Jumat, 16 November 2012

10 November, cerpen karya Aisy Hurun Ein



10 November
            Gelap. Aku menyibakkan selimut yang menutupi tubuhku. Dingin segera menyerang kulitku yang terbungkus kain tipis. Kelopak mata ini terasa lebih berat. Subuh ini lebih dingin dari biasanya. Aneh, seharusnya lebih panas lantaran hutan terbakar tak karu-karuan di sini. Tapi sekarang kenapa justru sebaliknya? Kusapukan pandanganku keseluruh ruangan. Semua masih terlelap dalam tidur yang sekejap. Mungkin mereka kelelahan. Tak heran kalau melihat mereka yang berjuang tanpa henti semalam. Kuhirup udara pelan, kemudian bangkit menuju jendela. Mengintip sejenak bagaimana suasana di luar sana sekarang. Meskipun mungkin tak ada yang berubah. Pasti mereka masih saja berkeliaran di luar.
            Aku beringsut pelan menuju kamar mandi yang ada di luar sana. Berusaha sepelan mungkin agar mereka tak terbangun. Berjinjit melewati celah yang tersisa di antara belasan manusia yang tergeletak di sini. Sambil sesekali menarik selimut untuk orang yang terlihat kedinginan.
            “Amir, ada apa?” seseorang menyahutiku dari belakang. Aku menoleh dan tersenyum sekilas.
            “ Ah, kau terbangun? Tidak apa-apa. Aku hanya ingin ke kamar kecil. Kau sendiri?”
            “ Aku hanya terbangun melihat kau mondar-mandir. Lagian memang seharusnya jam segini sudah bangun. Kau selalu bangun jam segini?”
            “ Ya, begitulah.”
            “Pantas. Jangan-jangan kau yang selalu membersihkan rungan rapat kita?”
            “ Entahlah. Menurutmu?” jawabku menghindar. Aku tak ingin orang merasa pamrih atas apa yang aku lakukan.
            “ Sudah kuduga,” angguknya pelan, “ tak mungkin ruang rapat tiba-tiba bersih begitu saja.” Aku hanya tersenyum.
            “ Lukamu baik-baik saja?” tanyanya lagi meneliti tubuhku dari ujung kepala hingga kaki.
            “ Apa aku kelihatan seperti orang yang tidak baik-baik saja?” aku balik bertanya.
            “ Tidak. Justru kau terlihat sangat sehat,” jawabnya menggeleng. “ Tapi lukamu yang kemarin bisa dibilang cukup parah. Apa kau benar-benar tidak apa-apa?”
            “Tidak masalah. Aku cukup tahan banting. Luka segini belum apa-apa dibanding yang lainnya.”
            “ Tapi Amir, kau harus ingat. Memang kita ada di sini untuk berjuang. Tapi memaksakan diri bukanlah seperti adanya kita.”
            “ Tenang saja. Akan kulaporkan pada Syarif, selaku penyedia SDM, jika terjadi apa-apa padaku.” Aku mulai bergerak dari tempatku dan tersenyum meyakinkan padanya. Melihat kesungguhkanku, dia ikut tersenyum.
            “Sudah  ya, aku mau buang hajat dulu. Nasihatmu akan selalu kuingat.” Aku mulai berjalan dan Syarif pun mengangguk. Kususuri jalan setapak yang lengang subuh itu, mendongak menatap langit dengan bintang masih menghiasi. Ah, mungkinkah hari yang lebih damai dari subuh ini akan datang di kota ini? Perang masih saja berkecamuk. Padahal kami sebelumnya sudah terbebas dari jajahan Jepang. Tapi kini harus dijajah lagi. Aku terdiam. Kemudian mulai berjalan ketika terlintas di kepalaku, mungkinkah subuh ini lebih dingin karena sebentar lagi akan tiba waktunya untuk merdeka?
~,~,~
            Pagi ini semua terbangun lebih lambat kecuali aku dan Syarif tentunya. Semuanya segera bergegas menyiapkan perlengkapan mereka untuk melawan para tentara sekutu nanti. Kulihat keletihan telah sirna dari wajah mereka digantikan dengan semangat juang yang tinggi untuk membebaskan bumi Surabaya. Meskipun mungkin tidak seluruh kota di Indonesia yang akan terbebas, setidaknya kami memberi pelajaran bahwa kami tak boleh diremehkan. Semoga para pejuang dari seluruh pelosok negeri akan mengikuti jejak kami.
            “Amir, bagaimana lukamu?” Hanif, kapten di pasukanku menepuk pundakku pelan. Aku mengannguk dan tersenyum padanya.
            “Aku masih bisa berjuang.”
            “ Kau yakin?”
            “Sangat. Dan aku takkan mau ketinggalan untuk menumpahkan darahku demi pembebasan kotaku.”
            “Baiklah. Kalu kau memang bilang begitu. Aku percaya sepenuhnya padamu,” balasnya tersenyum. “ Ayo, angkat senjatamu. Kita lihat sejauh apa kita mampu berjuang hari ini,” sahutnya lantang. Aku mengangguk terbakar semangatnya. Ikut bergegas mengambil senjataku. Namun langkahku tertahan ketika aku hendak berlari menyusul Hanif.
            “Ada apa?” sahut Syarif yang sudah berada di belakangku.
            “Tidak ada. Memangnya ada apa?” aku balas bertanya padanya.
            “Sekilas kau terlihat kesakitan. Aku sangsi kau baik-baik saja.” Syarif menggeleng.
            “Aku baik-baik saja. Ayo!”
Aku mulai berjalan menghindari tatapan menyelidik dari Syarif. Kurasa, aku paham maksudnya yang sebenarnya mengkhawatirkanku. Aku dan Syarif berasal dari desa yang sama di kota Surabaya. Syarif sudah seperti saudaraku sendiri. Aku dan dia tumbuh besar bersama. Orangtuaku dan orangtuanya adalah teman dekat. Ayah kami adalah pejuang yang tangguh. Kami sama-sama mengagumi sosok ayah. Karena itulah kami memiliki cita-cita yang sama untuk ikut berjuang di kota yang kami tinggali. Kami sama-sama dikirim ke pasukan depan untuk tenaga bantuan dari daerah mempertahankan kebebasan Surabaya. Hanya saja, sepertinya Syarif lebih cepat berkembang dibanding aku. Karena itulah dia lebih dulu masuk ke pasukan inti. Namun itu takkan menyurutkan semangatku.
            “Amir, coba jujur padaku. Apa kau benar baik-baik saja?” lagi-lagi Syarif menanyakan hal yang sama. Di sejajarinya langkahku.
            “Harus berapa kali kukatakan aku baik-baik saja?” jawabku setengah jengkel. Bukan karena Syarif yang berulang kali menanyakan hal yang sama, melainkan lebih karena takut bahwa sandiwaraku akan ketahuan olehnya. Kenapa temanku yang satu ini perasa sekali?
            “Entah bagaimana aku tahu kau sedang berusaha menyembunyikan kenyataan bahwa kau kesakitan. Di mataku kau terlihat tidak baik-baik saja,” balasnya yakin. Aku terdiam. Sudah kuduga hanya Syarif yang sulit untuk kukelabui.
            “ Percayalah, aku baik-baik saja,” jawabku mengalah.
            “Kalau begitu, tatap aku ketika kau berkata begitu,” ucapnya tegas.
            “Baiklah, baiklah. Aku mengalah. Kau benar. Aku sedang menahan rasa sakitku. Tapi aku tidak memaksakan diri.”
            “Tidak bisa. Kau tahu peraturannya. Lebih baik kauistirahat untuk menghimpun tenaga bantuan di saat yang diperlukan,” bantahnya keras.
            “Ayolah Syarif. Aku masih bisa berperang. Aku tak mau ketinggalan,” bujukku padanya.
            “Tapi bagaimana kalau seandainya kau benar-benar ambruk ketika perang?”
            “Mungkin disaat itu aku akan minta bantuanmu.”
            “Kau bilang kau takkan merepotkan orang di sekitarmu.”
            “Memang tidak. Aku hanya ‘kan merepotkanmu.”
            “Kau ini keras kepala.”
            “Begitupun denganmu. Kita ini mirip. Sudahlah, tolong izinkan aku untuk ikut berperang.”
            “Untuk sekali saja dalam hidupmu, kenapa tak kaudengarkan aku? Kau tinggal saja di sini bersama para pemuda lainnya.” Rutuk Syarif pada kekeraskepalaanku.
            “Sedangkan aku hanya melihat kau berperang di garis depan? Tidak akan kulakukan. Sekali dalam hidupku, biarkan aku berperang sampai tulangku takkan mampu lagi menopang tubuh ini.” Ucapku sungguh-sungguh menatap matanya. Mencoba meyakinkan pandangan matanya yang menuntutku untuk beristirahat.
            “Semuanya, berkumpul!!” seru Hanif dari barisan depan.
            “Ayo. Kita dipanggil.” Ajakku pada Syarif yang masih belum memberiku izin untuk turun ke lapangan. Di langkahkannya kakinya bersamaan dengan langkahku menuju pejuang yang lainnya. Mendengarkan seruan memacu semangat juang kami.
            “Hari ini, 10 November, adalah puncak perjuangan kita. Meskipun darah telah tumpah, air mata sakit mengalir dari pelupuk mata, meskipun kaki berat untuk melangkah, tapi hari ini, kita kerahkan seluruh tenaga yang kita punya untuk membela tanah air kita, tumpah darah kita, mengabdi untuk satu negara, Indonesia!! Merdeka!” serunya lantang mengobarkan semangat kami.
            “Merdeka!” jawab kami dengan semangat yang berkobar-kobar. Dan mereka pun bergerak cepat. Berjalan menyusuri jalan setapak yang hanya kami yang tahu.
            “ Amir, kau yakin ingin pergi?” Syarif menahan lenganku sejenak. Menatapku dalam-dalam. Itu membuktikan bahwa bantahannya mulai goyah. Aku tersenyum tulus padanya.
            “Ayolah. Masih banyak yang harus kita lakukan. Apa kau tidak dengar apa yang diucapkan kapten kita? Aku masih bisa berjuang Syarif. Dan aku takkan mundur satu langkah pun sampai aku benar-benar tak mampu untuk bangkit lagi.” Yakinku. Syarif menghela napas.
            “Baiklah. Aku percaya padamu. Dan kalau sampai kauambruk dengan cepat, aku takkan memaafkanmu,” jawabnya mengalah. Aku mengangguk. Kami mengayunkan langkah kaki dengan pasti mengikuti langkah pejuang yang lainnya.
            Sebenarnya, luka ini hanyalah sebuah luka yang biasa didapatkan ketika perang terjadi. Hujatan peluru, sabetan pedang, dan luka yang lainnya. Hanya saja, kemarin luka-luka itu menyerang organ vital. Membuat badan ini kehilangan indra perasanya sejenak. Sakit? Tentu saja. Tapi luka ini takkan mengalihkan langkahku. Justru luka ini akan kujadikan pelajaran. Bahwa aku harus lebih hati-hati lagi.
            “Untuk Indonesia, seraaaanngg!!!” seru Hanif yang berada di barisan depan.
            Untuk tanah airku, takkan kubiarkan badan ini istirahat barang sejenak. Karena Indonesiaku tak pernah istirahat untuk bertahan pada perang. Hari ini, 10 November, aku kan berjuang dengan seluruh tenaga yang kupunya. Dan berharap, di masa anak cucu kami nanti, penjajahan tak lagi menyandera mereka. Para penerus kami dengan bangga mengatakan bahwa Indonesia adalah negaranya.

Penulis : Aisy Hurun Ein
SMA IT MUTIARA DURI




Tidak ada komentar:

Posting Komentar