Rabu, 16 Mei 2012

Penyerangan Seumur Hidup


Penyerangan Seumur Hidup

Rasanya pasti tak enak jika menjalani Minggu pagi bersama hujan lebat. Tak bisa bermain di luar rumah, dan sekitar terasa dingin. Fitri meraba dinding teras rumahnya. Terasa lembab, agak basah. Fitri mendengus, lalu mengarahkan kakinya ke dapur dengan niat akan membuat susu hangat.
Fitri menikmati susu hangatnya sambil membaca majalah remaja di ruang keluarga, bersama mama dan papanya yang tengah menonton TV.
“Memang kelakuan anak zaman sekarang, ya,” celetuk Mama sambil mendesis.
Fitri mengintip dari balik majalah. Dapat dilihatnya gambar anak-anak SMA menyerang satu sama lain, sedangkan di sudut lain ada seorang anak SMA yang tersungkur karena melawan polisi.
Ketika Fitri membalik halalman berikutnya, dia melihat iklan yang menggambarkan semua orang dewasa, dari mahasiswa hingga manula memperebutkan sebuah botol parfum.
“Orang dewasa zaman sekarang,” gumam Fitri sebelum menyeruput susunya.


Esok harinya, saat upacara bendera, Pak Kepala Sekolah mengumumkan bahwa sekolah Fitri menang dalam lomba pidato se-Kabupaten. Seluruh murid SMP 23 bersorak. Selain bersorak untuk kemenangan sekolah mereka, mereka juga bersorak karena telah mengalahkan SMP 5, sekolah yang berada di jalan yang sama dengan SMP 23 sekaligus saingan terberat karena mereka telah memenangkan lomba pidato itu empat kali berturut-turut.
Waktu istirahat, banyak murid-murid yang jajan kepada penjual kaki lima yang biasa mangkal di depan sekolah. Fitri, yang sedang menunggu abang batagor menyiapkan pesanannya sempat melihat Tigor, teman seangkatan Fitri sedang bersama salah satu anak dari SMP 5.
“Kami menang lomba pidato, lho!” pamer Tigor.
“Udah tahu,” jawab anak itu ketus.
“Akhirnya kalian mau menyerah juga, ya? Jadilah melemah, dan teruslah begitu!”
Anak itu tampak kaget, refleks mendorong Tigor. “Cari masalah kau?!”
“Aduuh, kok main kasar, nih? Udah, kalah terima aja! Nggak usah gengsi! Emang kalian aja yang bisa menang!” kilah Tigor membela diri.
“Mau menang atau enggak, main kasar atau enggak, bodo amat!” anak itu menarik Tigor dan membantingnya sampai Tigor terjerembab. Sekarang, sudah terbuat kerumunan kecil.
“Gitu doang yang bisa kau lakuin? Gitu, mah, keciil!” ledek Tigor.
Seperti yang kita tahu, anak itu semakin marah. “Kau yang lemah!” serunya sambil mendaratkan jotosan di pipi Tigor. “Panggil orang-orang sekolah kau, ketemu di lapangan bola! Yang nggak datang berarti lemah!” tantang anak itu.
“Apaan, sih?! Masih SMP, juga!” sergah Tigor seraya bangkit.
“Mau dibilang lemah??” tanya anak itu sengit. Ia sempat meludah ke aspal sebelum pergi meninggalkan tempat jajanan.
Entah apa yang memacunya, tapi setelah kejadian itu, Fitri mendadak tak bisa menghapus cuplikan berita yang kemarin pagi ditontonnya.


Siangnya, sepulang sekolah, Fitri berencana membeli batagor favoritnya dahulu sebelum pulang ke rumah. Namun, ketika langkah kakinya sudah terlangkah ke tempat batagor, ada seseorang yang menarik tangannya. Lila, teman sekelasnya.
“Kita harus ke lapangan,” Lila menukas sebelum Fitri protes.
“Lapangan?”
“Harga diri sekolah kita dipertaruhkan.”
Lalu Fitri mendadak teringat kejadian waktu istirahat tadi. “Astaga!”
Lila dan Fitri berlari tunggang-langgang bersama beberapa orang lainnya. Di lapangan bola, ada dua koloni. Satu di ujung timur lapangan, satu lagi di ujung barat.
“Seraang!”
Dan setelah kata itu diteriakkan, Fitri melihat pemandangan paling tidak enak yang pernah dilihatnya. Kerumunan anak laki-laki berbaju putih dan celana biru saling menyerang. Ada yang adu jotos, ada pula yang saling menyerang menggunakan tongkat bisbol.
Lila berceletuk, “Seumur hidup, baru pertama kali ini aku bisa secara langsung, di depan mataku menyaksikan tawuran. Asli.”
Fitri bersama teman perempuannya bergegas memanggil petugas keamanan yang berjaga tak jauh dari tempat itu. Tak lama kemudian, kerumunan anak bercelana biru itu bercampur dengan kerumunan polisi.
Untungnya peristiwa itu berlangsung tidak lama. Sepuluh menit kemudian, sudah tak ada lagi yang saling menyerang di lapangan. Sebagian besar terluka dan sebagian bersama polisi. Tapi Fitri melihat seseorang yang terdiam di lapangan, tak bersama seorang pun.
Setelah polisi tahu penyebab pertengkaran besar ini, polisi membawa seorang anak dari sekolahku dan dari SMP 5 pergi dari lapangan. Tak lama setelah itu, mereka berdua kembali sambil berangkulan dan berseru menyampaikan pesan damai.
“Siapa itu?” tanya Lila pada Fitri. Fitri hanya mengangkat bahu, lalu mengajak Lila mendekati seseorang yang masih berada di lapangan tadi.
Fitri dan Lila kaget bukan kepalang. Yang mereka lihat sekarang adalah Tigor yang terbaring tak bergerak, kepalanya hampir hancur, dan sebuah tongkat bisbol berlumuran warna merah tergeletak di sebelahnya.
“Mungkin, kalau sejak tadi sudah dilaksanakan cara mereka,” gumam Fitri sambil menoleh ke arah dua sejoli dari SMP 23 dan SMP 5 yang saling berangkulan. “Tidak ada yang harus berakhir dengan cara seperti ini.”
Lila menghela sapas seraya mengangguk. Sesaat kemudian, Fitri mendengar ada yang berteriak-teriak dan beramai-ramai menghampiri Fitri dan Lila—tepatnya Tigor. Seorang ibu tampak terkejut, lalu menangis sambil memeluk jasad Tigor.
Fitri menelan ludah. Ia dan Lila saling bertatapan sejenak. Mereka meninggalkan lapangan dan masih melihat ibu-ibu tadi di tengah lapangan bersama seorang anak yang seharusnya sekarang bermain sepakbola bersama teman-temannya—kalau saja dia tidak bersikap salah.

-Nabila Safitri-

Nama         : Nabila Safitri
Kelas         : 7 Ikhlas
Sekolah     : SMPS IT Mutiara-Duri
JUDUL      : Penyerangan Seumur Hidup


Rekening bri 0560-01-022601-50-1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar