat kolonel. Sudah  jauh beda gaya Otang. Tenang.  Terlihat alim.  Gaya bicaranya lembut. Lunak, menurut  Nawar. Dia memelihara jenggot. Model Haji Agus Salim. Putih warnanya. Di  kepalanya bertengger kopiah beluderu hitam yang apik letaknya. Si Dali tidak lupa padanya. Dia pun tidak. Tapi dia tidak bergabung dengan Si Dali di ruang tengah. Dia di ruang belakang dengan ibu mertua Kasdut yang berusia hampir delapan puluh tahun.

"Dia  sudah jadi penghulu sekarang. Datuk Rajo Di  Koto nama  gelarnya.  Dipilih dan ditabalkan oleh kaumnya  yang merantau di sini. Kata orang, gelar itu disebut gadang menyimpang. Tidak lazim menurut adat. Urusan kaum itulah itu." kata Kasdut yang ketika sebelum pensiun telah ditabalkan pula jadi Datuk oleh kaumnya di kampung. Datuk Raja Kuasa  gelarnya. Gelar yang pantas bagi  seorang  kolonel yang pernah jadi Bupati. "Kalau aku, aku dapat gelar yang sah menurut adat. Disepakati oleh seluruh kaum di  kampung dan dirantau lebih dulu." lanjutnya kemudian.

Si Dali panasaran kenapa Otang lebih suka berbaur dengan  nenek itu daripada dengan sahabat lama yang dua  puluh lima tahun tidak ketemu. Dugaan Si Dali jadi miring. Mungkin  dia tidak suka ketemu Si Dali, karena mau menghindar dari  luka lama masa perang PRRI. Luka karena Buter Talib meniduri  Atun. Kemudian menyerahkan Atun  kepada  Buter pengganti dan penggantinya lagi. Tapi itu cerita lama. Apa dia  masih dendam setelah Buter Talib  dan  teman-temannya membayar dosa-dosanya setelah pemberontakan komunis dikalahkan? "Dia sudah dua  kali ke Mekkah." kata Kasdut selagi Si Dali merenung. Katanya lagi seolah-olah tidak begitu penting: "Ibu mertuaku membawanya jadi muhrim. Duitnya tentu saja dari aku. Dari siapa lagi, bukan?"

Sejak berangkat dari kampung, keluar dari daerah  peperangan, Otang ke Jakarta  membawa segala luka dan perih di hati. Kota itu diharapkannya mampu melupakan  masa  lalu. Nyatanya kota  itu lebih menaburkan racun masa lalunya. Terutama melihat  orang-orang  berbaju hijau seragam yang menggandeng perempuan, yang nampak oleh matanya tidak lain dari orang-orang  seperti  Buter Talib  yang  menggandeng Atun. Ada rasa mual mau muntah dalam  perutnya. Akhirnya dia mengurung diri di rumah iparnya tempat dia menumpang.

Kalau  pun dia keluar rumah, tidak lebih jauh  dari  pagar halaman.    

Untuk membunuh sepi dia membaca buku-buku agama, karena buku-buku  itu tidak bicara tentang konflik yang melukai. Isi buku itu pun tidak untuk direnungkan. Karena dia tidak suka membebankan pikirannya. Koran atau majalah dihindarinya. Kalau tidak membaca, Otang mengerjakan apa saja  yang bisa dilakukannya di rumah itu. Membersih-bersih, membenahi kerusakan kecil.

Akhirnya  dia keluar juga dari persembunyiannya  karena harus ikut menghadiri pemakaman seorang kemenakannya. Sekali keluar dari isolasi, hampir berterusan dia jarang di rumah  di siang hari. Hampir setiap hari dia berkunjung dari satu rumah ke rumah lain, yang semuanya adalah dunsanak atau orang kampung seasal. Dia diterima dengan  tangan dan hati terbuka. Meski oleh kerabat Atun. Terutama  oleh orang-orang tua yang telah kehilangan kesibukan, yang memerlukan sahabat dan kenalan tempat berkisah  menghabiskan waktu. Otang dapat mengisi tuntutan kebutuhan orang-orang seperti itu. Lama-lama dia tahu betul apa yang  diperlukan mereka. Perempuan-perempuan menyukai berita sekitar perjodohan dan kematian orang-orang
seasal di kampung maupun dirantau. Laki-laki lebih menyukai berita situasi di kampung atau reputasi orang-orang sekampung mereka. Yang  pegawai suka  pada  berita kenaikan  pangkat orang-orang dikenal mereka.

Otang  tidak mencari berita-berita itu. Berita itu  dia pungut dari orang-orang yang ditandanginya. Lama-lama jadilah  Otang sebagai sumber berita otentik. Dia  pun  tahu berita yang disukai oleh masing-masing mereka dan  masing-masing golongan. Lama-lama Otang seperti sosok yang dirindukan. Sama dengan kerinduan orang pada loper koran.

Lama-lama Otang mendapat jodoh juga. Seorang janda dari salah satu keluarga yang secara rutin dia kunjungi. Bagaimanapun suatu rumahtangga memerlukan biaya. Meski  menurut kata mertuanya ketika melamarnya, Otang tidak perlu memberi belanja pada istrinya. Namun Otang adalah seorang laki-laki yang ingin istrinya berarti. Terpandang tinggi melampau  Atun yang secantik bintang film itu. Karena itu  dia perlu sumber nafkah. Pekerjaan yang menghasilkan uang. Pekerjaan apa yang dapat dilakukannya dalam umur yang sudah separo  baya itu? Bekerja di kantor? Kantor apa yang mau menerimanya. Berdagang? Dagang apa? Apa dia bisa? Modalnya mana?  Otang  bingung. Waktunya sehari-hari lebih banyak habis  mencari kemungkinan mendapat pekerjaan yang sesuai dan  pantas. Pagi dia sudah keluar rumah, menjelang malam baru dia pulang.

Semua  orang-orang tua yang dikunjunginya secara  rutin itu  pun bingung. Mereka bingung karena Otang tidak lagi datang.  Kemudian ada seorang dokter tua yang tidak lagi praktek karena usia. Biasanya dia memanggil Otang menurut gaya lama: Engku Otang. Dokter itu berkata: "Engku  Otang, apa  yang Engku lakukan, sebetulnya sama dengan  yang  aku lakukan sebagai dokter mengunjungi pasyen. Paham?"

Sebenarnya Otang tidak paham. Namun dia mengangguk  juga. Lama kemudian baru dia paham setelah berdiskusi dengan istrinya.  Mestinya dia dibayar pada setiap  kunjungan ke rumah-rumah itu. Jangan hanya dikasi makan atau minum setiap berkunjung. Lalu ketika akan pergi diselipkan  selembar uang ke sakunya diiringi ucapan: "Sekedar sewa oplet." Tapi  bagaimana caranya minta bayaran kepada  kenalan dan orang-orang  sekampungnya  itu? Rikuh rasanya. Menurutnya berkunjung  ke rumah-rumah orang itu bukan  suatu  profesi yang  bersifat komersial seperti dokter.  Namun  istrinya lagi  yang memberi gagasan. "Percuma saja Uda belajar di Amerika dulu."

Sejak itu kunjungan-kunjungan rutin ke rumah-rumah  mereka itu dia kacaukan jadwalnya, baik hari maupun jamnya. Tentu  saja  dia disambut dengan rasa cemas dan sedikit omelan  manja. Alasannya Otang sederhana saja. Yakni oleh karena  ada kesibukan baru. Maklum dia sudah beristri dan bertanggung-jawab  kepada rumah-tangganya.  Kadang-kadang dia  katakan  betapa sulitnya dia dapat bus atau oplet. "Kenapa tidak pakai taksi saja, Engku." kata mereka pada umumnya. Nah, sejak itu Otang mendapat biaya taksi. Padahal dia tetap memakai kenderaan umum. Pada perempuan tua yang suka bicara agama, Otang tahu sekali kisah yang mereka sukai. Misalnya kisah Nabi Musa masa kecil yang  dihanyutkan ibunya di Sungai Nil, lalu terdampar dekat  istana Firaun. Atau kisah Zulaika yang tergila-gila pada Nabi Yusuf, Atau kisah kesetiaan Khadijah pada Nabi Muhammad dan sebaliknya.  Kalau ada kasus yang aktual, Otang  tak  lupa mengkajinya dengan menyitir Al-Quran atau Hadist Nabi. Tak obahnya seperti seorang dai yang handal. Adakalanya  dibawanya buku agama untuk perempuan-perempuan itu, yang dibelinya  di kaki lima simpang Kramat. "Buku ini bagus, Uni. Ada tulisan Arabnya. Ada Latinnya. Berulang-ulang membacanya, kian dekat kita kepada redha-Nya." kata Otang. Taklah lupa  pula dia membacakan sebagian isinya. Tentu saja  ketika akan pulang, perempuan-perempuan itu mengganti dengan berlipat ganda harganya, di samping memberi biaya taksi.

Oleh karena perantau seasal kampungnya banyak di Jakarta,  rata-rata yang dapat dikunjunginya tiga empat rumah dalam sehari. Tujuh hari dalam seminggu. Masing-masing dikunjunginya sekali sebulan untuk orang-orang kaya atau pejabat. Sekali dua bulan untuk golongan lain. Pada hari seperti menjelang Idul Fitri atau setiap pedagang atau pengusaha  selesai tutup buku tahunan, Otang kecipratan rezeki yang  bernama zakat banyak. Oleh orang-orang kaya  seperti itulah Otang sampai bisa dua kali ke Mekkah. Sekali dia pergi bersama istrinya. Semua orang memberinya uang. Ada dollar.  Ada real. Bahkan yen. Tentu saja ada rupiah.  Dan semua dengan iringan basa-basi: "Sekedar pembeli korma." Lumayan banyak. Hampir sebanyak ONH Plus.                                  


***


Otang jatuh sakit. Kena stroke dan komplikasi lainnya, kata dokter. Di rumah sakit dia dirawat di bangsal. Setelah  semalam dia dipindahkan ke ruang VIP. Karena ada  banyak  kenalannya  yang menjamin biayanya.  Waktu Si Dali melayat, banyak karangan bunga pada berjajar di gang arah kamar  Otang  dirawat. Di kamarnya yang luas pun puluhan keranjang hias buah-buahan. Pada setiapnya ada kartu nama. Karena ingin tahu, Si Dali membacai kartu nama itu.  Kartu nama pada karangan bunga di gang itu pun dia baca. Ada nama profesor yang top, pengusaha klas kakap, pejabat tinggi, staf ahli menteri dan juga nama Kasdut.

Otang membuka matanya ketika Si Dali memanggil namanya dekat ke telinganya. Lama dia menatap Si Dali dengan pandangan  yang sayu. Seperti banyak yang akan  dikatakannya. Trenyuh juga hati Si Dali. Namun dia tidak menampakkan betapa perasaannya. Dia coba tetap tersenyum untuk meyakinkan  Otang bahwa sakitnya tidak gawat. Lama juga  Si  Dali meremas  lembut lengan Otang yang tidak dipasangi alat infus. Sampai Otang memicingkan mata seperti mau tidur.      

Suara pelan pelayat yang duduk di sice terdengar nyata ke telinga Si Dali. Mungkin juga ke telinga Otang.  "Engku Datuk  ini manusia langka. Takkan ada  penggantinya  kalau beliau tak kunjung sembuh." kata yang seorang.

"Beliau seperti perangkat komunikaai hidup." ulas yang lainnya lagi.         

"Tak obahnya seperti Inyik Lunak di kampung kita.  Pembawa berita suka dan duka keliling kampung sambil  memukul canang yang khas bunyinya karena telah pecah sebagian."

"Tapi  Inyik Lunak dengan canangnya cuma menyampaikan berita buruk saja." kata yang lainnya lagi.

Tiba-tiba  Si Dali merasakan getaran kuat pada lengan Otang  yang dipegangnya. Demikian juga kaki Otang  seperti hendak menerjang-nerjang. "Panggil dokter." kata Si Dali seperti berteriak. Dan semua orang serta merta berdiri di sekiling  ranjang Otang. Memandang dengan rasa cemas. Bingung karena tidak tahu mau melakukan apa. Tak lama  kemudian  dokter  tiba. Semua pelayat disuruh keluar. Mereka menanti di ruang tunggu khusus pelayat  dengan perasaan masing-masing.

Si  Dali duduk pada kursi fiber.  Pikirannya  tertumpah pada kondisi Otang yang tiba-tiba gawat. Pikirannya menjalan kemana-mana dalam mencari sebab-sebab Otang yang secara tiba-tiba gawat itu. Apa Otang merasa tersinggung karena  mendengar kata-kata salah seorang pelayat, yang  menyamakannya  dengan  Inyik Lunak di tukang canang dengan canangnya yang pecah?

Si Dali yakin menyebut nama Inyik Lunak dekat Otang, apalagi menyamakan dirinya, membangkitkan luka masa lalunya. Masa lalu ketika perang berkancah di kampung halamannya. Ketika negara memandangnya sebagai pengkhianat  bangsa. Ketika istri dan mertuanya sama mengkhianatinya. Ketika ukuran dan nilai kekhianatan tidak lagi jelas.