Rabu, 16 Mei 2012

KANG DASRIP


KANG DASRIP
(Emha Ainun Nadjib)
Kang Dasrip kecewa dan agak bingung. Anaknya, Daroji yang belum
sembuh karena dikhitan kemarin, kini sudah mulai menagih. Sebelum hajat
khitanan ini, ia memang berjanji kepada anaknya akan membelikannya
radio merek Philip seperti kepunyaan Wak Haji Kholik. Tapi mana bisa,
perhitungannya ternyata meleset. Ia bukannya mendapat laba dari hajat ini,
malah rugi. Undangan-undangan itu ternyata banyak yang kurang ajar.
Cobalah pikir. Perhitungan Kang Dasrip sebenarnya sudah dibilang
matang. Ia keluarkan biaya sedikit mungkin untuk hajatan khitanan anaknya
ini. Ia tidak bikin tarup di depan rumahnya karena akan menghabiskan
banyak batang bambu dan sesek, melainkan cukup membuka gedeg bagian
depan rumahnya. Dengan demikian, beranda dan ruang depan rumahnya
menjadi tersambung dan bisa dijadikan tempat upacara khitanan. Ia tidak
pakai acara macem-macem. Cukup panggil calak, tukang khitan, dengan
bayaran dua ribu upiah. Kemudian tak usah nanggap wayang atau ketoprak,
ludruk, lagu-lagu dangdut atau kasidahan, atau apa saja asal ada kasetnya.
Semua biayannya cukup tiga ribu rupiah, untuk waktu sehari semalam penuh.
Biaya yang tidak bisa dielakkan banyaknya ialah untuk suguhan,
makan minum dan jajan-jajan serta rokok. Yang diundang tak usah banyakbanyak.
Cukup kerabat-kerabat terdekat, tetapi tertama orang-orang yang
dulu pernah mengundangnya berhajat. Kang Dasrip punya catatan berapa
banyak ia memberi beras atau uang ketika ia pergi ke kondangan. Ia yakin
pasti memperoleh jumlah yang sama bahkan bisa lebih banyak.
Tetapi ternyata mereka banyak yang kurang ajar. Yang dulu ia buwuhi
Rp 200. Sekarang cuma ngasih Rp 100. Bahkan ada yang lebih parah lagi,
datang tanpa membawa apa-apa. Kang Dasrip misuh-misuh. Ia rugi ada
kira-kira lima belas ribu. Gagallah ia membelikan radio buat anaknya. Sedang
si Daroji sudah merengek-rengek.
“Sudahlah, Kang. Tak usah bingung. Kita nunggu sewaan tebu sawah
kita saja untuk beli radio itu, “ kata istri Kang Dasrip.
“Kau kira berapa sewan untuk sawah kita?” Kang Dasrip malah
kelihatan semakin berang.
Mereka seenaknya sendiri saja memberi harga sewa kita untuk ditanami
tebu. Ngomongnya saja tebu rakyat! Tapi nyatanya malah maksa-maksa
kita dan tebunya juga punya pabrik! Punya pemerintah!”
Istrinya tidak berani membantah. Tapi Kang Dasrip sendiri toh hanya
bisa bingung.
“Biarlah aku nanti yang ngomongi Daroji,” kata istrinya lagi.
“Ngomongi apa! Dia anak kecil!”
“Ya disuruh sabar.”
Kang Dasrip tertawa kecut. “Sabar sampai kapan?”
“Kita kan bisa usaha.”
“Usaha apa!”
“Soal sewa tebu itu misalnya. Kau kan bisa minta Pak Lurah untuk
menaikkan harga sewanya.”
Tertawa Kang Dasrip mengeras. “Kau kira lurah kita itu pahlawan,
ya! Dia itu takut sama atasannya. Atasannya itu ada main sama yang ngurus
tebu itu. Dan lagi lurah kita pasti juga dapat apa-apa. Dia sudah punya
sawah berhektar-hektar, pajak-pajak dari kita tak tahu larinya ke mana, uang
pembangunan desa sedikit sekali kita lihat hasilnya, tapi belum pernah dia
merasa puas, dia masih merasa kurang kaya ... !
“Jadi bagaimana?” istrinya nampak sedih.
“Ya! Bagaimana! Memang bagaimana?” jawab Kang Dasrip.
Mereka kemudian tak berkata-kata lagi.
Tapi kemudian ternyata Kang Dasrip punya rencana diam-diam. Ia
mengambil sisa-sisa surat undangan, kertas cetakan yang dibelinya di toko
dan tinggal mengisi nama yang diundang. Di bagian belakangnya yang
kosong ia pergunakan untuk menulis surat. Ternyata ditujukan kepada para
undangan yang kurang ajar itu. “Saya dulu mbuwuhi saudara Rp 200, kok
sekarang Saudara hanya ngasih Rp100, tulisnya ................
Ketika surat itu selesai diantarnya, ributlah orang desa. Ada yag
tertawa, ada yang memaki-maki. Yang jelas surat itu dengan cepat menjadi
bahan gunjingan. Bahkan ternyata ada juga yang dikirim ke undangan dari
desa sebelah. Maka makin keraslah tanggapan orang desa. “Memalukan
desa kita!” kecam mereka.
Dan akhirnya Kang Dasrip tidak menikmati hasil apa-apa dari
tindakan kebingungannya itu, kecuali nama yang memalukan. Bahkan, lebih
dari itu, di tengah malam, ia gelisah karena genting rumahnya ada yang
melempari berkali-kali. Kang Dasrip naik pitam. Ia keluar rumah dan berlari
hendak mengejar pelaku-pelakunya. Tapi tentu saja ia sia-sia. Malam amat
pekat dan lingkungan begitu rimbun untuk ditembus. Akhirnya ia masuk
kembali dan terengah-engah di kursi. Istrinya ketakutan. Tapi Kang Dasrip
berusaha meredakannya. “Mereka itu undangan-undangan yang kurang ajar
itu!” katanya.
Paginya Kang Dasrip berpamitan kepada Daroji akan ke kota untuk
beli radio hingga bersukacitalah anak itu. Tapi siangnya Kang Dasrip datang
dengan wajah sendu. “Radionya dicopet di pasar, Nak....!” ujarnya. Daroji
menangis.
(Berkenalan dengan Prosa Fiksi, 2000:142-146)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar