Rabu, 16 Mei 2012

JODOH


        JODOH
Oleh: A.A.Navis
Bila jumlah wanita lebih banyak dari pria pada zaman lapangan kerja
menyempit hingga pengangguran berlimpahan, tidaklah sulit memeroleh seorang
gadis untuk dijadikan istri. Terutama gadis yang telah berusia dua puluh lima
tahun lebih. Sebab, masyarakat masih memandang mereka sebagai oknum yang
menggelisahkan keluarga. Akibatnya, jejaka yang berusia sekitar tiga puluh tahun
dan punya pekerjaan , seperti Badri, jika mau mengacungkan telunjuknya kepada
gadis-gadis itu, jadilah ia istrinya.
Beberapa bulan lagi Badri akan genap tiga puluh tahun. Dibandingkan dengan
angkatannya, ia dipandang sudah terlambat memeroleh istri. Bukan karena telunjuk
bengkok ataupun kompong, melainkan karena idealismenya yang meluap-luap
dalam lapangan sosial dan kebudayaan.Ketika ia menyadari bahwa perjuangan
takkan selesai meski ia hidup terus sebagai jejaka, untuk memperoleh seorang
tidaklah begitu mudah baginya. Ada tiga macam halangan yang tak begitu mudah
ditembus akal sehatnya. Demi turunannya, agar generasi muda mendatang tidak
lagi pendek-pendek tubuhnya, ia merindukan seorang gadis yang tinggi semampai.
Dan itu tidak mudah ditemuinya dalam masyarakat yang berbakat pendek.
Halangan lainnya karena Badri berdarah campuran yang dianggap kurang bermutu
menurut pandangan adat Minangkabau yang lebih menyukai perkawinan awak
sama awak. Halangan lain ialah kalkulasi biaya hidup yang takkan klop lagi bila
ia nikah.
Menurut kalkulasinya, setelah membayar uang makan dan sewa kamar
serta hutang-hutang rokoknya, sehabis tanggal lima belas habis pulalah seluruh
isi kantongnya. Tentu saja logikanya, kalau ia sudah hidup berdua dengan istrinya
maka mulai tanggal satu tentunya kantongnya sudah akan bolong. Meski logika
itu tidak seluruhnya benar. Karena menurut kalkulasinya yang lebih cermat, jumlah
gajinya akan dapat memberi makan seorang lagi, berikut membeli sepasang
pakaian istrinya sekali setahun. Akan tetapi merokok harus dihentikan. Dan
menonton film hanya akan dapat dilakukan sekali sebulan.dan itu tidak soal berat.
Yang terberat ialah jika ia memikirkan konsekuensi perkawinan. Istrinya tentu
akan hamil dan melahirkan anak. Menurut penelitiannya, ongkos periksa sekali
wanita hamil sama dengan dua hari gajinya. Biaya bersalin akan menelan gajinya
sebulan. Belum lagi kalau dihitung pengeluaran untuk membeli perangkat bayi
mulai popok, gurit, dan tempat tidur mungil. Kesimpulan Badri, ia tidak bisa nikah
untuk selama-lamanya. Terkecuali bila ia ingin bertingkah laku seperti rekanrekannya
yang lain. Atau seperti Pak Mudo, pesuruh kantor yang mau
melaksanakan pekerjaan apa saja yang diminta orang di luar tugas-tugas kantor
dan untuk itu ia mendapat imbalan macam-macam, sehingga dapat memberi nafkah
istri dan kelima anak-anaknya.
Jalan keluar yang lain, menurut pikiran Badri ialah kawin dengan seorang
gadis yang punya pekerjaan. Yang lebih baik ialah kalau yang jadi pegawai negeri.
Sebab pegawai negeri lebih banyak mempunyai keringanan tugas dibandingkan
dengan pegawai swasta. Pegawai negeri yang terbaik untuk dijadikan istri ialah
guru sekolah. Karena guru sudah terlatih dengan hidup yang sangat sederhana.
Akan adakah seorang gadis yang tingginya 160 centi yang jadi guru sekolah
negeri dan orang tuanya tidak keberatan pada laki-laki yang berdarah campuran
seperti Badri.
Kebetulan ada. Lena namanya. Umurnya lebih muda tiga tahun. Ia gadis
yang menyenangkan untuk dipandangi. Sehingga bagi Badri, waktu terasa begitu
cepat berlalu selagi mereka asyik ngobrol. Tapi setiap Badri mencoba
meningkatkan pershabatan ke arah percintaan dengan mulai mengajaknya keluar
malam guna menonton film, senantiasa ada alasan Lena untuk mengelak. Entah
dengan alasan udara buruk atau filmnya tidak bagus atau badannya yang kurang sehat.
