Penyerangan
Seumur Hidup
Rasanya pasti tak enak jika menjalani Minggu pagi bersama hujan lebat.
Tak bisa bermain di luar rumah, dan sekitar terasa dingin. Fitri meraba dinding
teras rumahnya. Terasa lembab, agak basah. Fitri mendengus, lalu mengarahkan kakinya
ke dapur dengan niat akan membuat susu hangat.
Fitri menikmati susu hangatnya sambil membaca majalah remaja di ruang
keluarga, bersama mama dan papanya yang tengah menonton TV.
“Memang kelakuan anak zaman sekarang, ya,” celetuk Mama sambil mendesis.
Fitri mengintip dari balik majalah. Dapat dilihatnya gambar anak-anak SMA
menyerang satu sama lain, sedangkan di sudut lain ada seorang anak SMA yang
tersungkur karena melawan polisi.
Ketika Fitri membalik halalman berikutnya, dia melihat iklan yang menggambarkan
semua orang dewasa, dari mahasiswa hingga manula memperebutkan sebuah botol
parfum.
“Orang dewasa zaman sekarang,” gumam Fitri sebelum menyeruput susunya.
Esok harinya, saat upacara bendera, Pak Kepala Sekolah mengumumkan bahwa
sekolah Fitri menang dalam lomba pidato se-Kabupaten. Seluruh murid SMP 23
bersorak. Selain bersorak untuk kemenangan sekolah mereka, mereka juga bersorak
karena telah mengalahkan SMP 5, sekolah yang berada di jalan yang sama dengan
SMP 23 sekaligus saingan terberat karena mereka telah memenangkan lomba pidato
itu empat kali berturut-turut.
Waktu istirahat, banyak murid-murid yang jajan kepada penjual kaki lima yang biasa mangkal di
depan sekolah. Fitri, yang sedang menunggu abang batagor menyiapkan pesanannya
sempat melihat Tigor, teman seangkatan Fitri sedang bersama salah satu anak
dari SMP 5.
“Kami menang lomba pidato, lho!” pamer Tigor.
“Udah tahu,” jawab anak itu ketus.
“Akhirnya kalian mau menyerah juga, ya? Jadilah melemah, dan teruslah
begitu!”
Anak itu tampak kaget, refleks mendorong Tigor. “Cari masalah kau?!”
“Aduuh, kok main kasar, nih? Udah, kalah terima aja! Nggak usah gengsi!
Emang kalian aja yang bisa menang!” kilah Tigor membela diri.
“Mau menang atau enggak, main kasar atau enggak, bodo amat!” anak itu
menarik Tigor dan membantingnya sampai Tigor terjerembab. Sekarang, sudah
terbuat kerumunan kecil.
“Gitu doang yang bisa kau lakuin? Gitu, mah, keciil!” ledek Tigor.
Seperti yang kita tahu, anak itu semakin marah. “Kau yang lemah!” serunya
sambil mendaratkan jotosan di pipi Tigor. “Panggil orang-orang sekolah kau,
ketemu di lapangan bola! Yang nggak datang berarti lemah!” tantang anak itu.
“Apaan, sih?! Masih SMP, juga!” sergah Tigor seraya bangkit.
“Mau dibilang lemah??” tanya anak itu sengit. Ia sempat meludah ke aspal
sebelum pergi meninggalkan tempat jajanan.
Entah apa yang memacunya, tapi setelah kejadian itu, Fitri mendadak tak
bisa menghapus cuplikan berita yang kemarin pagi ditontonnya.
Siangnya, sepulang sekolah, Fitri berencana membeli batagor favoritnya
dahulu sebelum pulang ke rumah. Namun, ketika langkah kakinya sudah terlangkah
ke tempat batagor, ada seseorang yang menarik tangannya. Lila, teman
sekelasnya.
“Kita harus ke lapangan,” Lila menukas sebelum Fitri protes.
“Lapangan?”
“Harga diri sekolah kita dipertaruhkan.”
Lalu Fitri mendadak teringat kejadian waktu istirahat tadi. “Astaga!”
Lila dan Fitri berlari tunggang-langgang bersama beberapa orang lainnya.
Di lapangan bola, ada dua koloni. Satu di ujung timur lapangan, satu lagi di
ujung barat.
“Seraang!”
Dan setelah kata itu diteriakkan, Fitri melihat pemandangan paling tidak
enak yang pernah dilihatnya. Kerumunan anak laki-laki berbaju putih dan celana
biru saling menyerang. Ada
yang adu jotos, ada pula yang saling menyerang menggunakan tongkat bisbol.
Lila berceletuk, “Seumur hidup, baru pertama kali ini aku bisa secara
langsung, di depan mataku menyaksikan tawuran.
Asli.”
Fitri bersama teman perempuannya bergegas memanggil petugas keamanan yang
berjaga tak jauh dari tempat itu. Tak lama kemudian, kerumunan anak bercelana
biru itu bercampur dengan kerumunan polisi.
Untungnya peristiwa itu berlangsung tidak lama. Sepuluh menit kemudian,
sudah tak ada lagi yang saling menyerang di lapangan. Sebagian besar terluka
dan sebagian bersama polisi. Tapi Fitri melihat seseorang yang terdiam di
lapangan, tak bersama seorang pun.
Setelah polisi tahu penyebab pertengkaran besar ini, polisi membawa
seorang anak dari sekolahku dan dari SMP 5 pergi dari lapangan. Tak lama
setelah itu, mereka berdua kembali sambil berangkulan dan berseru menyampaikan
pesan damai.
“Siapa itu?” tanya Lila pada Fitri. Fitri hanya mengangkat bahu, lalu
mengajak Lila mendekati seseorang yang masih berada di lapangan tadi.
Fitri dan Lila kaget bukan kepalang. Yang mereka lihat sekarang adalah
Tigor yang terbaring tak bergerak, kepalanya hampir hancur, dan sebuah tongkat
bisbol berlumuran warna merah tergeletak di sebelahnya.
“Mungkin, kalau sejak tadi sudah dilaksanakan cara mereka,” gumam Fitri
sambil menoleh ke arah dua sejoli dari SMP 23 dan SMP 5 yang saling
berangkulan. “Tidak ada yang harus berakhir dengan cara seperti ini.”
Lila menghela sapas seraya mengangguk. Sesaat kemudian, Fitri mendengar
ada yang berteriak-teriak dan beramai-ramai menghampiri Fitri dan Lila—tepatnya
Tigor. Seorang ibu tampak terkejut, lalu menangis sambil memeluk jasad Tigor.
Fitri menelan ludah. Ia dan Lila saling bertatapan sejenak. Mereka
meninggalkan lapangan dan masih melihat ibu-ibu tadi di tengah lapangan bersama
seorang anak yang seharusnya sekarang bermain sepakbola bersama
teman-temannya—kalau saja dia tidak bersikap salah.
-Nabila Safitri-
Nama : Nabila Safitri
Kelas : 7 Ikhlas
Sekolah : SMPS IT Mutiara-Duri
JUDUL : Penyerangan
Seumur Hidup
Rekening bri 0560-01-022601-50-1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar