Haji Ramli dan Kuntilanak Cantik
Ditulis oleh Agus Fahri Husein
Soal adanya Kuntilanak di rumah saya, Haji Ramli yang
bercerita di Madinah pada musim haji itu. Soal kebenarannya bukanlah
tanggungjawab saya. Sepenuhnya cerita Haji Ramli. Mengenai hal itu sebenarnya
tidak penting benar. Katakanlah omong-kosong belaka. Bagaimanapun, nanti saya
ceritakan, ada di rumah saya, seperti dikatakan Haji Ramli, yang kemudian
menyebabkan saya kepingin segera menimbun sumur tua yang ada di dapur….
Sekarang tentang Haji Ramli dulu. Pertemuan dengan Haji
Ramli, di selasar Masjid Nabawi, itu sendiri telah membukakan dengan
selebarnya, kenyataan bahwa betapa tidak pedulinya kita kepada orang lain.
200.000 lebih jamaah haji dari Indonesia, terbesar di dunia, semuanya
menyibukkan diri mengurus dirinya sendiri.
Umurnya sudah melewati 60, mungkin orang tidak percaya,
penampakannya jauh lebih muda. Sorot matanya tajam. Meskipun dia berbicara
dengan lemah-lembut, tetapi saya tahu, sorot matanya menunjukkan, sebenarnya
dia seorang yang keras, atau malah galak. Haji Ramli bukan anggota regu saya,
dan karena itu ia bukan tanggungjawab saya. Saya tidak begitu mengenalnya, sebab
di tanah air kami tidak pernah bertemu, juga di latihan-latihan manasik. Sebab
seperti diceritakannya kemudian, beberapa bulan menjelang berangkat haji dia
terjatuh dari sepeda motor, di dekat rumahnya, di jalan Anyer. Terjatuh sendiri
ke kiri jalan menghindari sambaran truk tronton tanpa muatan yang tengah melaju
kencang. Jatuh ke kiri adalah keberuntungan. Jika ke kanan dia akan tergilas
kendaraan menakutkan itu. Karena benturan sepeda motor dan aspal jalan, tulang
paha kirinya patah. Dokter menanam platina di dalamnya, dan karena itu untuk
berjalan dia harus menggunakan dua kruk kiri dan kanan untuk menyangga
badannya. Perlu waktu lama untuk menautkan kembali tulang seusia dia. Jadi
dengan tulang patah itulah dia pergi haji. Penderitaannya itu disempurnakan
oleh musim dingin di Arab Saudi, dia harus menahan rasa nyeri sewaktu-waktu
karena pengkerutan logam ajaib yang menopang tulang kakinya itu.
Pada awalnya saya menemukan dia sendirian di kerumunan
orang-orang India, di gerbang selatan Masjid Nabawi. Menangis kebingungan,
matanya nanar menatap kesana-kemari. Selasar masjid sudah sepi. Salat isa’
sudah lama selesai, dan dia belum bertemu istrinya. Ia duduk di tangga
bertopangkan tongkat kruknya. Orang-orang Indonesia datang dan pergi tidak
peduli.
”Ketua regu Bapak siapa?”
”Siapa? Saya tidak tahu?” Ia tambah kebingungan.
Saya mencari ketua regunya. Saya tinggalkan dia duduk
berselonjor di tangga pintu gerbang, dekat orang berjualan siwak. Saya berjalan
berkeliling di selasar timur, setidaknya menurut saya ke arah timur, yaitu ke
arah makam Nabi. Setiap orang yang berbaju hijau, yaitu seragam haji dari
Indonesia, dan berkalung syal oranye, warna identitas untuk jamaah dari kota
Cilegon, saya ajak bicara. Tidak ada yang mengenal Haji Ramli. Barulah setelah
agak lama berkeliling, tampak seorang tinggi besar, yang kemudian saya tahu
bernama Haji Isa, menghampiri saya dan bertanya tentang Haji Ramli yang
menggunakan kruk. Jadi orang inilah ketua regunya.
Dua hari berikutnya, sehabis asar, saya dapati Haji Ramli
dekat pintu Babus-Salam, duduk di kursi roda, sendirian di antara orang-orang
India atau Pakistan, susah dibedakan. Saya menghampirinya dan duduk di selasar,
di bawah, dekat kursinya. Dia tampak bergairah dan bergembira dengan kedatangan
saya.
”Dapat kursi dari mana?”
”Orang Turki yang mengusahakan. Saya tidak tahu. Mereka yang
cari, sepertinya dapat pinjam dari masjid. Saya juga dikasih reyal. Mereka
bagi-bagi reyal. Semua orang India kebagian, seorang 50....”
Jumlah yang sangat besar, 50 reyal bisa untuk makan 20
orang, menu roti isi daging ayam atau kambing panggang, dan minum ”kopi-cucu”,
demikian orang Madinah menyebutnya. Tak henti-hentinya Haji Romli memuji
kebaikan orang Turki. Meskipun sama sekali terkendala bahasa, sebab meskipun
mereka orang Eropa, jarang sekali yang bisa berbahasa Inggris. Seandainya pun
bisa, tidak ada gunanya juga, sebab Haji Ramli sama sekali buta mengenai bahasa
itu. Jadi setelah ”assalamu’alaykum”, demikian diceritakan Haji Ramli, mereka
saling tukar senyum dan tawa, bersalaman dan saling menempelkan pipi kiri dan
kanan bergantian, menyebut nama negara dan nama presiden masing-masing. Dengan
isyarat dan diselang-seling kata-kata Arab sepatah-dua.... demikianlah riwayat
kursi roda itu.
”Di deretan ini,” katanya kemudian, ”berkumpul orang-orang
India dan Paskitan. Mereka sama saja, cuma punya uang untuk membayar ongkos
pesawat pulang-pergi. Bagaimana mereka hidup di tanah suci diserahkannya kepada
Allah sepenuhnya. Dan Allah mengirim orang-orang Turki yang memaknai haji
sebagai silaturahmi untuk bertemu dengan saudara-saudara seiman dari segala
penjuru dunia....”
Memang di antara orang-orang India dan Pakistan itu terselip
satu-dua orang Turki. Selain membagikan uang, mereka juga membagikan roti atau
kurma. Di bawah tiang lampu ada seorang anak Arab bersama gurunya sedang
menghafalkan Al-Qur’an. Anak itu juga membagikan kurma ke orang-orang India dan
Pakistan. Saya jadi malu, karena anak itu melewati saja tempat duduk saya,
dengan cara itu dia menunjukkan bahwa sedekah itu bukan untuk orang Indonesia.
Pastilah dia tahu, setidaknya guru anak itu, orang-orang Indonesia pergi
berhaji dengan bekal yang sangat cukup, bahkan suka berbelanja, sampai-sampai
bahasa perdagangan di sekitar Masjid Nabawi adalah Bahasa Indonesia. Setidaknya
harga-harga selalu disebut dalam Bahasa Indonesia.
Orang India di samping saya membagi kurma yang diperolehnya
dari anak Arab tadi kepada saya.
”Al-Hajj....” katanya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Menggelengkan kepala bagi orang India adalah pertanda setuju atau
mempersilahkan.
Saya tersenyum menyambutnya. Kurma dari jenis yang paling
mahal yang dikenal sebagai kurma Nabi, bulat dan hitam. Saya kemudian mengambil
air zam-zam dari keran yang tersedia di selasar, di dalam masjid juga tersedia,
untuk saya sendiri, Haji Ramli, dan orang India itu. Haji Ramli menerima gelas
plastik yang saya berikan dengan mata berkaca-kaca.
”Aduh Dik Haji, sudahlah.....” katanya, kemudian ditambahkan
dengan lebih pelan, ”selama ini tidak ada orang Indonesia yang perduli pada
saya.” Perkataan yang membuat saya jadi tidak enak hati.
Setelah makan roti dari orang Turki, kurma dari anak Arab,
dan minum air zam-zam, kami kembali bercengkerama. Orang India itu bergabung
lagi dengan kawan-kawan senegaranya. Sampailah kemudian cerita soal Kuntilanak
itu.
”Saya tahu rumah yang Dik Haji tempati. Ada sumur di
belakangnya. Dulu waktu muda saya tinggal di Gerem, masih ada saudara di sana,
sebelum saya pindah ke Cigading. Orangtua Dik Haji adalah teman masa kecil
saya....”
Rumah yang dimaksud adalah rumah pemberian bapak saya, yang
saya tempati sekarang. Terletak dipinggir jalan besar, jalan Jakarta-Merak.
Sebelum ada jalan tol, jalan itulah satu-satunya akses menuju pelabuhan Merak.
Saya kemudian tahu sejarah rumah itu dari Haji Ramli. Dahulu, ketika wilayah
itu masih berupa sawah dan rawa-rawa, rumah itulah satu-satunya bangunan yang
ada, bukan untuk tempat tinggal, tetapi untuk pembakaran kapur. Ada sumur di
belakangnya. Sekarang sumur itu ada di dapur, setelah saya membangun bangunan
baru di belakang bangunan lama.
”Usaha Bapak Dik Haji itu macam-macam. Dulunya kapur, lalu
gula aren, lalu toko alat-alat memancing. Tetapi yang paling lama ya kapur itu.
Karenanya tempat itu dulu terkenal dengan nama Kapuran. Orang takut kesana
malam hari, disamping masih sangat sepi, tempat itu ada Kuntilanaknya. Bahkan
siang hari kadang-kadang suka menampakkan diri, duduk menjuntaikan kakinya di
bibir sumur tua itu sambil menyenandungkan lagu-lagu Sunda. Anehnya, kuntilanak
itu cantik. Saya pernah melihatnya beberapa kali.”
”Ha?” saya kaget juga. Sama sekali tidak menyangka akan
mendapat cerita yang demikian.
”Kuntilanak itu tinggi semampai, langsing, hitam-manis,
rambutnya sebahu bergelombang, dibiarkan terurai tetapi rapih, dan baju
kebayanya selalu berwarna ungu. Jika tersenyum, giginya yang putih kecil-kecil
itu mengintip sedikit, kadang tertawa tetapi sama sekali tidak mengeluarkan
suara. Senyum manisnya itu sungguh mempesona. Hidungnya yang runcing, bibirnya
yang tipis, dan sorot matanya yang teduh, tidak mungkin kita bisa memalingkan
pandangan. Wajahnya adalah perpaduan mencengangkan antara keibuan dan
kekanak-kanakan. Kita seperti dibawa ke alam yang berbeda yang penuh kedamaian
dan kesejukan....”
”Ha?” saya pandangi Haji Ramli dari bawah kursi rodanya. Haji
Ramli balas memandangi saya, dan kemudian tampak kemalu-maluan. Apa yang
barusan dikatakannya adalah pelukisan menggairahkan tentang seorang wanita,
rasanya mustahil jika ini tentang hantu kuntilanak.
”Dik Haji tidak percaya ya? Sudah berapa lama Dik Haji
menempati rumah itu?”
”Waktu saya pindah kesana anak saya yang pertama kelas satu
SD, sekarang anak itu sudah kelas tiga SMA. Berapa tahun ya?”
”Belum pernah ditampaki?”
Saya menggeleng gelisah.
”Mungkin dia sudah pergi,” kata Haji Ramli pelan. ”Tempat
itu sekarang sudah jadi perkotaan. Sejak pabrik baja Krakatau Steell dibangun,
industri-industri kimia, dan jalan tol... pasti sudah pergi... mencari tempat
yang lebih sepi.”
”Mungkin,” kata saya ragu-ragu. ”Apa Bapak sudah ke raudhah?”
tanya saya kemudian. Raudhah adalah ”taman Nabi”, yaitu bagian Masjid
Nabawi yang terbentang dari makam Nabi (dulunya kamar Aisyiyah) sampai mimbar
Nabi, tempat itu ditandai dengan warna hijau. Siapa yang berdoa disana, doanya
akan dikabulkan.
Haji Ramli memandangi saya lagi. Tampaknya dia maklum bahwa
saya ingin mengalihkan pembicaraan. ”Sudah kemarin, begitu dapat kursi.”
”Bersama orang-orang Turki?”
Haji Ramli mengangguk.
Saya memandang kejauhan, ke arah tiang-tiang payung raksasa
di selasar masjid. Di tiang yang membatasi tempat salat, di tempel
peringatan-peringatan dalam berbagai bahasa. Sia-sia saya mencoba membacanya.
Terpikir keras di kepala saya, sepulang dari tanah suci pekerjaaan yang ingin
saya lakukan pertama-tama adalah menimbun sumur itu. Ketika sumur itu menjadi
bagian dari dapur, istri saya suka duduk di sana menjuntaikan kakinya, sambil
menyenandungkan lagu-lagu Sunda, menunggui pembantu memasak. Setiap saya
melihatnya, dia tersenyum dan giginya yang kecil-kecil itu mengintip sedikit di
sela-sela bibirnya yang tipis. Rambutnya yang sebahu itu dibiarkan terurai
tetapi rapih menutupi sebagian pundaknya yang terbalut baju ungu. Senandung
lagu-lagu Sunda itu membuat ekspresi wajahnya mencengangkan, keibuan sekaligus
kekanak-kanakan.... Ya, pada akhirnya saya harus segera menimbun sumurnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar