Selasa, 15 Mei 2012

Lempengan-Lempengan Cahaya


              Lempengan-Lempengan Cahaya
Oleh: Danarto
Sebagai lempengan cahaya, ayat-ayat itu meluncur dengan kecepatan
di luar batas angan-angan. Udara, awan-gemawan, cuaca, terang, gelap,
dan bau-bauan memandang ayat-ayat itu penuh kegembiraan. Udara,
tempat percampuran segala zat, seperti memperoleh zat baru setelah
dilewati ayat-ayat itu. Cuaca lalu menerbitkan warna begitu ayat-ayat itu
melintas, suatu warna yang tidak bercampur dengan warna-warna yang
sudah disapukan sebelumnya, seluas langit. Suatu warna bintang terang
yang berbinar-binar, yang langit tidak mampu menangkap kecepatannya.
Ayat-ayat itu tiba-tiba saja sudah berada di ujung, ditandai dengan ledakan
cahaya besar tanpa bunyi.
“Saya merasakan seperti tidak bergerak,” kata Al-Fatihah.
“Apakah karena kecepatan kita yang luar biasa?” sahut Ayat Kursi.
“Apakah kita benar-benar melakukan pengembaraan?” kata Surah
Ali Imran.
“Saya merasakan apa saja yang kita lewati menyambut kita penuh
kegembiraan.”
“Rasanya kegembiraan itu sebuah nyanyian besar.”
“Yang memenuhi langit.”
Apakah pernah terlintas suatu cuaca yang seperti itu, percampuran
antara suasana-warna-bunyi, yang senyata-nyatanya, yang meneduhkan
mata, menyedapkan pembauan, dan empuk di telinga, lalu-lalang
di tenggorokan sama leluasanya lewat lubang hidung, membuat
segalanya ringan.
Apakah pernah terlintas suatu cuaca yang seperti itu, yang rata,
yang tanpa dimensi, yang tak ada jarak, jauh dan dekat satu jangkauan,
semua sisi benda terlihat, semua sama besarnya, semua nyaring bunyinya,
semua dalam kedudukan yang mengambang,tembus mata, dalam
suatu kepekatan warna.
Apakah pernah terlintas suatu cuaca yang seperti itu, di antara bunyibunyian
dan kediaman, benderang tanpa bayangan, warnanya silih berganti,
yang kabut menjadi kelambu, yang embun menjadi permadani,
suatu pemandangan mengambang yang setiap saat siapa pun dapat
berhenti tanpa menginjak sesuatu dan tanpa jatuh meluncur.
“Apakah ini, yang melintas sebagai lempengan-lempengan cahaya?”
tanya sapuan warna.
“Kami adalah ayat-ayat suci,” sahut Al-Fatihah, Ayat Kursi, dan
Surah Ali Imran bersamaan.
“Alangkah berbahagia kalian,” kata sesayup bunyi.
“Apakah kami nampak seperti itu?” tanya ayat-ayat itu.
“Kalian nampak jauh lebih baik lagi,” kata seberkas udara.
“Kalian bernyanyi,” sambung sebersit bau.
“Apakah kami kedengaran bernyanyi?”
“Kalian nampak lebih dari itu.”
“Dari mana mau ke mana kalian?”
“Kami dari Lauhul Mahfus, dengan tujuan bumi.”
“Jadi selama ini kalian ada dalam pingitan?”
“Ya. Dan masih banyak sekali yang lain.”
“Saya lalu ingat, pernah pula berduyun-duyun ayat-ayat suci
meluncur dari ketinggian yang tak terbayangkan, menuju bumi yang
hijau royo-royo.
“Kapan itu?”
“Jauh. Jauh. Jauh sekali sebelum pengembaraan kalian ini.”
“Enak ya ditugaskan di bumi.”
“Di antara para pembangkang Tuhan?”
“Di antara para pembangkang Tuhan.”
“Di antara gerombolan yang saling bermusuhan?”
“Di antara gerombolan yang saling bermusuhan.”
“Di antara ambang kehancuran?” “Di antara ambang kehan-curan.”
Sapuan warna memoles langit dengan hijau Sesayup bunyi menghantarkan
suara.
Seberkas udara meniup suasana Sebersit bau mengantar pengembaraan
Ayat-ayat meluncur jauh, semakin jauh. Semua benda yang
mengisi langit mengucapkan selamat jalan Yang padat, yang cair, mencarikan
jalan memasukkan gelap ke dalam terang menghembuskan
harum ke seluruh bentangan merentang cakrawala biru kuning hijau
ungu merah hitam berbaris rapi dan lurus.
“Kami, bintang-bintang, menyibak. Menebas rintangan, membuka
jalan,” seru kelompok bintang ketika menyaksikan ayat-ayat suci itu
meluncur. “Salam sejahtera,” balas Ayat-ayat itu.
“Semoga kedamaian melimpah,” seru Awan gemawan. “Semoga
keseimbangan tetap terjaga,” balas Ayat-ayat itu. “Kalian menuju bumi?
“Kami menuju bumi.” “Bumi yang hijau.” “Bersim-bah merah.” “Bumi
yang subur.” “Yang digerogoti gersang.” “Pangkalan terakhir kalian.”
“Sebelum menuju kekekalan.” Bintang-bintang saling beranggukan tanda
kegembiraan. Sesaat keseimbangan meregang, lalu teratur kembali.
Awan gemawan berarak cepat, seperti ditiup mulut langit. Kecepatan
cahaya ditahan sejenak, memberi senyuman bagi yang lewat. Semburat
warna berbinar-binar, suatu bias dari lempengan-lempengan cahaya
yang melayang keras, bias yang beruntun, bersusun, yang sejauh mata
tak dapat menjangkaunya.
Ayat-ayat itu menyapu bersih suasana, apa pun yang digambarkannya.
Suasana tenteram, suasana nyaman, suasana syahdu, ayat-ayat
tidak memerincinya. Setiap sibakan yang dilalui ayat-ayat itu mengepulepul,
tanpa sesayup bunyi terdengar. Kesyahduan seperti ini barangkali
bagi manusia justru menakutkan, sejauh ini setiap gerak-gerik manusia
selalu diikuti suara-suara, sekecil dan selemah apa pun. Benda-benda
wadag, sekalipun bernama manusia, rupanya hanya dapat bergaul
dengan suara-suara yang agal saja. Ini tentu persaudaraan sejenis, hanya
bentuk saja yang berbeda.
Ayat-ayat suci itu ketika memasuki atmosfir menimbulkan suara
gemuruh. Gurun dan gunung-gunung batu terbakar. Binatang-binatang
padang pasir — berbagai jenis yang melata maupun yang terbang —
berkaparan. Oase-oase mendadak kering kerontang. Pohon-pohon
korma yang mengelilinginya hangus jadi patung arang. Melihat
pemandangan ini, padang pasir itu miris. Segerombolan awan tidak
kuasa menahan sedu sedannya, memohon kepada Tuhan:
“Ya, Allah, tidak mungkin dibiarkan pemandangan yang mengerikan
ini berlangsung lama. Tidak sesuatu pun akan kuat menatapnya.”
“Apa sesungguhnya yang ingin kamu lakukan?” jawab Allah.
“Hanya Allah Yang Mahatahu,” seru Awan.
“Baiklah,” kata Allah, “Wahai awan, sedotlah air laut sebanyak-banyaknya.
Lalu semburkan air itu ke seluruh padang pasir ini dengan menyebut
nama-Ku lebih dahulu.”
Secepat kilat segerombolan awan itu melesat mencari lautan. Dari
atas lalu disedotnya laut itu selahap-lahapnya. Sebagai pilar yang amat
besar yang menyangga langit, air laut yang disedot awan itu nampak
gilig putih, kokoh menunjang angkasa. Dan segerombolan awan itu lalu
mengucap, “Dengan nama Allah Yang Mahapengasih-Mahapenyayang,”
lalu menyemburkan air laut itu ke segala jurusan padang pasir yang
membentang di bawahnya.

Padang pasir itu menerima curahan hujan dengan kegembiraan
yang sangat. Segalanya lalu kembali seperti sediakala. Gurun dan
gunung-gunung batu menjadi berkilau kembali. Binatang-binatangnya
hidup kembali. Oase-oasenya menyemburkan air kembali. Dan batangbatang
korma menghijau kembali.
Nabi Muhammad yang sudah memulai masa kenabiannya mendengar
suara gemuruh itu. Sering juga terdengar suara gemerincing.
Lalu wahyu itu diterimanya begitu berat hingga peluh Rasulullah bercucuran
sebesar biji jagung, sekalipun di malam hari yang dingin. Segala
puja dan puji hanya bagi Allah Subhanahu Wataala, yang menciptakan
dan memelihara alam semesta seisinya.
Ketika ayat-ayat itu sudah dikenal luas seantero benua-benua, dan
dibaca berulang-ulang oleh ratusan juta orang yang melakukan salat,
lempengan-lempengan cahaya itu terus meluncur. Mereka terus mengembara.
Seolah-olah kewajiban yang dibebankan ke pundak mereka tak
selesai-selesainya. Suatu tugas abadi. Ayat-ayat itu agaknya ingin kekal
di dalam pengembaraan-nya. Dengan kecepatan sekejap mata untuk
ribuan kilometer, ayat-ayat itu tiba-tiba muncul di depan orang per orang,
di kerumunan pengajian, di masjid, di pasar, di kantor, di stasiun, di
hotel, di bengkel, di sawah, di pabrik, di rumah-rumah, di hutan, di
gunung, di telaga, di tempat-tempat persembunyian.
Setiap kali ayat-ayat itu muncul di depan orang-perorang maupun di
kerumunan pengajian, seolah-olah menantang meski kemunculannya
yang tiba-tiba itu selalu disertai kerendahhatian. Begitulah orang-orang
menjadi terperangah. Merasa ditatap dengan sejumlah syarat, meski ayatayat
itu tak pernah mengajukan apa-apa sebagai apa-apa. Lalu orangorang
menjadi sibuk. Menjadi kecanduan kerja, padahal mereka dulunya
biasa-biasa saja. Orang-orang seperti mendapat janji. Dan janji itu bakal
dipenuhi. Orang-orang jadi demam. Semuanya menjadi pemburu.
Pengembaraan ayat-ayat itu juga sampai di Palestina. Ayat-ayat
itu mengetuk-ngetuk pintu rumah sebuah keluarga Palestina. Ketukan
itu memang terasa sangat lemah dibanding rentetan tembakan dan
ledakan-ledakan yang memporak-porandakan bangunan sekelilingnya.
Siapa yang peduli ketukan? Seluruh anggota keluarga yang ada di dalam
rumah boleh jadi sedang bertiarap di lantai, mencoba menghindari
desingan hujan peluru.
Dan pemburu-pemburu bagi berdirinya negara Palestina mendapat
semangatnya dari ayat-ayat ini. Para pemburu itu sedang memperjuangkan
didapatkannya tanah bagi negara Palestina, meski sebenarnya tanah
itu sudah ada. Tanah itu sudah lama ada, hanya saja ada bendera lain
yang sedang mendudukinya. Israel bukanlah Israel kalau ia tidak Israel

Sumber: Horison, Tahun XXIII, no 7, Juli 1988, hal. 230 - 232

3 komentar: