Rabu, 16 Mei 2012

AIR MATA TUA


AIR MATA TUA
(Motinggo Boesje)
Penjaga kuburan mendekatinya dan bertanya:”Kenapa Nenek
menangis?”
Diangkatnya kepalanya pelan-pelan, dipandangnya penjaga kuburan
itu agak lama, dan suaranya yang gemetar dan tua itu berkata:”Kalaulah
cucuku dapat bertanya seperti engkau itu.” Dia berhenti sebentar, dihapusnya
air matanya. “Engkau sendiri bekerja di sini?” tanyanya kemudian.
“Ya”.
“Sepantasnya engkau masuk surga, Nak”.
Kemudian penjaga kuburan itu duduk di semen kuburan itu dan nenek
itu berkata: “Kuburan-kuburan di sini bersih. Kalau nanti saya dikuburkan
di sini, kau bersihkanlah kuburanku itu baik-baik, Nak.”
“Nenek begini segar. Nenek masih lama lagi akan hidup,” kata penjaga
kuburan itu.
“Benar, saya masih akan lama hidup?”
“Benar, Nek” dan penjaga kuburan itu sambil mempermainkan lidi
sapunya dan berkata lagi: “Nenek masih kuat. Nenek saya lihat berjalan ke
sini tidak pakai tongkat dan masih kuat.”
“Kalaulah cucuku bisa menghibur saya macam kamu,” kata
perempuan tua itu sambil menghapus air matanya yang pelan-pelan berjalan
dari pinggir matanya menuju pipi.
“Cucuku ada lima orang, Nak. Tak seorang pun yang menanyakan
kesehatanku, apalagi kesedihanku. Kalau mereka memberiku makan, bukan
mereka yang mengatakan, “Makanlah, Nek, tapi si babu, cuma si babu yang
mengatakan itu. Si babu mengaji kalau saya sudah mengantuk,” perempuan
tua itu menangis lagi. “Pagi ini si babu membersihkan ladang. Ladang itu
sebenarnya adalah ladangku, tapi cucu-cucuku menganggap ladang itu
ladang mereka. Pada waktu musim memetik jeruk, saya cuma bisa makan
tiga buah jeruknya saja. Itu pun bukan yang manis-manis.”
“Di mana Nenek tinggal?”
“Di dapur, bersama si babu.”
“Di dapur?”
“Ya, di dapur, bersama-sama si babu. Kalau pagi saya kedinginan.”
Tangan tua nenek yang tua itu menepuk-nepuk semen kuburan itu. “Ini
kuburan Adam. Adam adalah suamiku,” katanya.
“Sudah lama suami nenek meninggal dunia?”
“Baru sepuluh tahun ini. Waktu Adam masih hidup, sama-sama kami
mandi di sumur. Adam yang menimbakan air untukku. Saya ingin lekaslekas
mati saja. Sepuluh tahun lamanya saya disiksa oleh cucu-cucuku itu.
Bahasa dan Sastra Indonesia SMA Kelas XII IPA-IPS 12
Mula-mula saya tidur di kamar depan. Lalu, ketika cucuku yang tertua
kawin, saya dipindahkan ke kamar tengah. Ia kawin dan beranak, dan saya
dipindahkan lagi ke kamar belakang. Dan sekarang, saya menempati dapur
bersama-sama si babu. Kalau pagi saya merasa dingin. Si babu juga mengaji
kalau subuh,” dan dibetulkannya kerudungnya, lalu berkata: “Si babu pintar
sekali mengaji.”
Lalu nenek tua itu berkata lagi:”Musim memetik jeruk yang lalu,
saya cuma dapat tiga jeruk, itu pun yang masam-masam.”
“Yang masam-masam? Yang manis-manis untuk mereka?”
Kini pandangannya dengan matanya yang tua itu berputar ke arah
kuburan-kuburan sekeliling. “He!” gemetar ia tiba-tiba. “Tanah pekuburan
ini sudah penuh semuanya. Di mana nanti saya akan dikuburkan?”
“Masih ada sedikit, di sana,” kata penjaga kuburan itu.
“Sedikit?”
“Ya, sedikit.”
“Masih banyak lagikah yang akan mati, Nak?” tanyanya dengan
gelisah, dan kemudian bertanya lagi: Di mana nanti saya akan dikuburkan?”
“Kenapa nenek sampai berkata begitu?” tanya penjaga kuburan itu dengan
cemas pula.
“Saya sudah tua dan bukankah sebentar lagi mati? Di mana saya akan
dikuburkan? Saya tidak bisa mengumpulkan uang lagi sejak cucu-ucuku
tidak membagikan hasil penjualan buah-buahan ladangku. Ladang buahbuahan
itu sayalah yang punya. Padahal Adam yang membeli semua itu,
ketika kami baru kawin dan ketika itu saya tidak tua berkerinyut seperti ini.
Pohon-pohon jeruk itu Adam yang nanam. Tapi cucu-cucuku cuma
memberiku tiga buah jeruk saja, itu pun bukan yang manis-manis.”
Dia menangis tersedu-sedu dan berkata: “cuma ini uang simpananku.
Kamu hitunglah, Nak. Cukupkah buat beli tanah kuburan?”
Tangan tuanya meraba-raba stagennya dan memberikan uang yang
terlipat baik-baik itu kepada penjaga kuburan itu. Penjaga kuburan itu
menghitung-hitung dan kemudian tertawa.
“Kenapa kamu tertawa, Nak? Apa tidak cukup? tanyanya.
“Yang tiga lembar ini sudah tidak laku lagi,” jawab penjaga kuburan.
“Tidak laku? Itu adalah uang pensiun Adam yang kusimpan baikbaik.
Kenapa tidak laku lagi? Apa uang palsu? Tidak mungkin!”
“Uang ini sudah lama dinyatakan tidak berlaku lagi, Nek,” sahut
penjaga kuburan.
“Kenapa?”
Penjaga kuburan itu tak bisa menjawab.
“Tidak cukupkah membeli tanah kuburan dengan uang yang laku saja
itu?” tanya nenek tua itu tiba-tiba. Lalu dipandangnya tanah kuburan
sekeliling, dan dia berkata lagi: “Sudah penuh semua. Saya, musti membeli
yang sedikit itu. Saya tidak punya harta dan uang lagi selain itu. Tidak
cukupkah uang itu, Nak?”
Bab I ~ Pendidikan Nasional 13
“Belum cukup, Nek.”
“Belum cukup? Bagaimana akalku? Saya takkan minta pada cucucucuku
itu, karena mereka pun pasti tak mau memberi. Mereka cuma mau
mengambil kepunyaanku, sampai jeruk-jerukku pun diambilnya.”
Kini penjaga kuburan itu melihat perempuan tua itu merundukkan kepalanya
dan tiba-tiba dilihatnya seuntai kalung emas berayun-ayun di leher
perempuan tua itu.
“Nenek masih punya harta. Jangan kuatir! Semua itu bisa dibelikan
tanah kosong yang enam meter persegi,” kata penjaga kubur.
“Saya tidak punya apa-apa lagi kecuali uang itu dan yang tiga lembar
yang tidak laku itu.”
“Nenek masih punya kalung ringgitan emas.”
Perempuan tua itu terkejut dan tangan tua meraba ringgit yang tergantung
di lehernya. “Ini? Oh, ini pemberian Adam waktu kami kawin dulu.”
“Kalau nenek mau benar-benar membeli tanah pekuburan, jual sajalah,
Nek, kalung emas itu.”
“Dijual?” suaranya gemetar lebih hebat. “Apa saya mau dikutuk oleh
almarhum suamiku?”
Penjaga itu terdiam, tapi tetap dipandangnya nenek tua itu dengan
pandangan yang bersungguh-sungguh. Perempuan tua itu memandang ke
sekeliling lagi. Tanah-tanah pekuburan di sekitarnya ditangkapnya dengan
pandangan matanya yang tua, dengan linu.
“Emas tidak dibawa mati, ya, ya, emas tidak tidak dibawa mati. Saya
ingin dikubur di kuburan Adam. Ya, ya saya harus membeli tanah itu. Emas
memang tidak dibawa mati, Nak.”
Sejak dia keluar dari gerbang pekuburan, air matanya semakin kering.
Dan, sejak itu pula, setiap akan tidur sambil mendengar si babu mengaji
terbayang dalam angan-angannya yang tua sebuah pekuburan yang bersih
di mana ia tidur baik-baik di bawah permukaannya, di mana rohnya akan
bertemu dengan roh Adam, suaminya yang tercinta.
Dia telah membeli tanah itu! Dia seakan-akan telah membeli harga
yang terakhir dari masa hidupnya. Setiap malam dia berdoa dan mohon
kepada Tuhan agar saat itu pun tiba baginya.
Suatu malam ketika dia penuh dengan angan-angan, terdengar pintu
dapur diketuk orang. Siapa yang mengetuk pintu, malam-malam begini?
Apa si babu sudah tidur?
“Babu, bangunlah. Ada orang mengetuk pintu kita.”
Si babu tersentak. Ketika itu kepalanya di atas kitab suci. Matanya
sama menatap pintu itu dengan segala kecemasan dan sekali-kali ia melihat
kepada nenek tua yang sedang terbujur tidur
“Kaukira itu maling? Jangan takut, Babu. Kalau itu maling, apa yang
akan mereka ambil di dapur ini?”
“Bukan maling, Nek,” kata si babu, lalu berdiri dan kemudian
membukakan pintu. Seorang lelaki berdiri di pintu.
Bahasa dan Sastra Indonesia SMA Kelas XII IPA-IPS 14
“Siapa itu, Babu?”
“Rakhman, Nek.”
“Rakhman, cucuku? Kenapa kau datang malam-malam begini, ke
sini? Biasanya tidak pernah”.
“Nenek harus pindah, malam ini juga, Nek,” kata lelaki itu.
Nenek itu mencoba sekuat tenaga membangunkan dirinya.
“Pindah? Kemana lagi kalian akan lemparkan diriku sekarang?”
Lelaki itu berjongkok. “Dokter menyuruh pindah,” katanya.
“Dokter”
“Ya, dokter!”
“Apa hak dokter, makanya ia mau lemparkan diriku! Bukankah rumah
ini pembelian Adam?”
“Ada wabah kolera. anak-anak diserang kolera.”
Kemudian masuk lagi seorang lelaki. Dialah dokter itu. Dan dokter
kemudian menjelaskan kepada nenek tua itu agar pindah ke rumah sakit
untuk menghindarkan penularan penyakit kolera.
“Baiklah, baiklah anak muda. Tapi biar pun di mana saja kalian
lemparkan saya, saya kan akan mati juga,” katanya. “Tapi jangan pisahkan
saya dari si babu,” katanya lagi.
Namun, dia tetap dipisahkan dari si babu. Kalau malam dia merasa
sunyi sekali, tidak didengarnya suara orang mengaji. Yang didengarnya
adalah suara orang-orang-orang yang merintih-rintih, bermimpi, mengigau,
dan bau-bau yang tidak enak bagi hidungnya yang telah tua dan keriput itu.
Setiap juru rawat masuk ke kamarnya nenek itu selalu bertanya, kapan dia
boleh keluar?
Suatu saat seorang juru rawat membisikkan di telinganya dengan suara
hati-hati bahwa semua cucunya dan si babu telah meninggal dunia
“Si babu juga?” tanyanya cemas.
“Ya. Dia juga meninggal dunia.”
“Oh, dengan siapa lagi saya akan tinggal?” tanyanya sedih.
“Dengan kami.”
Sore itu seorang juru rawat mengantarnya ke pekuburan, di mana
cucu-cucunya seluruhnya dikuburkan dan juga di mana si babu ikut tertimbun
dengan tanah-tanah itu. Perempuan tua itu menangis tersedu-sedu hingga
juru rawat itu payah sekali membujuknya untuk pulang.
Kini, perempuan tua itu dengan matanya yang tua itu mencoba
melihat ke sekeliling, dan dengan pandangan tuanya ia tidak melihat
setumpak pun tanah yang kosong.
“Sudahlah, Nek. Jangan menangis lagi. Mari pulang,” ajak perempuan
muda itu.
Perempuan tua itu menjawab: “Saya sedih sekali, Nak.”
“Kenapa? Bukankah mereka sudah selamat dikuburkan?”
Bab I ~ Pendidikan Nasional 15
Latihan
“Bukan itu. Bukan itu. Saya sedih di mana saya akan dikuburkan
nanti? Semua tanah itu sudah penuh. Saya sudah menjual ringgit emas
pemberian suamiku, dan telah kubeli tanah ini untuk kuburan saya, tapi
sekarang mereka yang memakai tanah ini buat kuburan mereka.”
“Di mana lagi, coba, tanah untuk saya?” sambung si nenek itu. “Semua
sudah terisi. Waktu hidupnya, mereka cuma memberiku tiga buah jeruk, itu
pun jeruk-jerukku, dan waktu mati.”
“Sudahlah, Nek, mari kita pulang.”
“Saya tidak akan pulang.”
Dan perempuan tua itu dengan tersedu-sedu berkatalah lagi:”Cobalah
kaupikir, Nak, di mana saya akan dikuburkan. Tanah-tanah di sini semua
sudah terisi!”
Dan perempuan muda itu tidak dapat menjawabnya.
Dan perempuan tua itu melihat dengan mata tuanya lagi, ke sekeliling.
Dan pandang tuanya yang sudah layu itu tidak menangkap lagi setumpak
pun tanah yang kosong.
Ketika itulah air matanya berjalan pelan-pelan, dari pinggir pelupuk
matanya ke daging-daging pipinya, seperti seorang tua berjalan pelan-pelan
di pinggir tebing menuruni sebuah lembah.
Sastra
No. 7, Th. I. November 1961
Cerpen Indonesia III, 1986:88-94)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar