Fitrahnya Fitri
karya Istiadzah
Berawal
dari pertemuan tak
terduga dengan seorang
mualaf wanita dalam suatu
perlombaan puisi
di Jakarta.
“Assalamu’alaikum
warohmatulahi wabarokatuh,”
ia mengulurkan tangannya.
“Wa’alaikumsalam
warohmatulahi wabarokatuh,”
aku membalas uluran tangannya.
“Indah sekali puisi yang
kamu bacakan tadi.”
‘’Alhamdulillah,
terima kasih atas pujiannya. Itu hanya puisi biasa dibanding puisi yang kamu
bacakan. Kamu telah menjadi puisi itu sendiri ketika puisi itu dibacakan.
Siapa ya?”
“Fitri,
Hidayatul Fitri.”
“Tisa
Anamirah. Panggil aja Tisa.”
“Kamu mau jadi
saudaraku?”
Aku
terdiam, bingung rasanya. Baru kali ini aku mendengar seseorang meminta aku
menjadi saudaranya dalam waktu
yang sangat singkat.
“Kok
diam, jawab dong Tisa.”
Aku masih diam. Kok ia secepat ini mengajukan
permintaan yang serius.
“Begini Tisa, bukankah kaum
muslim
itu bersaudara. Innamal
muslimuna ikhwah. Orang Islam dianjurkan untuk dapat
mempererat persaudaraan di
antara
mereka? Aku bahagia dipertemukan
denganmu, seorang wanita yang terlahir sebagai seorang muslim. Aku hanyalah
seorang mualaf,
baru diislamkan. Aku harap, setelah ini persaudaraan kita tetap lanjut.”
“Baiklah Fitri, aku mau jadi saudaramu.”
“Makasih, Tisa.”
Fitri kembali menjabat tanganku erat, plus memelukku.
Erat sekali, aku sampai susah bernafas. Aku merasakan ketulusan dalam dirinya.
Aku terharu. Mudah-mudahan kami bisa saling mencintai karena Allah. Dua orang
yang saling mencintai karena Allah akan mendapat naungan Allah kelak dari
panasnya yaumil mahsyar.
“
Ini kartu namaku,
plus alamat e-mail
di dalamnya. Sampai ketemu lain waktu.
Assalamu’alaikum warohmatulahi
wabarokatuh.”
“Siip Tisa..
Wa’alaikumsalam warohmatulahi
wabarokatuh. Semoga
Allah mempertemukan kita lain waktu.”
*****
Bidadari_Swarga@gmail.com.
Kuklik pesan masuk. Mm.. ada e-mail dari Fitri? Aku gak nyangka secepat ini dia mengirim surat
untukku. Bergegas aku membacanya. Rongga
dadaku sesak, kelopak mataku terasa panas ketika membaca
kata demi kata, kalimat demi kalimat yang ia tulis. Ia adalah seorang mulaf yang tidak diakui lagi sebagai anak oleh ayahnya
sendiri. Ayahnya seorang Nasrani yang taat.
Ia menginginkan Fitri, yang dulunya bernama Stesi, menjadi seorang biarawati. Tapi takdir
berkata lain, Fitri malah memilih menjadi seorang muslim tanpa persetujuan
ayahnya. Sedangkan ibunya, sudah meninggal beberapa tahun yang lalu karena kecanduan obat-obatan.
Sungguh kuat Fitri. Hari-hari dilaluinya dalam siksaan
demi siksaan dari ayahnya tanpa mengurangi kesibukannya untuk terus mempelajari
dan mempraktikkan Islam. Ia menjalani masa remajanya untuk mencari kebenaran
Illahi. Bukan seperti aku dan remaja lainnya,
yang hanya sibuk mencari kesenangan dunia saja tanpa tahu untuk apa sebenarnya
aku diciptakan. Yang lebih membuat aku takjub dengannya, dia tetap bahagia dan
kuat dibalik penderitaan yang dialaminya. Aku terpesona dengan keindahan dari apa pun yang bisa aku pikir dan rasakan. Sungguh Allah
Mahaindah dan Mahasempurna, katanya
dalam salah satu e-mailnya.
Setiap
hari dia harus menahan sakit dikepalanya yang telah diagnosa mengidap penyakit
kanker otak stadium empat.
Tidak seorang pun sanak saudaranya yang menjenguknya
di rumah sakit. Sebuah LSM yang peduli kepada nasib mualaf membiayai biaya perawatan Fitri.
Tisa,
sekarang hidupku sepi dari manusia, namun aku merasa ramai. Allah terasa begitu
dekat. Aku begitu bebas menyampaikan apa saja pada-Nya. Kata Fitri dalam e-mailnya.
*
Pada e-mailnya
yang kedua, Fitri menuliskan nomor ponselnya untuk bisa segera menghubunginya.
Tanpa berpikir
panjang, aku pun meraih ponsel.
Seseorang
mengangkat panggilanku dan terdengar seseorang mengucapkan salam.
“Assalamu’alaikum..
“
Wah,,
suara itu! Itu Fitri.. aku bahagia dalam hati.
“Wa’alaikumsalam,
Fitri.. ini aku Tisa.. Aku senang bisa bicara lagi denganmu.”
“Begitu juga denganku Tisa.. banyak rasanya
yang ingin aku ceritakan padamu.
Apa sekarang kamu lagi sibuk?”
“Nggak Fitri. Cerita aja, aku siap
mendengarkan.”
Rasanya
dada ini sesak mendengar setiap kata yang dia keluarkan.
“Tisa,
aku merasa waktuku tak lama lagi.”
“Kenapa?”
“Seolah-olah
waktu mengejarku terus.”
“Jangan
gitu Fitri, aku masih mau bertemu denganmu.”
“Aku rasa tidak.. doakan
aja aku Tisa, insyaallah
kita akan dipertemukan di surga
nanti.”
“Fitri, jangan bercanda.. aku tau kamu memang
mengidap kanker otak. Tapi kamu nggak boleh putus asa. Allah
membenci orang-orang yang berputus asa. Semangat Fitri!”
“Bukannya aku putus asa.
Tapi aku percaya hidup dan matinya sesorang itu di tangan Allah. Itu hanya
sebuah firasatku saja. Ndak
salah kan?”
“Ya nggak.. tapi….”
“Tisa,
kita lanjutin lain waktu ya. Aku lelah. Wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.”
“Wa’alaikumussalam
warohmatullahi wabarokatuh”
*
“Tilililit....tililit....tiit...”
Aku
menatap ponselku yang sedang berbunyi. Siapakah yang memanggil. Wah, Fitri..
“Assalamu’alaikum Fitri.. mau cerita lagi?
Ayo.. aku udah ga sabar ni, mau dengerin cerita kamu.”
“Wa’alaikumsalam,
apa ini dengan Tisa?”
“Iya.. ini saya sendiri.
Ini Fitri kan?”
“Maaf ini bukan Fitri, saya dari pihak
rumah sakit ingin mengabarkan sesuatu kepada Saudari.”
“Ada apa, ya?”
“Begini, sebelum
meninggal pasien yang bernama Fitri
meminta saya untuk menyampaikan salamnya kepada Saudari.”
Ponsel yang kugenggam terjatuh. Innalilaahi
wainnalilaahi rojiun. Air
bening mengalir dari mataku.
Apa yang Fitri katakan terjadi.
Aku tidak akan berjumpa lagi dengannya di dunia ini.
*
Tisa, aku
mencium bau surga. sangmuallaf@yahoo.com.
***
BIODATA
Nama : Istiadzah
Kelas : 12 IPS 2
Sekolah : SMAS IT Mutiara Duri
Alamat
rumah : Jln.Tribrata, Hangtuah.
Kel.Babussalam Kec.Mandau Kab.Bengkalis
Alamat
sekolah : Kompleks Sebanga, PT
Cevron Pacific Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar