Sabtu, 24 Maret 2012

Fitrahnya Fitri


Fitrahnya Fitri
karya Istiadzah
Berawal dari pertemuan tak terduga dengan seorang mualaf wanita dalam suatu perlombaan puisi di Jakarta.
“Assalamu’alaikum warohmatulahi wabarokatuh,ia mengulurkan tangannya.
“Wa’alaikumsalam warohmatulahi wabarokatuh,” aku membalas uluran tangannya.
Indah sekali puisi yang kamu bacakan tadi.”
‘’Alhamdulillah, terima kasih atas pujiannya. Itu hanya puisi biasa dibanding puisi yang kamu bacakan. Kamu telah menjadi puisi itu sendiri ketika puisi itu dibacakan. Siapa ya?
“Fitri, Hidayatul Fitri.
“Tisa Anamirah. Panggil aja Tisa.”
Kamu mau jadi saudaraku?”
Aku terdiam, bingung rasanya. Baru kali ini aku mendengar seseorang meminta aku menjadi saudaranya  dalam waktu yang sangat singkat.
“Kok diam,  jawab dong Tisa.”
Aku masih diam. Kok ia secepat ini mengajukan permintaan yang serius.
Begini Tisa, bukankah  kaum muslim itu bersaudara. Innamal muslimuna ikhwah. Orang Islam dianjurkan untuk dapat mempererat persaudaraan di antara mereka? Aku bahagia dipertemukan denganmu, seorang wanita yang terlahir sebagai seorang muslim. Aku hanyalah seorang mualaf, baru diislamkan. Aku harap, setelah ini persaudaraan kita tetap lanjut.
“Baiklah Fitri, aku mau jadi saudaramu.”
“Makasih, Tisa.
Fitri kembali menjabat tanganku erat, plus memelukku. Erat sekali, aku sampai susah bernafas. Aku merasakan ketulusan dalam dirinya. Aku terharu. Mudah-mudahan kami bisa saling mencintai karena Allah. Dua orang yang saling mencintai karena Allah akan mendapat naungan Allah kelak dari panasnya yaumil mahsyar.
“ Ini kartu namaku, plus alamat e-mail di dalamnya. Sampai ketemu lain waktu. Assalamu’alaikum warohmatulahi wabarokatuh.”
Siip Tisa.. Wa’alaikumsalam warohmatulahi wabarokatuh. Semoga Allah mempertemukan kita lain waktu.”

                                                            *****
Bidadari_Swarga@gmail.com. Kuklik pesan masuk. Mm.. ada e-mail dari Fitri? Aku gak  nyangka secepat ini dia mengirim surat untukku. Bergegas aku membacanya. Rongga dadaku sesak, kelopak mataku terasa panas ketika membaca kata demi kata, kalimat demi kalimat yang ia tulis. Ia adalah  seorang mulaf yang tidak diakui lagi sebagai anak oleh ayahnya sendiri. Ayahnya seorang Nasrani yang taat. Ia menginginkan Fitri, yang dulunya bernama Stesi, menjadi seorang biarawati. Tapi takdir berkata lain, Fitri malah memilih menjadi seorang muslim tanpa persetujuan ayahnya. Sedangkan ibunya, sudah meninggal beberapa tahun yang lalu karena kecanduan obat-obatan.
Sungguh kuat Fitri. Hari-hari dilaluinya dalam siksaan demi siksaan dari ayahnya tanpa mengurangi kesibukannya untuk terus mempelajari dan mempraktikkan Islam. Ia menjalani masa remajanya untuk mencari kebenaran Illahi. Bukan seperti aku dan remaja lainnya, yang hanya sibuk mencari kesenangan dunia saja tanpa tahu untuk apa sebenarnya aku diciptakan. Yang lebih membuat aku takjub dengannya, dia tetap bahagia dan kuat dibalik penderitaan yang dialaminya. Aku terpesona dengan keindahan dari apa pun yang  bisa aku pikir dan rasakan. Sungguh Allah Mahaindah dan Mahasempurna, katanya dalam salah satu e-mailnya.
Setiap hari dia harus menahan sakit dikepalanya yang telah diagnosa mengidap penyakit kanker otak stadium empat. Tidak seorang pun sanak saudaranya yang menjenguknya di rumah sakit. Sebuah LSM yang peduli kepada nasib mualaf  membiayai biaya perawatan Fitri.
Tisa, sekarang hidupku sepi dari manusia, namun aku merasa ramai. Allah terasa begitu dekat. Aku begitu bebas menyampaikan apa saja pada-Nya. Kata Fitri dalam               e-mailnya.
*
Pada e-mailnya yang kedua, Fitri menuliskan nomor ponselnya untuk bisa segera menghubunginya. Tanpa berpikir panjang, aku pun meraih ponsel.
Seseorang mengangkat panggilanku dan terdengar seseorang mengucapkan salam.
“Assalamu’alaikum.. “
Wah,, suara itu! Itu Fitri.. aku bahagia dalam hati.
“Wa’alaikumsalam, Fitri.. ini aku Tisa.. Aku senang bisa bicara lagi denganmu.”
Begitu juga denganku Tisa.. banyak rasanya yang ingin aku ceritakan padamu. Apa sekarang kamu lagi sibuk?”
Nggak Fitri. Cerita aja, aku siap mendengarkan.”
Rasanya dada ini sesak mendengar setiap kata yang dia keluarkan.
“Tisa, aku merasa waktuku tak lama lagi.”
Kenapa?”
“Seolah-olah waktu mengejarku terus.”
“Jangan gitu Fitri, aku masih mau bertemu denganmu.”
Aku rasa tidak.. doakan aja aku Tisa, insyaallah kita akan dipertemukan di surga nanti.”
 “Fitri, jangan bercanda.. aku tau kamu memang mengidap kanker otak. Tapi kamu nggak boleh putus asa. Allah membenci orang-orang yang berputus asa. Semangat Fitri!
Bukannya aku putus asa. Tapi aku percaya hidup dan matinya sesorang itu di tangan Allah. Itu hanya sebuah firasatku saja. Ndak salah kan?”
Ya nggak.. tapi.”
“Tisa, kita lanjutin lain waktu ya. Aku lelah. Wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.”
“Wa’alaikumussalam warohmatullahi wabarokatuh
*
 “Tilililit....tililit....tiit...”
Aku menatap ponselku yang sedang berbunyi. Siapakah yang memanggil. Wah, Fitri..
 “Assalamu’alaikum Fitri.. mau cerita lagi? Ayo.. aku udah ga sabar ni, mau dengerin cerita kamu.”
“Wa’alaikumsalam, apa ini dengan Tisa?”
Iya.. ini saya sendiri. Ini Fitri kan?”
Maaf ini bukan Fitri, saya dari pihak rumah sakit ingin mengabarkan sesuatu kepada Saudari.”
Ada apa, ya?”
Begini, sebelum meninggal pasien yang bernama Fitri meminta saya untuk menyampaikan salamnya kepada Saudari.”
Ponsel yang kugenggam terjatuh. Innalilaahi wainnalilaahi rojiun. Air bening mengalir dari mataku. Apa yang Fitri katakan terjadi. Aku tidak akan berjumpa lagi dengannya di dunia ini.
*
Tisa, aku mencium bau surga.  sangmuallaf@yahoo.com.
***















BIODATA
Nama               : Istiadzah
Kelas                : 12 IPS 2
Sekolah                        : SMAS IT Mutiara Duri
Alamat rumah  : Jln.Tribrata, Hangtuah. Kel.Babussalam Kec.Mandau Kab.Bengkalis
Alamat sekolah            : Kompleks Sebanga, PT Cevron Pacific Indonesia


Tidak ada komentar:

Posting Komentar