Hanya sekali Badri berhasil mengajak nonton film. Itu pun karena menemani
adiknya yang baru datang dari kota lain. Meskipun harapannya tidak penuh
terhadap gadis itu, pada waktu-waktu tertentu ia selalu mengunjungi Lena. Dan
ia selalu mendapat sambutan yang hangatnya tak pernah menurun.
Akan tetapi, tibalah satu bencana.
Ketika suatu malam Badri bertandang kembali, Lena tidak membiarkannya
masuk. Malah berkata seperti hendak mengusirnya; “Jangan kemari lagi!”
Terpana Badri mendengar ucapan gadis itu. Lebih terpana lagi dia ketika
Lena menyebut nama Rosni, seorang gadis yang sering juga dibawanya keluar
untuk menonton film.
“Aku tidak serius dengan dia,” kata Badri menangkis.
“Enak benar jadi laki-laki. Begitu sering membawa seorang gadis keluar
malam, tapi kalau ditanya oleh gadis yang lain, lalu dibilang aku tidak serius
dengan dia,” umpat Lena dengan tengiknya. Lalu sebelum Badri memberi alasan,
pintu ditutup dan dikuncinya dari dalam. Tinggalah Badri terperangah di anak
tangga.
Dengan loyo ditinggalkannya rumah Lena sambil mengutuki dirinya sendiri
karena sering membawa Rosni keluar malam. Padahal gadis itu tidak ideal
baginya. Meski wajahnya cukup cantik dengan kulitnya yang mulus seperti umbut
karena usianya yang masih muda. Rosni sepuluh senti lebih pendek dari
persyaratan idealnya. Lagi pula terlalu berisi. Tapi yang terutama tidak punya
pekerjaan yang menghasilkan nafkah.
Sejak itu, Badri kehilangan orang yang paling menyenangkan hatinya. Ia
mulai menghindari Rosni karena ia tidak mau terlibat terlalu dalam dengan gadis
itu. Ketika Rosni menikah dengan laki-laki pilihan orang tuanya, Badri merasa
bebas dari incarannya. Tapi sebaliknya, setiap ia ketemu Lena di mana pun
juga, selalu gadis itu membuang muka.
Beberapa bulan lagi usianya akan menjadi tiga puluh tahun. Usia yang
cukup matang untuk menjadi seorang suami menurut pendapatnya. Ia menyadari
juga sekiranya ia tidak terlalu teguh berpegang pada prinsip-prinsip hidupnya, ia
akan dapat kawin pada hari ulang tahunnya itu. Asal dia mau menyesuaikan diri
dengan iklim yang memengaruhi kehidupan masyarakat, soal gaji kecil sebetulnya
bukan alasan untuk menunda perkawinan. Karena dengan bergaji kecil sekalipun,
orang dapat menghidupi lima sampai sepuluh nyawa. Bahkan, cukup banyak
rezekinya sehingga ada di antara mereka yang telah mulai membuat rumah.
Badri bukan tidak tahu cara menambah penghasilan itu. Tapi, pikirnya, kalau
tidak mampu memperbaiki dunia, janganlah ikut serta lebih merusaknya.
Meskipun ia telah menarik kesimpulan, bahwa laki-laki tidak pernah terlalu
tua untuk memperoleh jodoh, namun jika ingat pada usianya menjelang tiga
puluh tahun, timbul juga godaan yang kuat dalam dirinya untuk mencari istri.
Maka mulailah ia meneliti rubrik Kontak Jodoh yang dimuat sekali seminggu
dalam satu surat kabar di kota kediamannya. Dicatatnya seluruh gadis yang
mencari jodoh melaui rubrik itu sejak penerbitan tiga bulan berselang. Catatan
itu diberinya berlajur-lajur seperti pekerjaan, tinggi badan, umur, dan beberapa
persyaratannya.
Ia mernemukan 26 gadis yang ingin mendapat jodoh melalui rubrik itu dan
7 orang janda. Badri lebih tertarik pada gadis. Dan yang terpenting semuanya
mempunyai pekerjaan. Sembilan belas diantaranya menjadi pegawai negeri. Di
antara yang sembilan belas itu ternyata delapan orang yang menjadi guru. tapi
hanya empat orang yang mempunyai tinggi seperti yang diinginkan Badri.
Kebetulan keempatnya menyatakan tidak keberatan mendapat jodoh seperti
kondisi Badri, yakni bukan penduduk asli daerah. Untuk memilih salah seorang,
Badri menetapkan pilihan pada gadis yang lebih dahulu mengikuti rubrik itu. Gadis
itu berkode AX/19. Maka segeralah ia menulis surat kepada redaksi untuk membuat
kontak. Selama dua belas hari menunggu balasan merupakan siksa dalam
kehidupan Badri. Tapi, lima hari menjelang pertemuan pertama setelah kontak
surat berlangsung, merupakan hari-hari yang terpanjang yang sangat menyesakkan
napasnya.
Mereka akan bertemu di depan Toko Lima pada jam lima sore. Gadis itu
akan mengenakan switer kuning dengan rok lembayung sebagai pengenal. Sedang
Badri akan mengenakan baju batik dan pengepit segulungan majalah diikat dengan
pita merah. Badri lebih cepat datang lima menit dari waktu perjanjian, karena
takut kalau sampai terlambat dari waktunya. Satu menit sebelum jam lima ia
telah kian gugup meskipun matanya lirak-lirik mencari-cari gadis yang berswiter
kuning. Persis jam lima ia tak tahan lagi disiksa kegugupan. Lalu ia menyelonong
dalam toko itu dengan maksud akan mengintip kedatangan gadis itu dari dalam
toko. Ketika ia baru saja memasuki ambang pintu toko itu, seorang gadis berswiter
kuning hendak keluar. Mereka saling tertegun dengan matanya sama-sama
terbeliak. Karena gadis itu lena. Tidak lain.
Tapi belum sempat Badri berpikir, Lena segera terpaling. Kemudian dengan
langkahnya yang tergesa-gesa berlalu dari situ menyeberangi jalan. Cepat Badri
menarik kesimpulan, bahwa Lena, pastilah jodohnya. Peristiwa itu bukanlah suatu
kebetulan, tapi sudah diatur oleh tali nasib. Lalu dikejarnya gadis itu dengan
langkahnya panjang-panjang. Dan ketika telah dekat digenggamnya lengan gadis
itu kuat-kuat sambil mengiringkan langkahnya.
“Lepaskan aku,” bentak Lena seraya mencoba membebaskan lengannya
dari genggaman Badri, “Nanti aku berteriak.”
Dan Badri tak percaya bahwa gadis itu akan berani berteriak di tengah
orang ramai itu. Lalu katanya: “Berteriaklah.”
Di luar dugaannya. Lena betul-betul berteriak. Orang ramai segera datang
merubungi mereka. Nyaris insiden yang lebih parah berlangsung. Kalau tidak
seorang polisi mencegah, pastilah Badri akan dikeroyok orang banyak. Lalu
keduanya dibawa ke gardu polisi terdekat. Di hadapan polisi yang memeriksa
semua kartu dibuka.
“Gila kau,” kata Lena selesai membaca naskah cerpen yang baru selesai
ditulis suaminya. “Masa kisah kita mau dibeberkan pada orang banyak?”
Badri merangkul pinggang istrinya sambil tertawa. Mereka sudah lama
menikah dan kini telah punya dua orang bayi yang demikian rapat jarak
kelahirannya. Mereka kawin dengan pesta yang meriah dan upacara adat yang
tradisional.
Dan semenjak, itu Badri tinggal di rumah mertuanya, seperti juga suami-suami
lainnya di Minangkabau.
Pola hidup yang matrilineal yang dulu tidak disukai demikian indah
kenyataannya setelah memiliki Lena. Kalkulasi biaya hidup yang mencemaskan
dulu, ternyata pula tidak perlu diributkan. Malah ketika anaknya yang kedua
lahir, Lena dianjurkan sendiri untuk berhenti menjadi guru karena seni hidup
bukanlah perhitungan yang eksak, melainkan penyesuaian diri pada iklim yang
membentuk masyarakat. Idealisme masa jejakanya ternyata pula suatu utopia
semata. Idealisme yang membius pada orang-orang yang tidak mempunyai
beban hidup kekerabatan. Sedangkan idealisme seorang laki-laki yang telah
menjadi suami dan menjadi seorang ayah ialah idealisme abadi, yakni bagaimana
membahagiakan istri dan anak-anak.
Dan kalau Badri sesekali membaca surat kabar yang mengisahkan
perjuangan-perjuangan orang-orang untuk mencapai cita-cita, cepat-cepat Badri
menutup surat kabar itu dan meletakkannya di rak kertas-kertas tua yang akan
diloakkan mertuanya.
(Berkenalan Dengan Prosa Fiksi, 2000:177-186)

3 komentar: