10
November
Gelap. Aku menyibakkan
selimut yang menutupi tubuhku. Dingin segera menyerang kulitku yang terbungkus
kain tipis. Kelopak mata ini terasa lebih berat. Subuh ini lebih dingin dari
biasanya. Aneh, seharusnya lebih panas lantaran hutan terbakar tak karu-karuan
di sini. Tapi sekarang kenapa justru sebaliknya? Kusapukan pandanganku
keseluruh ruangan. Semua masih terlelap dalam tidur yang sekejap. Mungkin
mereka kelelahan. Tak heran kalau melihat mereka yang berjuang tanpa henti
semalam. Kuhirup udara pelan, kemudian bangkit menuju jendela. Mengintip
sejenak bagaimana suasana di luar sana sekarang. Meskipun mungkin tak ada yang
berubah. Pasti mereka masih saja berkeliaran di luar.
Aku beringsut
pelan menuju kamar mandi yang ada di luar sana. Berusaha sepelan mungkin agar
mereka tak terbangun. Berjinjit melewati celah yang tersisa di antara belasan
manusia yang tergeletak di sini. Sambil sesekali menarik selimut untuk orang
yang terlihat kedinginan.
“Amir, ada apa?” seseorang
menyahutiku dari belakang. Aku menoleh dan tersenyum sekilas.
“ Ah, kau
terbangun? Tidak apa-apa. Aku hanya ingin ke kamar kecil. Kau sendiri?”
“ Aku hanya
terbangun melihat kau mondar-mandir. Lagian memang seharusnya jam segini sudah
bangun. Kau selalu bangun jam segini?”
“ Ya, begitulah.”
“Pantas.
Jangan-jangan kau yang selalu membersihkan rungan rapat kita?”
“ Entahlah.
Menurutmu?” jawabku menghindar. Aku tak ingin orang merasa pamrih atas apa yang
aku lakukan.
“ Sudah kuduga,” angguknya
pelan, “ tak mungkin ruang rapat tiba-tiba bersih begitu saja.” Aku hanya
tersenyum.
“ Lukamu baik-baik
saja?” tanyanya lagi meneliti tubuhku dari ujung kepala hingga kaki.
“ Apa aku
kelihatan seperti orang yang tidak baik-baik saja?” aku balik bertanya.
“ Tidak. Justru
kau terlihat sangat sehat,” jawabnya menggeleng. “ Tapi lukamu yang kemarin
bisa dibilang cukup parah. Apa kau benar-benar tidak apa-apa?”
“Tidak masalah.
Aku cukup tahan banting. Luka segini belum apa-apa dibanding yang lainnya.”
“ Tapi Amir, kau
harus ingat. Memang kita ada di sini untuk berjuang. Tapi memaksakan diri
bukanlah seperti adanya kita.”
“ Tenang saja.
Akan kulaporkan pada Syarif, selaku penyedia SDM, jika terjadi apa-apa padaku.”
Aku mulai bergerak dari tempatku dan tersenyum meyakinkan padanya. Melihat
kesungguhkanku, dia ikut tersenyum.
“Sudah ya, aku mau buang hajat dulu. Nasihatmu akan
selalu kuingat.” Aku mulai berjalan dan Syarif pun mengangguk. Kususuri jalan
setapak yang lengang subuh itu, mendongak menatap langit dengan bintang masih
menghiasi. Ah, mungkinkah hari yang lebih damai dari subuh ini akan datang di
kota ini? Perang masih saja berkecamuk. Padahal kami sebelumnya sudah terbebas
dari jajahan Jepang. Tapi kini harus dijajah lagi. Aku terdiam. Kemudian mulai
berjalan ketika terlintas di kepalaku, mungkinkah subuh ini lebih dingin karena
sebentar lagi akan tiba waktunya untuk merdeka?
~,~,~
Pagi ini semua
terbangun lebih lambat kecuali aku dan Syarif tentunya. Semuanya segera
bergegas menyiapkan perlengkapan mereka untuk melawan para tentara sekutu
nanti. Kulihat keletihan telah sirna dari wajah mereka digantikan dengan semangat
juang yang tinggi untuk membebaskan bumi Surabaya. Meskipun mungkin tidak
seluruh kota di Indonesia yang akan terbebas, setidaknya kami memberi pelajaran
bahwa kami tak boleh diremehkan. Semoga para pejuang dari seluruh pelosok
negeri akan mengikuti jejak kami.
“Amir, bagaimana
lukamu?” Hanif, kapten di pasukanku menepuk pundakku pelan. Aku mengannguk dan
tersenyum padanya.
“Aku masih bisa
berjuang.”
“ Kau yakin?”
“Sangat. Dan aku
takkan mau ketinggalan untuk menumpahkan darahku demi pembebasan kotaku.”
“Baiklah. Kalu kau
memang bilang begitu. Aku percaya sepenuhnya padamu,” balasnya tersenyum. “
Ayo, angkat senjatamu. Kita lihat sejauh apa kita mampu berjuang hari ini,” sahutnya
lantang. Aku mengangguk terbakar semangatnya. Ikut bergegas mengambil senjataku.
Namun langkahku tertahan ketika aku hendak berlari menyusul Hanif.
“Ada apa?” sahut
Syarif yang sudah berada di belakangku.
“Tidak ada.
Memangnya ada apa?” aku balas bertanya padanya.
“Sekilas kau
terlihat kesakitan. Aku sangsi kau baik-baik saja.” Syarif menggeleng.
“Aku baik-baik
saja. Ayo!”
Aku mulai berjalan menghindari tatapan menyelidik dari Syarif.
Kurasa, aku paham maksudnya yang sebenarnya mengkhawatirkanku. Aku dan Syarif berasal
dari desa yang sama di kota Surabaya. Syarif sudah seperti saudaraku sendiri.
Aku dan dia tumbuh besar bersama. Orangtuaku dan orangtuanya adalah teman
dekat. Ayah kami adalah pejuang yang tangguh. Kami sama-sama mengagumi sosok
ayah. Karena itulah kami memiliki cita-cita yang sama untuk ikut berjuang di kota
yang kami tinggali. Kami sama-sama dikirim ke pasukan depan untuk tenaga
bantuan dari daerah mempertahankan kebebasan Surabaya. Hanya saja, sepertinya
Syarif lebih cepat berkembang dibanding aku. Karena itulah dia lebih dulu masuk
ke pasukan inti. Namun itu takkan menyurutkan semangatku.
“Amir, coba jujur
padaku. Apa kau benar baik-baik saja?” lagi-lagi Syarif menanyakan hal yang
sama. Di sejajarinya langkahku.
“Harus berapa kali
kukatakan aku baik-baik saja?” jawabku setengah jengkel. Bukan karena Syarif
yang berulang kali menanyakan hal yang sama, melainkan lebih karena takut bahwa
sandiwaraku akan ketahuan olehnya. Kenapa temanku yang satu ini perasa sekali?
“Entah bagaimana
aku tahu kau sedang berusaha menyembunyikan kenyataan bahwa kau kesakitan. Di mataku
kau terlihat tidak baik-baik saja,” balasnya yakin. Aku terdiam. Sudah kuduga
hanya Syarif yang sulit untuk kukelabui.
“ Percayalah, aku
baik-baik saja,” jawabku mengalah.
“Kalau begitu,
tatap aku ketika kau berkata begitu,” ucapnya tegas.
“Baiklah, baiklah.
Aku mengalah. Kau benar. Aku sedang menahan rasa sakitku. Tapi aku tidak
memaksakan diri.”
“Tidak bisa. Kau
tahu peraturannya. Lebih baik kauistirahat untuk menghimpun tenaga bantuan di saat
yang diperlukan,” bantahnya keras.
“Ayolah Syarif.
Aku masih bisa berperang. Aku tak mau ketinggalan,” bujukku padanya.
“Tapi bagaimana
kalau seandainya kau benar-benar ambruk ketika perang?”
“Mungkin disaat
itu aku akan minta bantuanmu.”
“Kau bilang kau
takkan merepotkan orang di sekitarmu.”
“Memang tidak. Aku
hanya ‘kan merepotkanmu.”
“Kau ini keras
kepala.”
“Begitupun
denganmu. Kita ini mirip. Sudahlah, tolong izinkan aku untuk ikut berperang.”
“Untuk sekali saja
dalam hidupmu, kenapa tak kaudengarkan aku? Kau tinggal saja di sini bersama
para pemuda lainnya.” Rutuk Syarif pada kekeraskepalaanku.
“Sedangkan aku
hanya melihat kau berperang di garis depan? Tidak akan kulakukan. Sekali dalam
hidupku, biarkan aku berperang sampai tulangku takkan mampu lagi menopang tubuh
ini.” Ucapku sungguh-sungguh menatap matanya. Mencoba meyakinkan pandangan
matanya yang menuntutku untuk beristirahat.
“Semuanya,
berkumpul!!” seru Hanif dari barisan depan.
“Ayo. Kita dipanggil.”
Ajakku pada Syarif yang masih belum memberiku izin untuk turun ke lapangan. Di
langkahkannya kakinya bersamaan dengan langkahku menuju pejuang yang lainnya. Mendengarkan
seruan memacu semangat juang kami.
“Hari ini, 10
November, adalah puncak perjuangan kita. Meskipun darah telah tumpah, air mata
sakit mengalir dari pelupuk mata, meskipun kaki berat untuk melangkah, tapi
hari ini, kita kerahkan seluruh tenaga yang kita punya untuk membela tanah air
kita, tumpah darah kita, mengabdi untuk satu negara, Indonesia!! Merdeka!”
serunya lantang mengobarkan semangat kami.
“Merdeka!” jawab
kami dengan semangat yang berkobar-kobar. Dan mereka pun bergerak cepat.
Berjalan menyusuri jalan setapak yang hanya kami yang tahu.
“ Amir, kau yakin
ingin pergi?” Syarif menahan lenganku sejenak. Menatapku dalam-dalam. Itu
membuktikan bahwa bantahannya mulai goyah. Aku tersenyum tulus padanya.
“Ayolah. Masih
banyak yang harus kita lakukan. Apa kau tidak dengar apa yang diucapkan kapten
kita? Aku masih bisa berjuang Syarif. Dan aku takkan mundur satu langkah pun
sampai aku benar-benar tak mampu untuk bangkit lagi.” Yakinku. Syarif menghela
napas.
“Baiklah. Aku
percaya padamu. Dan kalau sampai kauambruk dengan cepat, aku takkan memaafkanmu,”
jawabnya mengalah. Aku mengangguk. Kami mengayunkan langkah kaki dengan pasti
mengikuti langkah pejuang yang lainnya.
Sebenarnya, luka
ini hanyalah sebuah luka yang biasa didapatkan ketika perang terjadi. Hujatan
peluru, sabetan pedang, dan luka yang lainnya. Hanya saja, kemarin luka-luka
itu menyerang organ vital. Membuat badan ini kehilangan indra perasanya
sejenak. Sakit? Tentu saja. Tapi luka ini takkan mengalihkan langkahku. Justru
luka ini akan kujadikan pelajaran. Bahwa aku harus lebih hati-hati lagi.
“Untuk Indonesia,
seraaaanngg!!!” seru Hanif yang berada di barisan depan.
Untuk tanah airku,
takkan kubiarkan badan ini istirahat barang sejenak. Karena Indonesiaku tak
pernah istirahat untuk bertahan pada perang. Hari ini, 10 November, aku kan
berjuang dengan seluruh tenaga yang kupunya. Dan berharap, di masa anak cucu
kami nanti, penjajahan tak lagi menyandera mereka. Para penerus kami dengan
bangga mengatakan bahwa Indonesia adalah negaranya.
Penulis : Aisy Hurun Ein
SMA IT MUTIARA DURI