Aku tulis sajak ini di bulan gelap raja-raja
Bangkai-bangkai bergeletak lengket di aspal jalan
Amarah merajalela tanpa alamat
Ketakutan muncul dari sampah kehidupan
Pikiran kusut membentur simpul-simpul sejarah
O, zaman edan!
O, malam kelam pikiran insan!
Koyak-moyak sudah keteduhan tanpa kepercayaan
Kitab undang-undang tergeletak di selokan
Kepastian hidup terhuyung-huyung dalam comberan
O, tatawarna fatamorgana kekuasaan!
O, sihir berkilauan dari mahkota raja-raja!
Berhentilah mencari ratu adil!
Dari sejak zaman Ibrahim dan Musa
Allah selalu mengingatkan
bahwa hukum harus lebih tinggi
dari keinginan para politisi, raja-raja, dan tentara
O, kebingungan yang muncul dari kabut ketakutan!
O, rasa putus asa yang terbentur sangkur!
Berhentilah mencari ratu adil!
RAtu adil itu tidak ada! RAtu adil itu tipu daya!
Apa yang harus kita tegakkan bersama
adalah Hukum Adil
Hukum Adil adalah bintang pedoman di dalam prahara
Bau anyir darah yang kini memenuhi udara
menjadi saksi yang akan berkata:
Apabila pemerintah sudah menjarah Daulat Rakyat
apabila cukong-cukong sudah menjarah ekonomi bangsa
apabila aparat keamanan sudah menjarah keamanan
maka rakyat yang tertekan akan mencontoh penguasa
lalu menjadi penjarah di pasar dan jalan raya
Wahai, penguasa dunia yang fana!
Wahai, jiwa yang tertenung sihir tahta!
Apakah masih buta dan tuli di dalam hati?
Apakah akan meniru diri sendiri?
Apabila saran akal sehat kamu remehkan
berarti pintu untuk pikiran-pikiran kalap
yang akan muncul dari sudut-sudut gelap
telah kamu bukakan!
Cadar kabut duka cita menutup wajah Ibu Pertiwi
Air mata mengalir dari sajak ini.
Kamis, 31 Mei 2012
Anak
anak dipandang
masa depan tampak
anak dipandang
segala usaha kelihatan
anak jadi tenaga
anak jadi semangat
untuk anak segala diusaha
segala dicoba
anak
akankah bakti membalas
pada-Nya saja semua disandar
masa depan tampak
anak dipandang
segala usaha kelihatan
anak jadi tenaga
anak jadi semangat
untuk anak segala diusaha
segala dicoba
anak
akankah bakti membalas
pada-Nya saja semua disandar
Terus
maju
terus
melangkah
terus
biar tertatih
biar letih
biar pedih
biar risih
jangan henti
jangan pasi
jangan mati
sebelum pasti
terus
melangkah
terus
biar tertatih
biar letih
biar pedih
biar risih
jangan henti
jangan pasi
jangan mati
sebelum pasti
Rabu, 30 Mei 2012
ABG
abege
menggila
kurang akal
kurang ilmu
kurang agama
jumpalitan di udara hampa
mengejar burung terbang tinggi
mengejar rusa berlari kencang
mengejar harimau di tengah hutan
abege lupa diri lupa daratan
mencoreng arang di kening
mencabik baju di dada
menusuk belati ke dada
abege
Akhirnya BEgini ya GEmana lagi
menggila
kurang akal
kurang ilmu
kurang agama
jumpalitan di udara hampa
mengejar burung terbang tinggi
mengejar rusa berlari kencang
mengejar harimau di tengah hutan
abege lupa diri lupa daratan
mencoreng arang di kening
mencabik baju di dada
menusuk belati ke dada
abege
Akhirnya BEgini ya GEmana lagi
Perasaan Seni, J.E. Tatengkeng
Bagaikan banjir gulung-gemulung,
Bagaikan topan seruh-menderuh,
Demikian rasa,
datang semasa,
Mengalir, menimbun, mendesak, mengepung,
Memenuhi sukma, menawan tubuh.
Serasa manis sejuknya embun,
Selagu merdu dersiknya angin,
Demikian rasa,
datang semasa,
Membisik, mengajak, aku berpantun,
Mendayung jiwa ke tempat diingin.
Jika kau datang sekuat raksasa,
Atau kau menjelma secantik juita,
Kusedia hati,
Akan berbakti,
Dalam tubuh Kau berkuasa,
Dalam dada Kau bertakhta J.E. Tatengkeng
Bukan Beta Bijak Berperi, Rustam Efendi
Bukan beta bijak berperi,
Pandai mengubah madahan syair,
Bukan beta budak negeri,
Mesti menurut undangan mair.
Sarat saraf saya mungkiri,
Untai rangkaian seloka lama,
Berai buang berai singkiri,
Sebab laguku menurut sukma.
Susah sungguh saya sampaikan,
Degup-degupan di dalam kalbu,
Lemah laun lagi degungan,
Matnya digamat rasaian waktu.
Sering saya susah sesaat,
Sebab madahan tidak nak datang,
Sering saya sulit menekat,
Sebab terkurang lukisan memang.
Bukan beta bijak berlagu,
Dapat melemah bingkaian pantun,
Bukan beta berbuat baru,
Hanya mendengar bisikan alun.
(Rustam Effendi)
Bu Guru
bu guru
pergi pagi pulang sore
sampai di rumah bekerja keras
mengurus suami dan anak
memasak
mencuci
membersihkan rumah
anak dan bapak bertanding
yang paling rewel
yang paling bisa mencari perhatian
bu guru
lelah tentu menerpa
hari berlalu tanpa terasa
bu guru
tertatih dalam pengabdian
tanpa harga
tanpa harta
pergi pagi pulang sore
sampai di rumah bekerja keras
mengurus suami dan anak
memasak
mencuci
membersihkan rumah
anak dan bapak bertanding
yang paling rewel
yang paling bisa mencari perhatian
bu guru
lelah tentu menerpa
hari berlalu tanpa terasa
bu guru
tertatih dalam pengabdian
tanpa harga
tanpa harta
Kawan
pada kawan
yang di sana
yang aku hendak sampaikan sesuatu
yang aku tak tahu
pada kawan
ingatlah akan dulu
saat putih masih bercahaya
saat kilau menyilau
saat jernih mewarna
kawan
aku di sana tak mau pergi
walau aku harus pergi
ke suatu tempat dan masa
hitam gelam
gelap belap
kelam malam
gulita bulita
suatu masa yang mesti aku lari
tapi tak bisa
aku lari
aku lumpuh
diikat
kawan
semoga
masa itu
jadi saksi
yang di sana
yang aku hendak sampaikan sesuatu
yang aku tak tahu
pada kawan
ingatlah akan dulu
saat putih masih bercahaya
saat kilau menyilau
saat jernih mewarna
kawan
aku di sana tak mau pergi
walau aku harus pergi
ke suatu tempat dan masa
hitam gelam
gelap belap
kelam malam
gulita bulita
suatu masa yang mesti aku lari
tapi tak bisa
aku lari
aku lumpuh
diikat
kawan
semoga
masa itu
jadi saksi
siapa
yang berdiri dalam diam
siapa
yang tepaku dalam sunyi
siapa
yang tertegak tak bergerak
siapa
yang terkenang banyak masa dan cerita
siapa
yang teringat akan dosa dan terus menambahnya
siapa
yang terus merasa takut
dalam kesendirian
tapi ia tak berkawan
ia tak bisa
siapa
siapa
yang tepaku dalam sunyi
siapa
yang tertegak tak bergerak
siapa
yang terkenang banyak masa dan cerita
siapa
yang teringat akan dosa dan terus menambahnya
siapa
yang terus merasa takut
dalam kesendirian
tapi ia tak berkawan
ia tak bisa
siapa
Selasa, 29 Mei 2012
Kepada Saudaraku M. Natsir, karya Buya Hamka
Meskipun bersilang keris di leher
Berkilat pedang di hadapan matamu
Namun yang benar kau sebut juga benar
Cita Muhammad biarlah lahir
Bongkar apinya sampai bertemu
Hidangkan di atas persada nusa
Jibril berdiri sebelah kananmu
Mikail berdiri sebelah kiri
Lindungan Ilahi memberimu tenaga
Suka dan duka kita hadapi
Suaramu wahai Natsir, suara kaum - mu
Kemana lagi, Natsir kemana kita lagi
Ini berjuta kawan sepaham
Hidup dan mati bersama -sama
Untuk menuntut Ridha IlahiD
an aku pun masukkan
Dalam daftarmu …….!
Puisi karya Buya Hamka
Sajak Karya Hamka
.Di atas runtuhan Melaka
Lama penyair termenung seorang diri
ingat Melayu kala jayanya
pusat kebesaran nenek bahari
Di sini dahulu laksamana Hang Tuah
satria moyang Melayu sejati
jaya perkasa gagah dan mewah
"tidak Melayu hilang di bumi"
Di sini dahulu payung berkembang
megah bendahara Seri Maharaja
bendahara cerdik tumpuan dagang
lubuk budi laut bicara
Pun banyak pula penjual negeri
mengharap emas perak bertimba
untuk keuntungan diri sendiri
biarlah bangsa menjadi hamba
Inilah sebab bangsaku jatuh
baik dahulu atau sekarang
inilah sebabnya kakinya lumpuh
menjadi budak jajahan orang
Sakitnya bangsaku bukan di luar
tapi terhunjam di dalam nyawa
walau diubat walau ditawar
semangat hancur apakan daya
Janji Tuhan sudah tajalli
mulialah umat yang teguh iman
Allah tak pernah mungkir janji
tarikh riwayat jadi pedoman
malang mujur nasibnya bangsa
turun dan naik silih berganti
terhenyak lemah naik perkasa
tergantung atas usaha sendiri
Riwayat lama tutuplah sudah
sekarang buka lembaran baru
baik hentikan termenung gundah
apalah guna lama terharu
Bangunlah kekasih ku umat Melayu
belahan asal satu turunan
bercampur darah dari dahulu
persamaan nasib jadi kenangan
Semangat yang lemah buanglah jauh
jiwa yang kecil segera besarkan
yakin percaya iman pun teguh
zaman hadapan penuh harapan
Bunga Gugur, Rendra
bunga gugur
di atas nyawa yang gugur
gugurlah semua yang bersamanya
kekasihku
bunga gugur
di atas tempatmu terkubur
gugurlah segala hal ikhwal antara kita
baiklah kita ikhlaskan saja
tiada janji 'kan jumpa di sorga
karena di sorga tiada kita 'kan perlu asmara
asmara cuma lahir di bumi
(di mana segala berujung di tanah mati)
ia mengikuti hidup manusia
dan kalau hidup sendiri telah gugur
gugur pula ia bersama-sama
ada tertinggal sedikit kenangan
tapi semata tiada lebih dari penipuan
atau semacam pencegah bunuh diri
mungkin ada pula kesedihan
itu baginya semacam harga atau kehormatan
yang sebenarnya akan berontokan
kekasihku
gugur, ya gugur
semua gugur
hidup asmara, embun di bunga
yang kita ambil cuma y ang berguna
di atas nyawa yang gugur
gugurlah semua yang bersamanya
kekasihku
bunga gugur
di atas tempatmu terkubur
gugurlah segala hal ikhwal antara kita
baiklah kita ikhlaskan saja
tiada janji 'kan jumpa di sorga
karena di sorga tiada kita 'kan perlu asmara
asmara cuma lahir di bumi
(di mana segala berujung di tanah mati)
ia mengikuti hidup manusia
dan kalau hidup sendiri telah gugur
gugur pula ia bersama-sama
ada tertinggal sedikit kenangan
tapi semata tiada lebih dari penipuan
atau semacam pencegah bunuh diri
mungkin ada pula kesedihan
itu baginya semacam harga atau kehormatan
yang sebenarnya akan berontokan
kekasihku
gugur, ya gugur
semua gugur
hidup asmara, embun di bunga
yang kita ambil cuma y ang berguna
Rumah Kelabu, karya WS Rendra
Rumah batu, rumah kelabu
begitu lapang berpenghuni satu
kesuraman merebahinya
redup lampu, denting piano
terpendam penghuninya mengurung diri
warna duka menembusi jendela
lagu piano, lelap sepi, redup lampu
racun apa mendinding dirinya
begitu benar dicintainya sepi?
pupus kepercayaan oleh ketidakabadian segala?
apa ia keliwat mencintai dirinya?
tidak dibiar satu luka di sisi bekas yang lama?
mati cita rasa bagi nikmat agung sedetik bunga?
penghuni yang mengunci diri dan hati pada sepi
di hati kutanya-tanya kapan ia bunuh diri?
rumah batu, rumah kelabu
kesuramannya tidak memberita kecuali teka-teki
begitu lapang berpenghuni satu
kesuraman merebahinya
redup lampu, denting piano
terpendam penghuninya mengurung diri
warna duka menembusi jendela
lagu piano, lelap sepi, redup lampu
racun apa mendinding dirinya
begitu benar dicintainya sepi?
pupus kepercayaan oleh ketidakabadian segala?
apa ia keliwat mencintai dirinya?
tidak dibiar satu luka di sisi bekas yang lama?
mati cita rasa bagi nikmat agung sedetik bunga?
penghuni yang mengunci diri dan hati pada sepi
di hati kutanya-tanya kapan ia bunuh diri?
rumah batu, rumah kelabu
kesuramannya tidak memberita kecuali teka-teki
Etsa, puisi karya Toto Sudarto Bachtiar
suara kasih dalam hati mendalam
kian lincah, tapi kemudian membeku
tanpa bulan, karena bulan beradu
dan hatiku sendiri kian terbenam
kian lincah, tapi kemudian membeku
tanpa bulan, karena bulan beradu
dan hatiku sendiri kian terbenam
Merah, karya Subagio Sastrowardojo
aku suka kepada merah
karena mengingat kepada darah
yang berteriak ke arah sawang
merebut terang
darah mengalir
waktu lahir
darah mengalir
waktu akhir
darah
getah bumi
membeku
pada aku
dalam darah
berbayang
nyawa
pucat bagai siang
karena mengingat kepada darah
yang berteriak ke arah sawang
merebut terang
darah mengalir
waktu lahir
darah mengalir
waktu akhir
darah
getah bumi
membeku
pada aku
dalam darah
berbayang
nyawa
pucat bagai siang
Catatan Masa Kecil
Karya Sapardi Djoko Damono
Ia mengambil jalan pintas dan jarum-jarum rumput berguguran oleh langkah-langkahnya. Langit belum berubah juga. Ia membayangkan rahang-rahang laut dan rahang-rahang bunga lalu berfikir apakah burung yang tersentak dari ranting lamtara itu pernah menyaksikan rahang-rahang laut dan rahang-rahang bunga terkam-menerkam. langit belum berubah juga. Angin begitu ringan dan bisa meluncur ke mana pun dan bisa menggoda laut sehabis menggoda bunga tetapi ia bukan angin dan ia kesal lalu menyepak sebutir kerikil. Ada yang terpekik di balik semak. ia tak mendengarnya.
Ada yang terpekik di balik semak dan gemanya menyentuh sekuntum bunga lalu tersangkut pada angin dan terbawa sampai ke laut tetapi ia tidak mendengarnya dan ia membayangkan rahang-rahang langit kalau hari hampir hujan. Ia sampai di tanggul sungai tetapi mereka yang berjanji menemuinya di sini ternyata tak ada. Langit sudah berubah. Ia memperhatikan ekor srigunting yang senatiasa bergerak dan mereka yang berjanji mengajaknya ke seberang sungai belum juga tiba lalu ia menyaksikan butir-butir hujan mulai jatuh ke air dan ia memperhatikan lingkaran-lingkaran itu melebar dan ia membayangkan mereka tiba-tiba mengepungnya dan melemparkannya ke air.
Ada yang memperhatikannya dari seberang sungai tetapi ia tidak melihatnya. Ada.
Ia mengambil jalan pintas dan jarum-jarum rumput berguguran oleh langkah-langkahnya. Langit belum berubah juga. Ia membayangkan rahang-rahang laut dan rahang-rahang bunga lalu berfikir apakah burung yang tersentak dari ranting lamtara itu pernah menyaksikan rahang-rahang laut dan rahang-rahang bunga terkam-menerkam. langit belum berubah juga. Angin begitu ringan dan bisa meluncur ke mana pun dan bisa menggoda laut sehabis menggoda bunga tetapi ia bukan angin dan ia kesal lalu menyepak sebutir kerikil. Ada yang terpekik di balik semak. ia tak mendengarnya.
Ada yang terpekik di balik semak dan gemanya menyentuh sekuntum bunga lalu tersangkut pada angin dan terbawa sampai ke laut tetapi ia tidak mendengarnya dan ia membayangkan rahang-rahang langit kalau hari hampir hujan. Ia sampai di tanggul sungai tetapi mereka yang berjanji menemuinya di sini ternyata tak ada. Langit sudah berubah. Ia memperhatikan ekor srigunting yang senatiasa bergerak dan mereka yang berjanji mengajaknya ke seberang sungai belum juga tiba lalu ia menyaksikan butir-butir hujan mulai jatuh ke air dan ia memperhatikan lingkaran-lingkaran itu melebar dan ia membayangkan mereka tiba-tiba mengepungnya dan melemparkannya ke air.
Ada yang memperhatikannya dari seberang sungai tetapi ia tidak melihatnya. Ada.
Sabtu, 26 Mei 2012
Laki-Laki Sejati Cerpen Putu Wijaya
Laki-Laki Sejati
Cerpen Putu Wijaya
Seorang perempuan
muda bertanya kepada ibunya.
Ibu, lelaki sejati
itu seperti apa?
Ibunya terkejut. Ia
memandang takjub pada anak yang di luar pengamatannya sudah menjadi gadis
jelita itu. Terpesona, karena waktu tak mau menunggu. Rasanya baru kemarin anak
itu masih ngompol di sampingnya sehingga kasur berbau pesing. Tiba-tiba saja
kini ia sudah menjadi perempuan yang punya banyak pertanyaan.
Sepasang matanya yang
dulu sering belekan itu, sekarang bagai sorot lampu mobil pada malam gelap.
Sinarnya begitu tajam. Sekelilingnya jadi ikut memantulkan cahaya. Namun jalan
yang ada di depan hidungnya sendiri, yang sedang ia tempuh, nampak masih
berkabut. Hidup memang sebuah rahasia besar yang tak hanya dialami dalam cerita
di dalam pengalaman orang lain, karena harus ditempuh sendiri.
Kenapa kamu
menanyakan itu, anakku?
Sebab aku ingin tahu.
Dan sesudah tahu?
Aku tak tahu.
Wajah gadis itu
menjadi merah. Ibunya paham, karena ia pun pernah muda dan ingin menanyakan hal
yang sama kepada ibunya, tetapi tidak berani. Waktu itu perasaan tidak pernah
dibicarakan, apalagi yang menyangkut cinta. Kalaupun dicoba, jawaban yang
muncul sering menyesatkan. Karena orang tua cenderung menyembunyikan rahasia
kehidupan dari anak-anaknya yang dianggapnya belum cukup siap untuk mengalami.
Kini segalanya sudah berubah. Anak-anak ingin tahu tak hanya yang harus mereka
ketahui, tetapi semuanya. Termasuk yang dulu tabu. Mereka senang pada bahaya.
Setelah menarik
napas, ibu itu mengusap kepala putrinya dan berbisik.
Jangan malu, anakku.
Sebuah rahasia tak akan menguraikan dirinya, kalau kau sendiri tak penasaran
untuk membukanya. Sebuah rahasia dimulai dengan rasa ingin tahu, meskipun
sebenarnya kamu sudah tahu. Hanya karena kamu tidak pernah mengalami sendiri,
pengetahuanmu hanya menjadi potret asing yang kamu baca dari buku. Banyak orang
tua menyembunyikannya, karena pengetahuan yang tidak perlu akan membuat hidupmu
berat dan mungkin sekali patah lalu berbelok sehingga kamu tidak akan pernah
sampai ke tujuan. Tapi ibu tidak seperti itu. Ibu percaya zaman memberikan kamu
kemampuan lain untuk menghadapi bahaya-bahaya yang juga sudah berbeda. Jadi ibu
akan bercerita. Tetapi apa kamu siap menerima kebenaran walaupun itu tidak
menyenangkan?
Maksud Ibu?
Lelaki sejati anakku,
mungkin tidak seperti yang kamu bayangkan.
Kenapa tidak?
Sebab di dalam mimpi,
kamu sudah dikacaukan oleh bermacam-macam harapan yang meluap dari berbagai
kekecewaan terhadap laki-laki yang tak pernah memenuhi harapan perempuan. Di
situ yang ada hanya perasaan keki.
Apakah itu salah?
Ibu tidak akan bicara
tentang salah atau benar. Ibu hanya ingin kamu memisahkan antara perasaan dan
pikiran. Antara harapan dan kenyataan.
Aku selalu memisahkan
itu. Harapan adalah sesuatu yang kita inginkan terjadi yang seringkali
bertentangan dengan apa yang kemudian ada di depan mata. Harapan menjadi ilusi,
ia hanya bayang-bayang dari hati. Itu aku mengerti sekali. Tetapi apa salahnya
bayang-bayang? Karena dengan bayang-bayang itulah kita tahu ada sinar matahari
yang menyorot, sehingga berkat kegelapan, kita bisa melihat bagian-bagian yang
diterangi cahaya, hal-hal yang nyata yang harus kita terima, meskipun itu
bertentangan dengan harapan.
Ibunya tersenyum.
Jadi kamu masih ingat
semua yang ibu katakan?
Kenapa tidak?
Berarti kamu sudah
siap untuk melihat kenyataan?
Aku siap. Aku tak
sabar lagi untuk mendengar. Tunjukkan padaku bagaimana laki-laki sejati itu.
Ibu memejamkan
matanya. Ia seakan-akan mengumpulkan seluruh unsur yang berserakan di
mana-mana, untuk membangun sebuah sosok yang jelas dan nyata.
Laki-laki yang
sejati, anakku katanya kemudian, adalah… tetapi ia tak melanjutkan.
Adalah?
Adalah seorang
laki-laki yang sejati.
Ah, Ibu jangan
ngeledek begitu, aku serius, aku tak sabar.
Bagus, Ibu hanya
berusaha agar kamu benar-benar mendengar setiap kata yang akan ibu sampaikan.
Jadi perhatikan dengan sungguh-sungguh dan jangan memotong, karena laki-laki
sejati tak bisa diucapkan hanya dengan satu kalimat. Laki-laki sejati anakku,
lanjut ibu sambil memandang ke depan, seakan-akan ia melihat laki-laki sejati
itu sedang melangkah di udara menghampiri penjelmaannya dalam kata-kata.
Laki-laki sejati
adalah…
Laki-laki yang
perkasa?!
Salah! Kan barusan
Ibu bilang, jangan menyela! Laki-laki disebut laki-laki sejati, bukan hanya
karena dia perkasa! Tembok beton juga perkasa, tetapi bukan laki-laki sejati
hanya karena dia tidak tembus oleh peluru tidak goyah oleh gempa tidak tembus
oleh garukan tsunami, tetapi dia harus lentur dan berjiwa. Tumbuh, berkembang
bahkan berubah, seperti juga kamu.
O ya?
Bukan karena ampuh,
bukan juga karena tampan laki-laki menjadi sejati. Seorang lelaki tidak menjadi
laki-laki sejati hanya karena tubuhnya tahan banting, karena bentuknya indah
dan proporsinya ideal. Seorang laki-laki tidak dengan sendirinya menjadi
laki-laki sejati karena dia hebat, unggul, selalu menjadi pemenang, berani dan
rela berkorban. Seorang laki-laki belum menjadi laki-laki sejati hanya karena
dia kaya-raya, baik, bijaksana, pintar bicara, beriman, menarik, rajin
sembahyang, ramah, tidak sombong, tidak suka memfitnah, rendah hati, penuh
pengertian, berwibawa, jago bercinta, pintar mengalah, penuh dengan toleransi,
selalu menghargai orang lain, punya kedudukan, tinggi pangkat atau punya
karisma serta banyak akal. Seorang laki-laki tidak menjadi laki-laki sejati
hanya karena dia berjasa, berguna, bermanfaat, jujur, lihai, pintar atau
jenius. Seorang laki-laki meskipun dia seorang idola yang kamu kagumi, seorang
pemimpin, seorang pahlawan, seorang perintis, pemberontak dan pembaru, bahkan
seorang yang arif-bijaksana, tidak membuat dia otomatis menjadi laki-laki
sejati!
Kalau begitu apa
dong?
Seorang laki-laki
sejati adalah seorang yang melihat yang pantas dilihat, mendengar yang pantas
didengar, merasa yang pantas dirasa, berpikir yang pantas dipikir, membaca yang
pantas dibaca, dan berbuat yang pantas dibuat, karena itu dia berpikir yang
pantas dipikir, berkelakuan yang pantas dilakukan dan hidup yang sepantasnya
dijadikan kehidupan.
Perempuan muda itu
tercengang.
Hanya itu?
Seorang laki-laki
sejati adalah seorang laki-laki yang satu kata dengan perbuatan!
Orang yang konsekuen?
Lebih dari itu!
Seorang yang bisa
dipercaya?
Semuanya!
Perempuan muda itu
terpesona.
Apa yang lebih dari
yang satu kata dan perbuatan? Tulus dan semuanya? Ahhhhh! Perempuan muda itu
memejamkan matanya, seakan-akan mencoba membayangkan seluruh sifat itu
mengkristal menjadi sosok manusia dan kemudian memeluknya. Ia menikmati
lamunannya sampai tak sanggup melanjutkan lagi ngomong. Dari mulutnya terdengar
erangan kecil, kagum, memuja dan rindu. Ia mengalami orgasme batin.
Ahhhhhhh, gumannya
terus seperti mendapat tusukan nikmat. Aku jatuh cinta kepadanya dalam
penggambaran yang pertama. Aku ingin berjumpa dengan laki-laki seperti itu.
Katakan di mana aku bisa menjumpai laki-laki sejati seperti itu, Ibu?
Ibu tidak menjawab.
Dia hanya memandang anak gadisnya seperti kasihan. Perempuan muda itu jadi
bertambah penasaran.
Di mana aku bisa
berkenalan dengan dia?
Untuk apa?
Karena aku akan
berkata terus-terang, bahwa aku mencintainya. Aku tidak akan malu-malu untuk
menyatakan, aku ingin dia menjadi pacarku, mempelaiku, menjadi bapak dari
anak-anakku, cucu-cucu Ibu. Biar dia menjadi teman hidupku, menjadi tongkatku
kalau nanti aku sudah tua. Menjadi orang yang akan memijit kakiku kalau
semutan, menjadi orang yang membesarkan hatiku kalau sedang remuk dan ciut.
Membangunkan aku pagi-pagi kalau aku malas dan tak mampu lagi bergerak. Aku
akan meminangnya untuk menjadi suamiku, ya aku tak akan ragu-ragu untuk
merayunya menjadi menantu Ibu, penerus generasi kita, kenapa tidak, aku akan
merebutnya, aku akan berjuang untuk memilikinya.
Dada perempuan muda
itu turun naik.
Apa salahnya sekarang
wanita memilih laki-laki untuk jadi suami, setelah selama berabad-abad kami
perempuan hanya menjadi orang yang menunggu giliran dipilih?
Perempuan muda itu
membuka matanya. Bola mata itu berkilat-kilat. Ia memegang tangan ibunya.
Katakan cepat Ibu, di
mana aku bisa menjumpai laki-laki itu?
Bunda menarik nafas
panjang. Gadis itu terkejut.
Kenapa Ibu menghela
nafas sepanjang itu?
Karena kamu
menanyakan sesuatu yang sudah tidak mungkin, sayang.
Apa? Tidak mungkin?
Ya.
Kenapa?
Karena laki-laki
sejati seperti itu sudah tidak ada lagi di atas dunia.
Oh, perempuan muda
itu terkejut.
Sudah tidak ada lagi?
Sudah habis.
Ya Tuhan, habis?
Kenapa?
Laki-laki sejati
seperti itu semuanya sudah amblas, sejak ayahmu meninggal dunia.
Perempuan muda itu
menutup mulutnya yang terpekik karena kecewa.
Sudah amblas?
Ya. Sekarang yang ada
hanya laki-laki yang tak bisa lagi dipegang mulutnya. Semuanya hanya pembual.
Aktor-aktor kelas tiga. Cap tempe semua. Banyak laki-laki yang kuat, pintar,
kaya, punya kekuasaan dan bisa berbuat apa saja, tapi semuanya tidak bisa
dipercaya. Tidak ada lagi laki-laki sejati anakku. Mereka tukang kawin, tukang
ngibul, semuanya bakul jamu, tidak mau mengurus anak, apalagi mencuci celana
dalammu, mereka buas dan jadi macan kalau sudah dapat apa yang diinginkan.
Kalau kamu sudah tua dan tidak rajin lagi meladeni, mereka tidak segan-segan
menyiksa menggebuki kaum perempuan yang pernah menjadi ibunya. Tidak ada lagi
laki-laki sejati lagi, anakku. Jadi kalau kamu masih merindukan laki-laki sejati,
kamu akan menjadi perawan tua. Lebih baik hentikan mimpi yang tak berguna itu.
Gadis itu termenung.
Mukanya nampak sangat murung.
Jadi tak ada harapan
lagi, gumamnya dengan suara tercekik putus asa. Tak ada harapan lagi. Kalau
begitu aku patah hati.
Patah hati?
Ya. Aku putus asa.
Kenapa mesti putus
asa?
Karena apa gunanya
lagi aku hidup, kalau tidak ada laki-laki sejati?
Ibunya kembali
mengusap kepala anak perempuan itu, lalu tersenyum.
Kamu terlalu muda,
terlalu banyak membaca buku dan duduk di belakang meja. Tutup buku itu sekarang
dan berdiri dari kursi yang sudah memenjarakan kamu itu. Keluar, hirup udara
segar, pandang lagit biru dan daun-daun hijau. Ada bunga bakung putih sedang
mekar beramai-ramai di pagar, dunia tidak seburuk seperti yang kamu bayangkan
di dalam kamarmu. Hidup tidak sekotor yang diceritakan oleh buku-buku dalam
perpustakaanmu meskipun memang tidak seindah mimpi-mimpimu. Keluarlah anakku,
cari seseorang di sana, lalu tegur dan bicara! Jangan ngumpet di sini!
Aku tidak ngumpet!
Jangan lari!
Siapa yang lari?
Mengurung diri itu
lari atau ngumpet. Ayo keluar!
Keluar ke mana?
Ke jalan! Ibu
menunjuk ke arah pintu yang terbuka. Bergaul dengan masyarakat banyak.
Gadis itu termangu.
Untuk apa? Dalam
rumah kan lebih nyaman?
Kalau begitu kamu mau
jadi kodok kuper!
Tapi aku kan banyak
membaca? Aku hapal di luar kepala sajak-sajak Kahlil Gibran!
Tidak cukup! Kamu
harus pasang omong dengan mereka, berdialog akan membuat hatimu terbuka, matamu
melihat lebih banyak dan mengerti pada kelebihan-kelebihan orang lain.
Perempuan muda itu
menggeleng.
Tidak ada gunanya,
karena mereka bukan laki-laki sejati.
Makanya keluar.
Keluar sekarang juga!
Keluar?
Ya.
Perempuan muda itu
tercengang, suara ibunya menjadi keras dan memerintah. Ia terpaksa meletakkan
buku, membuka earphone yang sejak tadi menyemprotkan musik R & B ke dalam
kedua telinganya, lalu keluar kamar.
Matahari sore
terhalang oleh awan tipis yang berasal dari polusi udara. Tetapi itu justru
menolong matahari tropis yang garang itu untuk menjadi bola api yang indah.
Dalam bulatan yang hampir sempurna, merahnya menyala namun lembut menggelincir
ke kaki langit. Silhuet seekor burung elang nampak jauh tinggi melayang-layang
mengincer sasaran. Wajah perempuan muda itu tetap kosong.
Aku tidak memerlukan
matahari, aku memerlukan seorang laki-laki sejati, bisiknya.
Makanya keluar dari
rumah dan lihat ke jalanan!
Untuk apa?
Banyak laki-laki di
jalanan. Tangkap salah satu. Ambil yang mana saja, sembarangan dengan mata
terpejam juga tidak apa-apa. Tak peduli siapa namanya, bagaimana tampangnya,
apa pendidikannya, bagaimana otaknya dan tak peduli seperti apa perasaannya.
Gaet sembarang laki-laki yang mana saja yang tergapai oleh tanganmu dan jadikan
ia teman hidupmu!
Perempuan muda itu
tecengang. Hampir saja ia mau memprotes. Tapi ibunya keburu memotong. Asal,
lanjut ibunya dengan suara lirih namun tegas, asal, ini yang terpenting anakku,
asal dia benar-benar mencintaimu dan kamu sendiri juga sungguh-sungguh
mencintainya. Karena cinta, anakku, karena cinta dapat mengubah segala-galanya.
Perempuan muda itu
tercengang.
Dan lebih dari itu,
lanjut ibu sebelum anaknya sempat membantah, lebih dari itu anakku, katanya
dengan suara yang lebih lembut lagi namun semakin tegas, karena seorang
perempuan, anakku, siapa pun dia, dari mana pun dia, bagaimana pun dia, setiap
perempuan, setiap perempuan anakku, dapat membuat seorang lelaki, siapa pun
dia, bagaimana pun dia, apa pun pekerjaannya bahkan bagaimana pun kalibernya,
seorang perempuan dapat membuat setiap lelaki menjadi seorang laki-laki yang
sejati! ***Denpasar, akhir 2004
Inyik Lunak Si Tukang Canang
Inyik Lunak Si Tukang Canang
AA Navis
Pada masa PRRI, Otang, teman Si Dali, pulang kampung. Seperti banyak orang lain sebelum APRI menyerbu.
Otang seorang gembong. Juga bukan pegawai negeri. Kalau Otang pulang kampung juga, hanyalah karena alasan khusus. Katanya, karena solider pada Pak Natsir, tokoh idolanya, yang mengirimnya magang di peternakan Amerika di Florida selama setahun. Tapi pengetahuan peternakannya itu tidak bisa dipraktikkan di kampungnya. Selain hambatan sosial budaya, juga oleh masalah modal. Karena itu dia menetap saja di Jakarta. Menunggu perobahan kondisi dan situasi yang akan dapat mengangkat martabat dirinya.
Katanya, betapa dia tidak akan solider. Dari seorang berayah pemilik warung, lalu berkesempatan melihat Amerika yang serba wah seperti yang diangankannya ketika nonton film-filmnya. Bahkan lebih daripada solider itu, ialah karena perasaan malu pada diri sendiri bila tidak solider. Otang menikah sebelum dia ke Amerika. Alasan orang tuanya di kampung, agar Otang tidak kecantol pada gadis di sana, lalu tidak mau pulang lagi. Pada mulanya Otang keberatan. Namun segera saja dia setuju demi ketemu calon istri yang secantik bintang film Titien Sumarni. Bedanya hanya tanpa tahi lalat di bibir atas. Ketika kembali ke kampung karena ikut PRRI, dia sudah punya dua anak. Dan selama di kampung dia tidak bekerja apapun. Memang tidak ada yang bisa dikerjakannya. Karena semenjak sekolah di kampung sampai ke Amerika pun dia tidak belajar untuk bekerja. Dia belajar untuk jadi orang tahu tentang berbagai ilmu. Dalam masa perang ilmu tidak berguna. Yang diperlukan, kalau tidak senjata, ya akal. Minimal akal-akalan.
Tibalah masanya kampung Otang diduduki APRI. Oleh APRI disebut dibebaskan. Maka tiba pulalah masanya Otang harus bekerja memegang pacul. Yaitu bergotong-royong massal dan ronda malam di kecamatan. Di kala gotong-royong semua lakki-laki berbaur. Apa orang tua, apa petani, apa guru, apa haji, apa datuk, apalagi orang semacam Otang. Bagi Otang sekali mengayunkan pacul, melepuhlah telapak tangannya. Telapak tangan melepuh, tidak dapat dijadikan alasan istirahat dari bergotong-royong.
Yang jadi komandan APRI di kecamatan itu berjabatan Bintara Urusan Teritorial, kronimnya Buter. Talib namanya. Sersan Mayor pangkatnya. Orangnya berbobot besar. Bedegab, kata penduduk. Suaranya bariton. Jika berteriak, kecutlah semua orang. Berpacu bunyi pacul pada batu untuk mengeluarkan rumput. Lama-lama Buter Talib jarang mengawasi gotong-royong. Namun perintah gotong-royong datang hampir saban hari. Melalui seruan Inyik Lunak dari ujung ke ujung kampung, sambil memalu canang yang berbunyi cer cer cer. Karena pada paro bahagian canang itu sudah pecah. Dan suara Inyik Lunak itu pun serak seperti selaput suaranya juga pecah.
Gotong-royong hampir setiap hari itu sangat menjengkelkan Otang. Juga semua orang. Bukan karena kehilangan waktu untuk bekerja, juga merasa sengaja dihina sebagai orang taklukan. Sehingga setiap mendengar bunyi cer cer cer dari canang yang dipukul dan diiringi suara pecah Inyik Lunak, lama-lama berakibat pada ketidak-sukaan Otang pada Inyik Lunak. Setiap berpapasan dengan Inyik Lunak di jalan, dia selalu melengos ke arah lain. Kalau lagi nongkrong di lepau Mak Mango di sudut pasar, lalu Inyik Lunak datang, dia buru-buru pergi. Sebaliknya jika Inyik Lunak sudah lebih dulu nongkrong, dia batal masuk lepau itu.
Bahkan Otang kian mual pada Inyik Lunak setelah tahu, apa yang dilakukan Buter Talib ketika semua laki-laki bergotong-royong. Bersama salah seorang kopralnya dia masuk kampung keluar kampung menzinai istri-istri orang-orang PRRI yang terus bertahan di pedalaman. Kopral Jono juga berbuat yang sama. Camat Basri yang orang kampung itu sendiri pun sama dengan yang lain dan yang lainnya lagi. Pembantu Ispektur Polisi Hartono meniduri kedua anak gadis Sudira, Sipir Penjara. "Mau apa kita? Bilang apa kita?" itulah kata-kata yang keluar dari mulut penduduk negeri yang ditaklukan itu.
Akhirnya, meski tidak ikut perang, cuma karena rasa simpati saja, dia harus membayar mahal seperti orang taklukan yang lain. Sengsara jugalah jadinya Otang. Sengsara bukan karena bersimpati kepada PRRI, melainkan karena istrinya cantik. Atun yang semula jadi istri dibanggakan, kini menjadi ranjau darat yang membelah-belah jantungnya. Pada waktu penduduk diperintah gotong-rotong, Buter Talib mampir ke rumah Atun. Malah Buter Talib konon pernah menginap ketika giliran Otang ronda malam.
Awal-awalnya Otang tidak tahu apa yang terjadi. Mertuanya tidak memberi tahu. Apalagi Atun. Wajah keruh kedua perempuan itu setiap Otang pulang dari bergotong-royong tidaklah difahami Otang. Pada mulanya memang begitu. Tapi ketika Inyik Lunah si tukang canang membisikkan agar Atun diantar ke kota, dia mulai membauni kasus yang sebenarnya. Otang mencak-mencak. Atun dicaci-maki karena tidak melawan perkosaan itu. Dia pun mengomeli ibu mertuanya yang bersekongkol.
"Otang, cobalah kau tempatkan dirimu sebagai si Atun, atau sebagai aku sendiri ketika bencana itu tiba. Apa mungkin kami melawan? Apa mestinya kami mengadu padamu, supaya Si Talib yang berkuasa itu kau hajar?" kata ibu mertuanya setelah gelegak darah Otang mulai mereda.
Otang tidak terhibur. Setumpuk sesal menghimpit dirinya. Menyesal dia tidak ikut memanggul senjata melawan APRI. Kalau dia jadi tentera PRRI, pasti dia akan menembak APRI semacam Buter Talib itu. Dua hal yang tidak mampu dia sesali. Pertama dia pulang kampung karena alasan solider pada Pak Natsir. Kedua karena Atun begitu cantiknya. Tapi membawa isteri dan anaknya pulang kampung karena yakin PRRI akan menang perangnya, adalah salah perhitungan yang paling disesalinya.
Dia marah pada Buter Talib. Marah sekali. Juga benci dan jijik. Tapi nyalinya hilang demi melihat semua orang berbaju hijau, seperti Buter Talib lebih-lebih. Dia sadar, bahwa dia bukan laki-laki yang jantan. Karena dia tidak pernah belajar jadi jantan, sejak dari sekolah sampai ke Florida sana. Dia hanya mendengar dan menerima apa kata guru dan kata buku.
Maka ketika Bupati Kasdut, teman sekolahnya dulu yang kapten pangkat militernya, datang inspeksi ke kecamatan, Otang menemuinya. Diceritakannya perilaku tentera pada penduduk......."Kalau cara APRI datang membebaskan daerah ini menjunjung rasa kemanusiaan berbangsa, tiga bulan saja PRRI sudah habis. Tapi karena tentera bersikap ganas, merampok, memperkosa istri-istri orang, perang akan lama. Karena PRRI tidak akan menyerah kepada musuhnya yang ganas, walaupun bertahun-tahun di hutan rimba."
"Itu dunia tentera, Otang. Risiko buruk bagi yang kalah perang. Tentera orang awak pun sama ganasnya ketika melakukan operasi militer ke daerah lain." kata Bupati Kasdut yang kapten itu.
"Dengan bangsa sendiri mesti berlaku ganas?"
"Itu kebijaksanaan komando agar rakyat di daerah mana pun tidak lagi berkhayal untuk berontak."
"Menegakkan kebijaksanaan dengan cara yang ganas itu apa APRI dapat menjadi pahlawan yang dicintai rakyat?"
"Sampai saat ini kebijaksanaan komando tidak akan berobah." kata Kapten Kasdut yang Bupati itu.
Otang lalu ingat slogan masa itu: "Jika takut pada bedil, lari ke pangkalnya." Tak ada gunanya melawan orang yang sedang menang perang. Dan ketika Bupati Kasdut kembali ke kota kabupaten, Otang minta ikut. Dan semenjak itu seisi kampung tidak ada yang tahu kemana dan dimana Otang.
***
Dua puluh lima tahun kemudian, Si Dali ketemu Otang di Jakarta. Di rumah Kasdut yang sudah pensiun dengan pangkat kolonel. Sudah jauh beda gaya Otang. Tenang. Terlihat alim. Gaya bicaranya lembut. Lunak, menurut Nawar. Dia memelihara jenggot. Model Haji Agus Salim. Putih warnanya. Di kepalanya bertengger kopiah beluderu hitam yang apik letaknya. Si Dali tidak lupa padanya. Dia pun tidak. Tapi dia tidak bergabung dengan Si Dali di ruang tengah. Dia di ruang belakang dengan ibu mertua Kasdut yang berusia hampir delapan puluh tahun.
"Dia sudah jadi penghulu sekarang. Datuk Rajo Di Koto nama gelarnya. Dipilih dan ditabalkan oleh kaumnya yang merantau di sini. Kata orang, gelar itu disebut gadang menyimpang. Tidak lazim menurut adat. Urusan kaum itulah itu." kata Kasdut yang ketika sebelum pensiun telah ditabalkan pula jadi Datuk oleh kaumnya di kampung. Datuk Raja Kuasa gelarnya. Gelar yang pantas bagi seorang kolonel yang pernah jadi Bupati. "Kalau aku, aku dapat gelar yang sah menurut adat. Disepakati oleh seluruh kaum di kampung dan dirantau lebih dulu." lanjutnya kemudian.
Si Dali panasaran kenapa Otang lebih suka berbaur dengan nenek itu daripada dengan sahabat lama yang dua puluh lima tahun tidak ketemu. Dugaan Si Dali jadi miring. Mungkin dia tidak suka ketemu Si Dali, karena mau menghindar dari luka lama masa perang PRRI. Luka karena Buter Talib meniduri Atun. Kemudian menyerahkan Atun kepada Buter pengganti dan penggantinya lagi. Tapi itu cerita lama. Apa dia masih dendam setelah Buter Talib dan teman-temannya membayar dosa-dosanya setelah pemberontakan komunis dikalahkan? "Dia sudah dua kali ke Mekkah." kata Kasdut selagi Si Dali merenung. Katanya lagi seolah-olah tidak begitu penting: "Ibu mertuaku membawanya jadi muhrim. Duitnya tentu saja dari aku. Dari siapa lagi, bukan?"
Sejak berangkat dari kampung, keluar dari daerah peperangan, Otang ke Jakarta membawa segala luka dan perih di hati. Kota itu diharapkannya mampu melupakan masa lalu. Nyatanya kota itu lebih menaburkan racun masa lalunya. Terutama melihat orang-orang berbaju hijau seragam yang menggandeng perempuan, yang nampak oleh matanya tidak lain dari orang-orang seperti Buter Talib yang menggandeng Atun. Ada rasa mual mau muntah dalam perutnya. Akhirnya dia mengurung diri di rumah iparnya tempat dia menumpang.
Kalau pun dia keluar rumah, tidak lebih jauh dari pagar halaman.
Untuk membunuh sepi dia membaca buku-buku agama, karena buku-buku itu tidak bicara tentang konflik yang melukai. Isi buku itu pun tidak untuk direnungkan. Karena dia tidak suka membebankan pikirannya. Koran atau majalah dihindarinya. Kalau tidak membaca, Otang mengerjakan apa saja yang bisa dilakukannya di rumah itu. Membersih-bersih, membenahi kerusakan kecil.
Akhirnya dia keluar juga dari persembunyiannya karena harus ikut menghadiri pemakaman seorang kemenakannya. Sekali keluar dari isolasi, hampir berterusan dia jarang di rumah di siang hari. Hampir setiap hari dia berkunjung dari satu rumah ke rumah lain, yang semuanya adalah dunsanak atau orang kampung seasal. Dia diterima dengan tangan dan hati terbuka. Meski oleh kerabat Atun. Terutama oleh orang-orang tua yang telah kehilangan kesibukan, yang memerlukan sahabat dan kenalan tempat berkisah menghabiskan waktu. Otang dapat mengisi tuntutan kebutuhan orang-orang seperti itu. Lama-lama dia tahu betul apa yang diperlukan mereka. Perempuan-perempuan menyukai berita sekitar perjodohan dan kematian orang-orang
seasal di kampung maupun dirantau. Laki-laki lebih menyukai berita situasi di kampung atau reputasi orang-orang sekampung mereka. Yang pegawai suka pada berita kenaikan pangkat orang-orang dikenal mereka.
Otang tidak mencari berita-berita itu. Berita itu dia pungut dari orang-orang yang ditandanginya. Lama-lama jadilah Otang sebagai sumber berita otentik. Dia pun tahu berita yang disukai oleh masing-masing mereka dan masing-masing golongan. Lama-lama Otang seperti sosok yang dirindukan. Sama dengan kerinduan orang pada loper koran.
Lama-lama Otang mendapat jodoh juga. Seorang janda dari salah satu keluarga yang secara rutin dia kunjungi. Bagaimanapun suatu rumahtangga memerlukan biaya. Meski menurut kata mertuanya ketika melamarnya, Otang tidak perlu memberi belanja pada istrinya. Namun Otang adalah seorang laki-laki yang ingin istrinya berarti. Terpandang tinggi melampau Atun yang secantik bintang film itu. Karena itu dia perlu sumber nafkah. Pekerjaan yang menghasilkan uang. Pekerjaan apa yang dapat dilakukannya dalam umur yang sudah separo baya itu? Bekerja di kantor? Kantor apa yang mau menerimanya. Berdagang? Dagang apa? Apa dia bisa? Modalnya mana? Otang bingung. Waktunya sehari-hari lebih banyak habis mencari kemungkinan mendapat pekerjaan yang sesuai dan pantas. Pagi dia sudah keluar rumah, menjelang malam baru dia pulang.
Semua orang-orang tua yang dikunjunginya secara rutin itu pun bingung. Mereka bingung karena Otang tidak lagi datang. Kemudian ada seorang dokter tua yang tidak lagi praktek karena usia. Biasanya dia memanggil Otang menurut gaya lama: Engku Otang. Dokter itu berkata: "Engku Otang, apa yang Engku lakukan, sebetulnya sama dengan yang aku lakukan sebagai dokter mengunjungi pasyen. Paham?"
Sebenarnya Otang tidak paham. Namun dia mengangguk juga. Lama kemudian baru dia paham setelah berdiskusi dengan istrinya. Mestinya dia dibayar pada setiap kunjungan ke rumah-rumah itu. Jangan hanya dikasi makan atau minum setiap berkunjung. Lalu ketika akan pergi diselipkan selembar uang ke sakunya diiringi ucapan: "Sekedar sewa oplet." Tapi bagaimana caranya minta bayaran kepada kenalan dan orang-orang sekampungnya itu? Rikuh rasanya. Menurutnya berkunjung ke rumah-rumah orang itu bukan suatu profesi yang bersifat komersial seperti dokter. Namun istrinya lagi yang memberi gagasan. "Percuma saja Uda belajar di Amerika dulu."
Sejak itu kunjungan-kunjungan rutin ke rumah-rumah mereka itu dia kacaukan jadwalnya, baik hari maupun jamnya. Tentu saja dia disambut dengan rasa cemas dan sedikit omelan manja. Alasannya Otang sederhana saja. Yakni oleh karena ada kesibukan baru. Maklum dia sudah beristri dan bertanggung-jawab kepada rumah-tangganya. Kadang-kadang dia katakan betapa sulitnya dia dapat bus atau oplet. "Kenapa tidak pakai taksi saja, Engku." kata mereka pada umumnya. Nah, sejak itu Otang mendapat biaya taksi. Padahal dia tetap memakai kenderaan umum. Pada perempuan tua yang suka bicara agama, Otang tahu sekali kisah yang mereka sukai. Misalnya kisah Nabi Musa masa kecil yang dihanyutkan ibunya di Sungai Nil, lalu terdampar dekat istana Firaun. Atau kisah Zulaika yang tergila-gila pada Nabi Yusuf, Atau kisah kesetiaan Khadijah pada Nabi Muhammad dan sebaliknya. Kalau ada kasus yang aktual, Otang tak lupa mengkajinya dengan menyitir Al-Quran atau Hadist Nabi. Tak obahnya seperti seorang dai yang handal. Adakalanya dibawanya buku agama untuk perempuan-perempuan itu, yang dibelinya di kaki lima simpang Kramat. "Buku ini bagus, Uni. Ada tulisan Arabnya. Ada Latinnya. Berulang-ulang membacanya, kian dekat kita kepada redha-Nya." kata Otang. Taklah lupa pula dia membacakan sebagian isinya. Tentu saja ketika akan pulang, perempuan-perempuan itu mengganti dengan berlipat ganda harganya, di samping memberi biaya taksi.
Oleh karena perantau seasal kampungnya banyak di Jakarta, rata-rata yang dapat dikunjunginya tiga empat rumah dalam sehari. Tujuh hari dalam seminggu. Masing-masing dikunjunginya sekali sebulan untuk orang-orang kaya atau pejabat. Sekali dua bulan untuk golongan lain. Pada hari seperti menjelang Idul Fitri atau setiap pedagang atau pengusaha selesai tutup buku tahunan, Otang kecipratan rezeki yang bernama zakat banyak. Oleh orang-orang kaya seperti itulah Otang sampai bisa dua kali ke Mekkah. Sekali dia pergi bersama istrinya. Semua orang memberinya uang. Ada dollar. Ada real. Bahkan yen. Tentu saja ada rupiah. Dan semua dengan iringan basa-basi: "Sekedar pembeli korma." Lumayan banyak. Hampir sebanyak ONH Plus.
***
Otang jatuh sakit. Kena stroke dan komplikasi lainnya, kata dokter. Di rumah sakit dia dirawat di bangsal. Setelah semalam dia dipindahkan ke ruang VIP. Karena ada banyak kenalannya yang menjamin biayanya. Waktu Si Dali melayat, banyak karangan bunga pada berjajar di gang arah kamar Otang dirawat. Di kamarnya yang luas pun puluhan keranjang hias buah-buahan. Pada setiapnya ada kartu nama. Karena ingin tahu, Si Dali membacai kartu nama itu. Kartu nama pada karangan bunga di gang itu pun dia baca. Ada nama profesor yang top, pengusaha klas kakap, pejabat tinggi, staf ahli menteri dan juga nama Kasdut.
Otang membuka matanya ketika Si Dali memanggil namanya dekat ke telinganya. Lama dia menatap Si Dali dengan pandangan yang sayu. Seperti banyak yang akan dikatakannya. Trenyuh juga hati Si Dali. Namun dia tidak menampakkan betapa perasaannya. Dia coba tetap tersenyum untuk meyakinkan Otang bahwa sakitnya tidak gawat. Lama juga Si Dali meremas lembut lengan Otang yang tidak dipasangi alat infus. Sampai Otang memicingkan mata seperti mau tidur.
Suara pelan pelayat yang duduk di sice terdengar nyata ke telinga Si Dali. Mungkin juga ke telinga Otang. "Engku Datuk ini manusia langka. Takkan ada penggantinya kalau beliau tak kunjung sembuh." kata yang seorang.
"Beliau seperti perangkat komunikaai hidup." ulas yang lainnya lagi.
"Tak obahnya seperti Inyik Lunak di kampung kita. Pembawa berita suka dan duka keliling kampung sambil memukul canang yang khas bunyinya karena telah pecah sebagian."
"Tapi Inyik Lunak dengan canangnya cuma menyampaikan berita buruk saja." kata yang lainnya lagi.
Tiba-tiba Si Dali merasakan getaran kuat pada lengan Otang yang dipegangnya. Demikian juga kaki Otang seperti hendak menerjang-nerjang. "Panggil dokter." kata Si Dali seperti berteriak. Dan semua orang serta merta berdiri di sekiling ranjang Otang. Memandang dengan rasa cemas. Bingung karena tidak tahu mau melakukan apa. Tak lama kemudian dokter tiba. Semua pelayat disuruh keluar. Mereka menanti di ruang tunggu khusus pelayat dengan perasaan masing-masing.
Si Dali duduk pada kursi fiber. Pikirannya tertumpah pada kondisi Otang yang tiba-tiba gawat. Pikirannya menjalan kemana-mana dalam mencari sebab-sebab Otang yang secara tiba-tiba gawat itu. Apa Otang merasa tersinggung karena mendengar kata-kata salah seorang pelayat, yang menyamakannya dengan Inyik Lunak di tukang canang dengan canangnya yang pecah?
Si Dali yakin menyebut nama Inyik Lunak dekat Otang, apalagi menyamakan dirinya, membangkitkan luka masa lalunya. Masa lalu ketika perang berkancah di kampung halamannya. Ketika negara memandangnya sebagai pengkhianat bangsa. Ketika istri dan mertuanya sama mengkhianatinya. Ketika ukuran dan nilai kekhianatan tidak lagi jelas.
AA Navis
Pada masa PRRI, Otang, teman Si Dali, pulang kampung. Seperti banyak orang lain sebelum APRI menyerbu.
Otang seorang gembong. Juga bukan pegawai negeri. Kalau Otang pulang kampung juga, hanyalah karena alasan khusus. Katanya, karena solider pada Pak Natsir, tokoh idolanya, yang mengirimnya magang di peternakan Amerika di Florida selama setahun. Tapi pengetahuan peternakannya itu tidak bisa dipraktikkan di kampungnya. Selain hambatan sosial budaya, juga oleh masalah modal. Karena itu dia menetap saja di Jakarta. Menunggu perobahan kondisi dan situasi yang akan dapat mengangkat martabat dirinya.
Katanya, betapa dia tidak akan solider. Dari seorang berayah pemilik warung, lalu berkesempatan melihat Amerika yang serba wah seperti yang diangankannya ketika nonton film-filmnya. Bahkan lebih daripada solider itu, ialah karena perasaan malu pada diri sendiri bila tidak solider. Otang menikah sebelum dia ke Amerika. Alasan orang tuanya di kampung, agar Otang tidak kecantol pada gadis di sana, lalu tidak mau pulang lagi. Pada mulanya Otang keberatan. Namun segera saja dia setuju demi ketemu calon istri yang secantik bintang film Titien Sumarni. Bedanya hanya tanpa tahi lalat di bibir atas. Ketika kembali ke kampung karena ikut PRRI, dia sudah punya dua anak. Dan selama di kampung dia tidak bekerja apapun. Memang tidak ada yang bisa dikerjakannya. Karena semenjak sekolah di kampung sampai ke Amerika pun dia tidak belajar untuk bekerja. Dia belajar untuk jadi orang tahu tentang berbagai ilmu. Dalam masa perang ilmu tidak berguna. Yang diperlukan, kalau tidak senjata, ya akal. Minimal akal-akalan.
Tibalah masanya kampung Otang diduduki APRI. Oleh APRI disebut dibebaskan. Maka tiba pulalah masanya Otang harus bekerja memegang pacul. Yaitu bergotong-royong massal dan ronda malam di kecamatan. Di kala gotong-royong semua lakki-laki berbaur. Apa orang tua, apa petani, apa guru, apa haji, apa datuk, apalagi orang semacam Otang. Bagi Otang sekali mengayunkan pacul, melepuhlah telapak tangannya. Telapak tangan melepuh, tidak dapat dijadikan alasan istirahat dari bergotong-royong.
Yang jadi komandan APRI di kecamatan itu berjabatan Bintara Urusan Teritorial, kronimnya Buter. Talib namanya. Sersan Mayor pangkatnya. Orangnya berbobot besar. Bedegab, kata penduduk. Suaranya bariton. Jika berteriak, kecutlah semua orang. Berpacu bunyi pacul pada batu untuk mengeluarkan rumput. Lama-lama Buter Talib jarang mengawasi gotong-royong. Namun perintah gotong-royong datang hampir saban hari. Melalui seruan Inyik Lunak dari ujung ke ujung kampung, sambil memalu canang yang berbunyi cer cer cer. Karena pada paro bahagian canang itu sudah pecah. Dan suara Inyik Lunak itu pun serak seperti selaput suaranya juga pecah.
Gotong-royong hampir setiap hari itu sangat menjengkelkan Otang. Juga semua orang. Bukan karena kehilangan waktu untuk bekerja, juga merasa sengaja dihina sebagai orang taklukan. Sehingga setiap mendengar bunyi cer cer cer dari canang yang dipukul dan diiringi suara pecah Inyik Lunak, lama-lama berakibat pada ketidak-sukaan Otang pada Inyik Lunak. Setiap berpapasan dengan Inyik Lunak di jalan, dia selalu melengos ke arah lain. Kalau lagi nongkrong di lepau Mak Mango di sudut pasar, lalu Inyik Lunak datang, dia buru-buru pergi. Sebaliknya jika Inyik Lunak sudah lebih dulu nongkrong, dia batal masuk lepau itu.
Bahkan Otang kian mual pada Inyik Lunak setelah tahu, apa yang dilakukan Buter Talib ketika semua laki-laki bergotong-royong. Bersama salah seorang kopralnya dia masuk kampung keluar kampung menzinai istri-istri orang-orang PRRI yang terus bertahan di pedalaman. Kopral Jono juga berbuat yang sama. Camat Basri yang orang kampung itu sendiri pun sama dengan yang lain dan yang lainnya lagi. Pembantu Ispektur Polisi Hartono meniduri kedua anak gadis Sudira, Sipir Penjara. "Mau apa kita? Bilang apa kita?" itulah kata-kata yang keluar dari mulut penduduk negeri yang ditaklukan itu.
Akhirnya, meski tidak ikut perang, cuma karena rasa simpati saja, dia harus membayar mahal seperti orang taklukan yang lain. Sengsara jugalah jadinya Otang. Sengsara bukan karena bersimpati kepada PRRI, melainkan karena istrinya cantik. Atun yang semula jadi istri dibanggakan, kini menjadi ranjau darat yang membelah-belah jantungnya. Pada waktu penduduk diperintah gotong-rotong, Buter Talib mampir ke rumah Atun. Malah Buter Talib konon pernah menginap ketika giliran Otang ronda malam.
Awal-awalnya Otang tidak tahu apa yang terjadi. Mertuanya tidak memberi tahu. Apalagi Atun. Wajah keruh kedua perempuan itu setiap Otang pulang dari bergotong-royong tidaklah difahami Otang. Pada mulanya memang begitu. Tapi ketika Inyik Lunah si tukang canang membisikkan agar Atun diantar ke kota, dia mulai membauni kasus yang sebenarnya. Otang mencak-mencak. Atun dicaci-maki karena tidak melawan perkosaan itu. Dia pun mengomeli ibu mertuanya yang bersekongkol.
"Otang, cobalah kau tempatkan dirimu sebagai si Atun, atau sebagai aku sendiri ketika bencana itu tiba. Apa mungkin kami melawan? Apa mestinya kami mengadu padamu, supaya Si Talib yang berkuasa itu kau hajar?" kata ibu mertuanya setelah gelegak darah Otang mulai mereda.
Otang tidak terhibur. Setumpuk sesal menghimpit dirinya. Menyesal dia tidak ikut memanggul senjata melawan APRI. Kalau dia jadi tentera PRRI, pasti dia akan menembak APRI semacam Buter Talib itu. Dua hal yang tidak mampu dia sesali. Pertama dia pulang kampung karena alasan solider pada Pak Natsir. Kedua karena Atun begitu cantiknya. Tapi membawa isteri dan anaknya pulang kampung karena yakin PRRI akan menang perangnya, adalah salah perhitungan yang paling disesalinya.
Dia marah pada Buter Talib. Marah sekali. Juga benci dan jijik. Tapi nyalinya hilang demi melihat semua orang berbaju hijau, seperti Buter Talib lebih-lebih. Dia sadar, bahwa dia bukan laki-laki yang jantan. Karena dia tidak pernah belajar jadi jantan, sejak dari sekolah sampai ke Florida sana. Dia hanya mendengar dan menerima apa kata guru dan kata buku.
Maka ketika Bupati Kasdut, teman sekolahnya dulu yang kapten pangkat militernya, datang inspeksi ke kecamatan, Otang menemuinya. Diceritakannya perilaku tentera pada penduduk......."Kalau cara APRI datang membebaskan daerah ini menjunjung rasa kemanusiaan berbangsa, tiga bulan saja PRRI sudah habis. Tapi karena tentera bersikap ganas, merampok, memperkosa istri-istri orang, perang akan lama. Karena PRRI tidak akan menyerah kepada musuhnya yang ganas, walaupun bertahun-tahun di hutan rimba."
"Itu dunia tentera, Otang. Risiko buruk bagi yang kalah perang. Tentera orang awak pun sama ganasnya ketika melakukan operasi militer ke daerah lain." kata Bupati Kasdut yang kapten itu.
"Dengan bangsa sendiri mesti berlaku ganas?"
"Itu kebijaksanaan komando agar rakyat di daerah mana pun tidak lagi berkhayal untuk berontak."
"Menegakkan kebijaksanaan dengan cara yang ganas itu apa APRI dapat menjadi pahlawan yang dicintai rakyat?"
"Sampai saat ini kebijaksanaan komando tidak akan berobah." kata Kapten Kasdut yang Bupati itu.
Otang lalu ingat slogan masa itu: "Jika takut pada bedil, lari ke pangkalnya." Tak ada gunanya melawan orang yang sedang menang perang. Dan ketika Bupati Kasdut kembali ke kota kabupaten, Otang minta ikut. Dan semenjak itu seisi kampung tidak ada yang tahu kemana dan dimana Otang.
***
Dua puluh lima tahun kemudian, Si Dali ketemu Otang di Jakarta. Di rumah Kasdut yang sudah pensiun dengan pangkat kolonel. Sudah jauh beda gaya Otang. Tenang. Terlihat alim. Gaya bicaranya lembut. Lunak, menurut Nawar. Dia memelihara jenggot. Model Haji Agus Salim. Putih warnanya. Di kepalanya bertengger kopiah beluderu hitam yang apik letaknya. Si Dali tidak lupa padanya. Dia pun tidak. Tapi dia tidak bergabung dengan Si Dali di ruang tengah. Dia di ruang belakang dengan ibu mertua Kasdut yang berusia hampir delapan puluh tahun.
"Dia sudah jadi penghulu sekarang. Datuk Rajo Di Koto nama gelarnya. Dipilih dan ditabalkan oleh kaumnya yang merantau di sini. Kata orang, gelar itu disebut gadang menyimpang. Tidak lazim menurut adat. Urusan kaum itulah itu." kata Kasdut yang ketika sebelum pensiun telah ditabalkan pula jadi Datuk oleh kaumnya di kampung. Datuk Raja Kuasa gelarnya. Gelar yang pantas bagi seorang kolonel yang pernah jadi Bupati. "Kalau aku, aku dapat gelar yang sah menurut adat. Disepakati oleh seluruh kaum di kampung dan dirantau lebih dulu." lanjutnya kemudian.
Si Dali panasaran kenapa Otang lebih suka berbaur dengan nenek itu daripada dengan sahabat lama yang dua puluh lima tahun tidak ketemu. Dugaan Si Dali jadi miring. Mungkin dia tidak suka ketemu Si Dali, karena mau menghindar dari luka lama masa perang PRRI. Luka karena Buter Talib meniduri Atun. Kemudian menyerahkan Atun kepada Buter pengganti dan penggantinya lagi. Tapi itu cerita lama. Apa dia masih dendam setelah Buter Talib dan teman-temannya membayar dosa-dosanya setelah pemberontakan komunis dikalahkan? "Dia sudah dua kali ke Mekkah." kata Kasdut selagi Si Dali merenung. Katanya lagi seolah-olah tidak begitu penting: "Ibu mertuaku membawanya jadi muhrim. Duitnya tentu saja dari aku. Dari siapa lagi, bukan?"
Sejak berangkat dari kampung, keluar dari daerah peperangan, Otang ke Jakarta membawa segala luka dan perih di hati. Kota itu diharapkannya mampu melupakan masa lalu. Nyatanya kota itu lebih menaburkan racun masa lalunya. Terutama melihat orang-orang berbaju hijau seragam yang menggandeng perempuan, yang nampak oleh matanya tidak lain dari orang-orang seperti Buter Talib yang menggandeng Atun. Ada rasa mual mau muntah dalam perutnya. Akhirnya dia mengurung diri di rumah iparnya tempat dia menumpang.
Kalau pun dia keluar rumah, tidak lebih jauh dari pagar halaman.
Untuk membunuh sepi dia membaca buku-buku agama, karena buku-buku itu tidak bicara tentang konflik yang melukai. Isi buku itu pun tidak untuk direnungkan. Karena dia tidak suka membebankan pikirannya. Koran atau majalah dihindarinya. Kalau tidak membaca, Otang mengerjakan apa saja yang bisa dilakukannya di rumah itu. Membersih-bersih, membenahi kerusakan kecil.
Akhirnya dia keluar juga dari persembunyiannya karena harus ikut menghadiri pemakaman seorang kemenakannya. Sekali keluar dari isolasi, hampir berterusan dia jarang di rumah di siang hari. Hampir setiap hari dia berkunjung dari satu rumah ke rumah lain, yang semuanya adalah dunsanak atau orang kampung seasal. Dia diterima dengan tangan dan hati terbuka. Meski oleh kerabat Atun. Terutama oleh orang-orang tua yang telah kehilangan kesibukan, yang memerlukan sahabat dan kenalan tempat berkisah menghabiskan waktu. Otang dapat mengisi tuntutan kebutuhan orang-orang seperti itu. Lama-lama dia tahu betul apa yang diperlukan mereka. Perempuan-perempuan menyukai berita sekitar perjodohan dan kematian orang-orang
seasal di kampung maupun dirantau. Laki-laki lebih menyukai berita situasi di kampung atau reputasi orang-orang sekampung mereka. Yang pegawai suka pada berita kenaikan pangkat orang-orang dikenal mereka.
Otang tidak mencari berita-berita itu. Berita itu dia pungut dari orang-orang yang ditandanginya. Lama-lama jadilah Otang sebagai sumber berita otentik. Dia pun tahu berita yang disukai oleh masing-masing mereka dan masing-masing golongan. Lama-lama Otang seperti sosok yang dirindukan. Sama dengan kerinduan orang pada loper koran.
Lama-lama Otang mendapat jodoh juga. Seorang janda dari salah satu keluarga yang secara rutin dia kunjungi. Bagaimanapun suatu rumahtangga memerlukan biaya. Meski menurut kata mertuanya ketika melamarnya, Otang tidak perlu memberi belanja pada istrinya. Namun Otang adalah seorang laki-laki yang ingin istrinya berarti. Terpandang tinggi melampau Atun yang secantik bintang film itu. Karena itu dia perlu sumber nafkah. Pekerjaan yang menghasilkan uang. Pekerjaan apa yang dapat dilakukannya dalam umur yang sudah separo baya itu? Bekerja di kantor? Kantor apa yang mau menerimanya. Berdagang? Dagang apa? Apa dia bisa? Modalnya mana? Otang bingung. Waktunya sehari-hari lebih banyak habis mencari kemungkinan mendapat pekerjaan yang sesuai dan pantas. Pagi dia sudah keluar rumah, menjelang malam baru dia pulang.
Semua orang-orang tua yang dikunjunginya secara rutin itu pun bingung. Mereka bingung karena Otang tidak lagi datang. Kemudian ada seorang dokter tua yang tidak lagi praktek karena usia. Biasanya dia memanggil Otang menurut gaya lama: Engku Otang. Dokter itu berkata: "Engku Otang, apa yang Engku lakukan, sebetulnya sama dengan yang aku lakukan sebagai dokter mengunjungi pasyen. Paham?"
Sebenarnya Otang tidak paham. Namun dia mengangguk juga. Lama kemudian baru dia paham setelah berdiskusi dengan istrinya. Mestinya dia dibayar pada setiap kunjungan ke rumah-rumah itu. Jangan hanya dikasi makan atau minum setiap berkunjung. Lalu ketika akan pergi diselipkan selembar uang ke sakunya diiringi ucapan: "Sekedar sewa oplet." Tapi bagaimana caranya minta bayaran kepada kenalan dan orang-orang sekampungnya itu? Rikuh rasanya. Menurutnya berkunjung ke rumah-rumah orang itu bukan suatu profesi yang bersifat komersial seperti dokter. Namun istrinya lagi yang memberi gagasan. "Percuma saja Uda belajar di Amerika dulu."
Sejak itu kunjungan-kunjungan rutin ke rumah-rumah mereka itu dia kacaukan jadwalnya, baik hari maupun jamnya. Tentu saja dia disambut dengan rasa cemas dan sedikit omelan manja. Alasannya Otang sederhana saja. Yakni oleh karena ada kesibukan baru. Maklum dia sudah beristri dan bertanggung-jawab kepada rumah-tangganya. Kadang-kadang dia katakan betapa sulitnya dia dapat bus atau oplet. "Kenapa tidak pakai taksi saja, Engku." kata mereka pada umumnya. Nah, sejak itu Otang mendapat biaya taksi. Padahal dia tetap memakai kenderaan umum. Pada perempuan tua yang suka bicara agama, Otang tahu sekali kisah yang mereka sukai. Misalnya kisah Nabi Musa masa kecil yang dihanyutkan ibunya di Sungai Nil, lalu terdampar dekat istana Firaun. Atau kisah Zulaika yang tergila-gila pada Nabi Yusuf, Atau kisah kesetiaan Khadijah pada Nabi Muhammad dan sebaliknya. Kalau ada kasus yang aktual, Otang tak lupa mengkajinya dengan menyitir Al-Quran atau Hadist Nabi. Tak obahnya seperti seorang dai yang handal. Adakalanya dibawanya buku agama untuk perempuan-perempuan itu, yang dibelinya di kaki lima simpang Kramat. "Buku ini bagus, Uni. Ada tulisan Arabnya. Ada Latinnya. Berulang-ulang membacanya, kian dekat kita kepada redha-Nya." kata Otang. Taklah lupa pula dia membacakan sebagian isinya. Tentu saja ketika akan pulang, perempuan-perempuan itu mengganti dengan berlipat ganda harganya, di samping memberi biaya taksi.
Oleh karena perantau seasal kampungnya banyak di Jakarta, rata-rata yang dapat dikunjunginya tiga empat rumah dalam sehari. Tujuh hari dalam seminggu. Masing-masing dikunjunginya sekali sebulan untuk orang-orang kaya atau pejabat. Sekali dua bulan untuk golongan lain. Pada hari seperti menjelang Idul Fitri atau setiap pedagang atau pengusaha selesai tutup buku tahunan, Otang kecipratan rezeki yang bernama zakat banyak. Oleh orang-orang kaya seperti itulah Otang sampai bisa dua kali ke Mekkah. Sekali dia pergi bersama istrinya. Semua orang memberinya uang. Ada dollar. Ada real. Bahkan yen. Tentu saja ada rupiah. Dan semua dengan iringan basa-basi: "Sekedar pembeli korma." Lumayan banyak. Hampir sebanyak ONH Plus.
***
Otang jatuh sakit. Kena stroke dan komplikasi lainnya, kata dokter. Di rumah sakit dia dirawat di bangsal. Setelah semalam dia dipindahkan ke ruang VIP. Karena ada banyak kenalannya yang menjamin biayanya. Waktu Si Dali melayat, banyak karangan bunga pada berjajar di gang arah kamar Otang dirawat. Di kamarnya yang luas pun puluhan keranjang hias buah-buahan. Pada setiapnya ada kartu nama. Karena ingin tahu, Si Dali membacai kartu nama itu. Kartu nama pada karangan bunga di gang itu pun dia baca. Ada nama profesor yang top, pengusaha klas kakap, pejabat tinggi, staf ahli menteri dan juga nama Kasdut.
Otang membuka matanya ketika Si Dali memanggil namanya dekat ke telinganya. Lama dia menatap Si Dali dengan pandangan yang sayu. Seperti banyak yang akan dikatakannya. Trenyuh juga hati Si Dali. Namun dia tidak menampakkan betapa perasaannya. Dia coba tetap tersenyum untuk meyakinkan Otang bahwa sakitnya tidak gawat. Lama juga Si Dali meremas lembut lengan Otang yang tidak dipasangi alat infus. Sampai Otang memicingkan mata seperti mau tidur.
Suara pelan pelayat yang duduk di sice terdengar nyata ke telinga Si Dali. Mungkin juga ke telinga Otang. "Engku Datuk ini manusia langka. Takkan ada penggantinya kalau beliau tak kunjung sembuh." kata yang seorang.
"Beliau seperti perangkat komunikaai hidup." ulas yang lainnya lagi.
"Tak obahnya seperti Inyik Lunak di kampung kita. Pembawa berita suka dan duka keliling kampung sambil memukul canang yang khas bunyinya karena telah pecah sebagian."
"Tapi Inyik Lunak dengan canangnya cuma menyampaikan berita buruk saja." kata yang lainnya lagi.
Tiba-tiba Si Dali merasakan getaran kuat pada lengan Otang yang dipegangnya. Demikian juga kaki Otang seperti hendak menerjang-nerjang. "Panggil dokter." kata Si Dali seperti berteriak. Dan semua orang serta merta berdiri di sekiling ranjang Otang. Memandang dengan rasa cemas. Bingung karena tidak tahu mau melakukan apa. Tak lama kemudian dokter tiba. Semua pelayat disuruh keluar. Mereka menanti di ruang tunggu khusus pelayat dengan perasaan masing-masing.
Si Dali duduk pada kursi fiber. Pikirannya tertumpah pada kondisi Otang yang tiba-tiba gawat. Pikirannya menjalan kemana-mana dalam mencari sebab-sebab Otang yang secara tiba-tiba gawat itu. Apa Otang merasa tersinggung karena mendengar kata-kata salah seorang pelayat, yang menyamakannya dengan Inyik Lunak di tukang canang dengan canangnya yang pecah?
Si Dali yakin menyebut nama Inyik Lunak dekat Otang, apalagi menyamakan dirinya, membangkitkan luka masa lalunya. Masa lalu ketika perang berkancah di kampung halamannya. Ketika negara memandangnya sebagai pengkhianat bangsa. Ketika istri dan mertuanya sama mengkhianatinya. Ketika ukuran dan nilai kekhianatan tidak lagi jelas.
Langganan:
Postingan (Atom)