Rabu, 16 Mei 2012

Ibu Memintaku Segera Pulang


Ibu Memintaku Segera Pulang

Peluit kereta api kedengaran melengking dari balik
dinding stasiun, disusul deru lokomotif yang mulai
bergerak menarik rangkaian gerbong melanjutkan
perjalanan ke Jawa Timur. Dari kejauhan kedengaran
samar-samar suara alarm palang kereta. Beberapa
saat kemudian dini hari kembali mempegelarkan
kesunyiannya.
Tukang warung menyorongkan segelas kopi
panas yang mengepulkan uap tipis.
”Baru turun dari kereta?”
”Ya.”
”Dari Jakarta?”
”Ya.”
”Kok tidak naik kereta Senja saja? Sampai sini
pas pagi-pagi sekali.”
”Sebetulnya saya dari Sumatra, naik bis. Masuk
Jakarta kemarin pagi jam sepuluhan, langsung ke
stasiun. Saya lupa kalau naik kereta siang dari Jakarta
sampainya tengah malam begini.”
”Pernah ke sini?”
”Terakhir hampir tiga tahun yang lalu. Rumah saya
di Patangpuluhan.”
”Ooo, asli Yogya sini. Menengok orang tua?”
”Ya. Tinggal ibu saja yang masih di rumah.
Beberapa hari yang lalu datang surat dari ibu, meminta
saya cepat pulang.”
”Ibu sakit?”
”Mudah-mudahan tidak.”
. . . .
* * *
Pukul tiga lewat dua puluh. Perempuan itu ada
benarnya. Udara luar biasa dingin. Langit memang
nampak begitu bersih tanpa sedikit pun awan menahan
terangnya cahaya bulan, jaket jins yang kupakai ini
jadi terasa kelewat tipis, tapi cukup lumayan untuk
tidak membuatku menggigil.
”Stop, Pak.”
Becak berhenti persis di depan rumah. Semula
aku berniat menunggu beberapa lama di teras. Pintu
pagar kubuka pelan tapi tetap saja berderit keras.
”Siapa di luar?”
”Saya, Bu. Ardi.”
Lampu ruang depan menyala. Pintu terbuka.
”Oalah, anak ini . . .,” dan begitu saja aku sudah
berasa dalam pelukan ibu. ”Sepagi ini kamu datang?”
”Kereta tiba selewat tengah malam. Tadinya saya
mau menunggu di stasiun sampai hari terang tapi terlalu
lama. Maaf, terpaksa membangunkan ibu.”
”Kamu kira ibu bisa tidur nyenyak sebelum kamu
datang?”
”Ibu sakit?”
”Apa aku kelihatan seperti orang sakit?”
”Surat itu?”
Ibu bergegas melangkah ke dalam. ”Jangan tanya
soal surat. Pokoknya kamu sekarang sudah datang,
sudah ada di sini. Mau minum dulu? Biar Atun
menjerang air.”
”Jangan, masih terlalu pagi.”
Terampil Berbahasa Indonesia Kelas XI Bahasa 7 3
”Mau minum jahe panas? Air termos kemarin
masih penuh, tinggal direbus lagi barang sebentar.”
”Biar saya sendiri nanti.”
”Kamu tiduran dulu saja di sofa kalau masih
mengantuk.”
”Sebaiknya ibu juga tidur lagi dulu. Saya baru
saja minum kopi.”
”Ngopi di mana kamu?”
”Di warung dekat stasiun.”
”Masya Allah. Lebih baik tengah malam tadi kamu
langsung ke sini daripada mesti ngopi di warung
begituan. Daerah situ tidak pantas buat kamu.
Bahaya.”
”Yang ibu takutkan, apa?”
”Takut tidak, cuma khawatir.”
Ibu keluar dari dapur membawa segelas wedang
jahe.
. . . .
* * *
Pukul tujuh pagi aku terbangun oleh suara sepeda
motor yang berhenti di depan rumah, disusul ketukan
pintu yang tak begitu keras.
Kulonuwun . . .
Belum sempat aku mencapai ruang tamu, kulihat
pintu depan sudah lebih dulu terbuka. Seorang gadis
begitu saja melangkah masuk dengan sebuah rantang
terjinjing di tangannya, namun cepat tertahan ketika
melihat aku berdiri kurang lebih tiga meter di
depannya. Lama ia menatap atau lebih wajahnya
membayangkan senyuman.
”Mas Ardi, ya?”
”Ya . . . .”
”Lupa?”
. . . .
* * *
Setelah mandi aku diminta ibu agar mencicipi
masakan kiriman Astuti yang ternyata enak juga.
Ingin aku memujinya tapi sayang dia sudah terlanjur
pulang.
”Sering dia kirim makanan begini?”
”Hampir tiap hari. Astuti merasa aku ini guru
masaknya. Padahal dianya sendiri yang memang
berbakat. Pintar, cerdas, cekatan, daya tangkapnya
luar biasa.”
”Kalau tidak salah ibunya pintar masak juga?”
”Justru setelah ibunya tidak ada dia terdorong
untuk lebih dalam belajar.”
. . . .
* * *
”Ardi.” Wajah ibu sekonyong-konyong berubah.
Sepertinya selama kurang lebih empat jam sejak
kedatanganku tadi ibu begitu keras berusaha
membawakan peran sebagai seorang wanita yang
paling bahagia, dan kini ia mengembalikan dirinya ke
sosok yang sebenarnya.
”Apakah keliru kalau aku mencarikan yang terbaik
buatmu?”
Pelan aku berdiri sambil membawa piring kotor
ke dapur. Di depan wastafel aku berharap cermin di
atasnya itulah yang memang berjamur, sebab di sana
kulihat sepotong wajah yang buram. Namun,
harapanku sia-sia ketika ternyata cermin itu sangat
jujur dalam merefleksikan kemurunganku.
”Saya belum siap . . .”
”Jangan kecewakan ibumu,” aku ingat benar itulah
kata-kata terakhir yang diucapkan ayah sebelum
meninggal. Nasihat serupa juga amat sering diucapkan
ibu setiap kali aku melalaikan sesuatu, ”Jangan
kecewakan ayahmu.” Ucapan yang secara setengah
hati kuterima sebab kadang-kadang timbul prasangka
buruk dalam pikiranku, bahwa dengan begitu aku
seolah hidup semata-mata untuk mereka, untuk
menyenang-nyenangkan mereka, menjadi bagian dari
prestasi mereka. Bayang-bayang mereka terlampau
kuat menuntun langkahku hingga ketika langkah
mereka tersendat aku sempat kehilangan arah. Dan,
ketika aku mencoba mendapatkan arah langkahku
sendiri, bayang-bayang kekecewaan mereka
menghantuiku.
Tahukah ibu bahwa aku menyelesaikan kuliah di
Jakarta selama hampir sepuluh tahun sebenarnya
bukan karena ”Ardi ingin menjadi sarjana yang terbaik”,
seperti yang sering diceritakan pada para tetangga,
melainkan semata-mata karena kekurangan biaya?
Tahukah bahwa untuk itu aku harus melakukan
pekerjaan apa saja yang di matanya mungkin kurang
terhormat? Tahukah ibu bahwa setelah menjadi sarjana
aku tak merasa lebih berharga sebab ternyata gelar
itu hanya persembahan buat ayah-ibu sementara ilmu
yang kuperoleh bukanlah ilmu yang ingin kupelajari.
Rasa-rasanya ibu tak mengetahuinya, sebab aku
memang tak pernah menceritakannya.
Ibu tak tahu bahwa apabila nanti aku kembali ke
Lampung, mereka yang di sana tak akan bersahutsahutan
menyambutku dengan ”Apa kabar ibumu?”,
”Sakitkah beliau?”, Bagaimana kabar sanak saudara?”
Ibu tak tahu bahwa aku kembali ke sana hanya untuk
mengetahui kontrak kerjaku bakal diperpanjang atau
tidak. Ibu juga tidak tahu bahwa selama aku bekerja
di sana, saat paling menggembirakan adalah ketika
aku menerima surat dari ibu beberapa waktu yang lalu,
sebab paling tidak aku menemukan alasan untuk
pulang.
Dikutip dari: Parmin, Kumpulan Cerpen Jujur
Prananto, Kompas, 2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar