Senin, 26 Maret 2012

Guru


Guru


“Bisakah kami belajar hidup dari sekolah, Pak?”
Matanya menatapku. Ia muridku. Ia yang terbaik.
“Bergunakah bagi kami dalam kehidupan sehari-hari apa yang kami dapat di sekolah ini? Bisakah pelajaran di sekolah menjadikan kami manusia yang eksis di tengah masyarakat? Ataukah pelajar hanya orang bodoh yang  hanya tahu isi buku, tak tahu tentang hidup? Saya melihat dalam pandangan orang-orang begitu, Pak. Pelajar seakan berdiri di tempat asing, dalam dunia terpisah. Lugu dan banyak berpikir.”
“Untuk apa bagimu pertanyaan tersebut? Apa kamu hendak berhenti sekolah? Atau hendak mengutuki sekolah, dan mengajak orang lain ikut mengutukinya?”
Ia diam. Pandangan matanya dalam. Aku hendak meluruskan niatnya dalam mencari jawaban.
“Nak, banyak hal yang tak mesti dan tak perlu kita jawab demi  kemaslahatan kita sendiri. Kamu perlu tahu ini agar jangan tersesat dalam lingkaran otakmu sendiri.”
“Sekolah adalah tempat kamu belajar hidup. Betapa banyak waktumu kamu habiskan di sekolah. Tentu saja apa yang kamu alami semua adalah pelajaran untuk hidupmu. Yang jadi masalah adalah kualitas dari pengalaman yang diberikan kepadamu. Kualitas dan kebaikan.”
“Seharusnya pengalaman yang diberikan kepadamu membuatmu bisa banyak berbuat untuk menolong dirimu sendiri. Bisa membuatmu tegak dengan gagah di atas kakimu menantang badai. Pencipta telah membuat rancangan super canggih untuk ciptaan-Nya yang bernama manusia. Ciptaan itu bisa mempertahankan hidup dan eksistensi dirinya dalam keadaan paling buruk di muka bumi ini. Hanya….”
“Hanya apa, Pak? Hanya pendidikan sekarang tidak mampu membuat siswanya jadi manusia. Hanya pendidikan sekarang mencetak orang-orang yang tak mampu berbuat apa-apa seperti manusia batu, boneka.”
Sang murid menyambung dengan penuh semangat.
“Jangan pernah meremehkan buku, Nak. Jangan pernah meremehkan pecinta buku. Mereka kaya dengan apa saja. Mereka punya modal untuk kaya dengan dunia, mereka punya bekal kaya di akhirat. Para pembaca tidak lugu, mereka perlu tindakan untuk menemukan bentuk nyata dari teks. Antara teks dan kenyataan tak bisa dipisahkan.”
“Maksud Bapak?”
“Teks diambil dari kenyataan. Manusia menuliskan kenyataan itu ke dalam teks. Gunanya agar bisa dipelajari orang lain atau orang-orang setelah mereka. Agar kenyataan yang pernah mereka temui tidak hilang begitu saja. Kenyataan yang terkumpul inilah yang dinamakan ilmu.”
            ”Teruslah membaca. Teruslah jadi pembaca terbaik.”
Ia diam, tapi secercah binar di matanya.
*
Apa yang dilakukan para pendidik hari ini. Mereka berlomba membunuh anak-anak didiknya. Pendidik di sini bisa jadi guru, bisa jadi orang tua. Bukan fisik mereka yang dibunuh, tapi jiwa mereka. Anak masih hidup seperti biasa, hanya kosong dari semangat untuk menemukan sesuatu yang bermakna dari kehidupan ini. Bukankah hidup ini tidaklah sia-sia. Musahil Sang Maha Pencipta yang Maha Hikmah memberikan kehidupan untuk manusia untuk sia-sia, alias tanpa makna, tanpa tujuan. Malah saking beratnya tanggung jawab terhadap kehidupan yang diberikan ini, kelak bagi orang yang menyia-nyiakan hidupnya, Allah akan memasukkannya ke dalam siksa neraka yang ganas tiada tara. Bagi orang yang mengisi hidupnya dengan penuh iman dan kebaikan, diberilah ia kenikmatan tiada tara kekal di dalam surga. Itu artinya, hidup ini sangatlah berat, sangat bertujuan.
Apa tujuannya, inilah yang harus diajarkan kepada anak-anak sesuai tingkat pemahaman mereka. Kalau tidak, kelak mereka akan bingung bagaimana ia harus mengisi hidup ini, ke mana hidup ini harus ia bawa. Anak tak tahu sebenarnya apa yang harus ia perjuangkan.
Orang tua terlalu memanjakan anak, atau malah terlalu pemarah dan tidak punya kasih sayang. Semua terjadi karena kurangnya ilmunya sebagai seorang orang tua. Guru, sudahlah tidak profesional dalam bidang yang ia ajarkan, ia tidak pula punya bekal pengetahuan dan keimanan yang bisa menanamkan dan menumbuhkan benih keimanan di dalam dada murid-muridnya.
Kadang orang tua sudah baik, guru baik, si anak yang dasar tak tahu diri dan keras kepala.
*
”Saya tidak mau”, jawabku tegas.
”Eh, Bapak ini bagaimana? Semua orang berebut jadi pejabat, Bapak malah menolaknya.” Orang yayasan itu memandangku dengan memicingkan sebelah matanya. Ia memandangku sebelah mata. Dasar kurang ajar! Mungkin ia merasa lebih dalam segala hal dariku, si orang gajian yang menumpang hidup dari yayasan yang ia kelola dengan timnya.
”Saya tidak mau jadi wakil kepala sekolah kalau kepala sekolahnya si Kasonto itu. Aku sudah lama ’ndak meninju kepalanya. Bapak perlu tahu itu.” Matanya kutatap nanar.
Ia bergeming juga. Ia menarik napas dalam, dan menghembuskannya dengan keras.
Pak Andi, umurnya sudah sekitar 50-an tahun. Ia sekampung denganku, alias orang Padang. Orang Minang di mana-mana, tanpa memandang kampung asalnya, disebut orang Padang di tanah perantauan ini. Hampir tiga puluh tahun jarak usiaku dengannya. Jabatannya di Yayasan Pembina Ilmu, yayasan pemilik sekolah tempat aku mengajar, sebagai manajer personalia.
Karena sesama orang Padang itulah ia tidak melanjutkan perdebatan. Bagi orang Minang, kebenaran tidak mesti pada orang tua. Ia tahu itu, dan tahu kalau aku tidak takut bersikeras dengannya seakan lupa dengan jabatannya. Anda takkan melihat orang Minang pengemis mau merendahkan dirinya kepada pejabat konglomerat sekalipun kalau si konglomerat itu tidak bersikap santun. Salah satu sifat angkuh orang Minang yang tidak selalu membawa kebaikan padanya.
Si Kasonto, laki-laki feminim. Jungkir balik aku mengurus kegiatan pentas seni siwa plus bazar , ia ongkang-ongkang kaki, jual tampang ke sana kemari. Tak sedikit jua tergerak tangannya untuk membantu. Pas saat orang-orang yayasan datang meninjau, bergegas-gegas ia menunduk-nunduk melayani mereka, sibuk ini itu. Seumur hidup takkan pernah bisa aku bekerja sama dengan orang seperti ini.
**
Kutatap mess beberapa lama. Lima tahun aku bersarang dalam ruang seperti kotak ini. Hidup seorang diri, jauh dari kampung halaman. Segala sesuatu tentang pengunduran diriku sudah tuntas. Tak ada seremonial perpisahan, baik dengan guru atau dengan siswa. Entah kenapa. Aku berprasangka positif saja kepada pihak yayasan. Mungkin agar proses belajar mengajar tidak terganggu.
Aku sudah berdiri di depan mobil L 300 putih yang akan membawaku menuju bus antarprovinsi yang akan membawaku kembali ke rumah bunda, tempat aku dilahirkan dan dibesarkan.
”Bapaa...k...!!”
 ”Bapaa...k...!!”
Kulihat Femi dan Gendon berlari cepat menuju ke tempat aku berdiri.
”Pak...!” Gendon langsung memelukku erat.
”Kenapa Bapak pergi... .” Mata Femi merah menahan gejolak hatinya.
”Kalian tidak belajar?” Aku sekuat tenaga tidak menampakkan suasana hatiku yang berkabut.
”Jangan pindah, Pak... .”  Air bening mulai menghias pipi hitam manis Femi.
”Iya, Pak... di sini saja, ngajar kami... .” Mata Gendon ikut merah.
”Preman kok nangis, Ndon,” kataku, ”sudah, sekarang kita salaman. Bapak juga sedih meninggalkan kalian. Sekarang kalian ba... .”
”Bapaa.......aaaaaaaaaaaaak..........!!!”
Bergemuruh.
Ratusan anak-anak berpakaian putih donker berlarian, berpacu menuju ke arahku.
Aku terpana.
..............................
Jadi guru tidak bisa punya banyak uang. 
Yang ada, punya anak sampai ratusan.
Aku bangga jadi guru.

  
                                                                                                                                                                                                                                                                           `























Tidak ada komentar:

Posting Komentar