Guru
“Bisakah kami belajar hidup dari sekolah, Pak?”
Matanya menatapku. Ia muridku. Ia yang terbaik.
“Bergunakah bagi kami dalam kehidupan sehari-hari
apa yang kami dapat di sekolah ini? Bisakah pelajaran di sekolah menjadikan
kami manusia yang eksis di tengah masyarakat? Ataukah pelajar hanya orang bodoh
yang hanya tahu isi buku, tak tahu
tentang hidup? Saya melihat dalam pandangan orang-orang begitu, Pak. Pelajar
seakan berdiri di tempat asing, dalam dunia terpisah. Lugu dan banyak
berpikir.”
“Untuk apa
bagimu pertanyaan tersebut? Apa kamu hendak berhenti sekolah? Atau hendak mengutuki sekolah, dan mengajak orang
lain ikut mengutukinya?”
Ia diam. Pandangan matanya dalam. Aku hendak
meluruskan niatnya dalam mencari jawaban.
“Nak, banyak hal yang tak mesti dan tak perlu kita
jawab demi kemaslahatan kita sendiri.
Kamu perlu tahu ini agar jangan tersesat dalam lingkaran otakmu sendiri.”
“Sekolah adalah tempat kamu belajar hidup. Betapa
banyak waktumu kamu habiskan di sekolah. Tentu saja apa yang kamu alami semua
adalah pelajaran untuk hidupmu. Yang jadi masalah adalah kualitas dari
pengalaman yang diberikan kepadamu. Kualitas dan kebaikan.”
“Seharusnya pengalaman yang diberikan kepadamu
membuatmu bisa banyak berbuat untuk menolong dirimu sendiri. Bisa membuatmu
tegak dengan gagah di atas kakimu menantang badai. Pencipta telah membuat
rancangan super canggih untuk ciptaan-Nya yang bernama manusia. Ciptaan itu
bisa mempertahankan hidup dan eksistensi dirinya dalam keadaan paling buruk di
muka bumi ini. Hanya….”
“Hanya apa, Pak? Hanya pendidikan sekarang tidak
mampu membuat siswanya jadi manusia. Hanya pendidikan sekarang mencetak
orang-orang yang tak mampu berbuat apa-apa seperti manusia batu, boneka.”
Sang murid menyambung dengan penuh semangat.
“Jangan pernah meremehkan buku, Nak. Jangan pernah
meremehkan pecinta buku. Mereka kaya dengan apa saja. Mereka punya modal untuk
kaya dengan dunia, mereka punya bekal kaya di akhirat. Para pembaca tidak lugu,
mereka perlu tindakan untuk menemukan bentuk nyata dari teks. Antara
teks dan kenyataan tak bisa dipisahkan.”
“Maksud Bapak?”
“Teks diambil
dari kenyataan. Manusia menuliskan kenyataan itu ke dalam teks. Gunanya agar bisa dipelajari orang lain atau
orang-orang setelah mereka. Agar kenyataan yang pernah mereka temui tidak
hilang begitu saja. Kenyataan yang terkumpul inilah yang dinamakan ilmu.”
”Teruslah membaca. Teruslah jadi pembaca terbaik.”
”Teruslah membaca. Teruslah jadi pembaca terbaik.”
Ia diam, tapi secercah binar di matanya.
*
Apa yang dilakukan para pendidik hari ini. Mereka
berlomba membunuh anak-anak didiknya. Pendidik di sini bisa jadi guru, bisa
jadi orang tua. Bukan fisik mereka yang dibunuh, tapi jiwa mereka. Anak masih
hidup seperti biasa, hanya kosong dari semangat untuk menemukan sesuatu yang
bermakna dari kehidupan ini. Bukankah hidup ini tidaklah sia-sia. Musahil Sang
Maha Pencipta yang Maha Hikmah memberikan kehidupan untuk manusia untuk
sia-sia, alias tanpa makna, tanpa tujuan. Malah saking beratnya tanggung jawab
terhadap kehidupan yang diberikan ini, kelak bagi orang yang menyia-nyiakan hidupnya,
Allah akan memasukkannya ke dalam siksa neraka yang ganas tiada tara. Bagi
orang yang mengisi hidupnya dengan penuh iman dan kebaikan, diberilah ia
kenikmatan tiada tara kekal di dalam surga. Itu artinya, hidup ini sangatlah
berat, sangat bertujuan.
Apa tujuannya, inilah yang harus diajarkan kepada
anak-anak sesuai tingkat pemahaman mereka. Kalau tidak, kelak mereka akan
bingung bagaimana ia harus mengisi hidup ini, ke mana hidup ini harus ia bawa.
Anak tak tahu sebenarnya apa yang harus ia perjuangkan.
Orang tua terlalu memanjakan anak, atau malah
terlalu pemarah dan tidak punya kasih sayang. Semua terjadi karena kurangnya
ilmunya sebagai seorang orang tua. Guru, sudahlah tidak profesional dalam
bidang yang ia ajarkan, ia tidak pula punya bekal pengetahuan dan keimanan yang
bisa menanamkan dan menumbuhkan benih keimanan di dalam dada murid-muridnya.
Kadang orang tua sudah baik, guru baik, si anak
yang dasar tak tahu diri dan keras kepala.
*
”Saya tidak mau”, jawabku tegas.
”Eh, Bapak ini bagaimana? Semua orang berebut jadi
pejabat, Bapak malah menolaknya.” Orang yayasan itu memandangku dengan
memicingkan sebelah matanya. Ia memandangku sebelah mata. Dasar kurang ajar!
Mungkin ia merasa lebih dalam segala hal dariku, si orang gajian yang menumpang
hidup dari yayasan yang ia kelola dengan timnya.
”Saya tidak mau jadi wakil kepala sekolah kalau
kepala sekolahnya si Kasonto itu. Aku sudah lama ’ndak meninju kepalanya. Bapak
perlu tahu itu.” Matanya kutatap nanar.
Ia bergeming juga. Ia menarik napas dalam, dan
menghembuskannya dengan keras.
Pak Andi, umurnya sudah sekitar 50-an tahun. Ia
sekampung denganku, alias orang Padang. Orang Minang di mana-mana, tanpa
memandang kampung asalnya, disebut orang Padang di tanah perantauan ini. Hampir
tiga puluh tahun jarak usiaku dengannya. Jabatannya di Yayasan Pembina Ilmu,
yayasan pemilik sekolah tempat aku mengajar, sebagai manajer personalia.
Karena sesama orang Padang itulah ia tidak
melanjutkan perdebatan. Bagi orang Minang, kebenaran tidak mesti pada orang
tua. Ia tahu itu, dan tahu kalau aku tidak takut bersikeras dengannya seakan
lupa dengan jabatannya. Anda takkan melihat orang Minang pengemis mau
merendahkan dirinya kepada pejabat konglomerat sekalipun kalau si konglomerat
itu tidak bersikap santun. Salah satu sifat angkuh orang Minang yang tidak
selalu membawa kebaikan padanya.
Si Kasonto, laki-laki feminim. Jungkir balik aku
mengurus kegiatan pentas seni siwa plus bazar , ia ongkang-ongkang kaki, jual
tampang ke sana kemari. Tak sedikit jua tergerak tangannya untuk membantu. Pas
saat orang-orang yayasan datang meninjau, bergegas-gegas ia menunduk-nunduk
melayani mereka, sibuk ini itu. Seumur hidup takkan pernah bisa aku bekerja
sama dengan orang seperti ini.
**
Kutatap mess beberapa lama. Lima tahun aku bersarang
dalam ruang seperti kotak ini. Hidup seorang diri, jauh dari kampung halaman.
Segala sesuatu tentang pengunduran diriku sudah tuntas. Tak ada seremonial
perpisahan, baik dengan guru atau dengan siswa. Entah kenapa. Aku berprasangka
positif saja kepada pihak yayasan. Mungkin agar proses belajar mengajar tidak
terganggu.
Aku sudah berdiri di depan mobil L 300 putih yang
akan membawaku menuju bus antarprovinsi yang akan membawaku kembali ke rumah
bunda, tempat aku dilahirkan dan dibesarkan.
”Bapaa...k...!!”
”Bapaa...k...!!”
Kulihat Femi dan Gendon berlari cepat menuju ke
tempat aku berdiri.
”Pak...!” Gendon langsung memelukku erat.
”Kenapa Bapak pergi... .” Mata Femi merah menahan
gejolak hatinya.
”Kalian tidak belajar?” Aku sekuat tenaga tidak
menampakkan suasana hatiku yang berkabut.
”Jangan pindah, Pak... .” Air bening mulai menghias pipi hitam manis
Femi.
”Iya, Pak... di sini saja, ngajar kami... .” Mata
Gendon ikut merah.
”Preman kok nangis, Ndon,” kataku, ”sudah,
sekarang kita salaman. Bapak juga sedih meninggalkan kalian. Sekarang kalian
ba... .”
”Bapaa.......aaaaaaaaaaaaak..........!!!”
Bergemuruh.
Ratusan anak-anak berpakaian putih donker
berlarian, berpacu menuju ke arahku.
Aku terpana.
..............................
Jadi guru tidak bisa punya banyak uang.
Yang ada, punya anak sampai ratusan.
Aku bangga jadi
guru.
`
Tidak ada komentar:
Posting Komentar