Ibu
Memintaku Segera Pulang
Peluit
kereta api kedengaran melengking dari balik
dinding
stasiun, disusul deru lokomotif yang mulai
bergerak
menarik rangkaian gerbong melanjutkan
perjalanan
ke Jawa Timur. Dari kejauhan kedengaran
samar-samar
suara alarm palang kereta. Beberapa
saat
kemudian dini hari kembali mempegelarkan
kesunyiannya.
Tukang
warung menyorongkan segelas kopi
panas
yang mengepulkan uap tipis.
”Baru
turun dari kereta?”
”Ya.”
”Dari
Jakarta?”
”Ya.”
”Kok
tidak naik kereta Senja saja? Sampai sini
pas
pagi-pagi sekali.”
”Sebetulnya
saya dari Sumatra, naik bis. Masuk
Jakarta
kemarin pagi jam sepuluhan, langsung ke
stasiun.
Saya lupa kalau naik kereta siang dari Jakarta
sampainya
tengah malam begini.”
”Pernah
ke sini?”
”Terakhir
hampir tiga tahun yang lalu. Rumah saya
di
Patangpuluhan.”
”Ooo,
asli Yogya sini. Menengok orang tua?”
”Ya.
Tinggal ibu saja yang masih di rumah.
Beberapa
hari yang lalu datang surat dari ibu, meminta
saya
cepat pulang.”
”Ibu
sakit?”
”Mudah-mudahan
tidak.”
.
. . .
*
* *
Pukul
tiga lewat dua puluh. Perempuan itu ada
benarnya.
Udara luar biasa dingin. Langit memang
nampak
begitu bersih tanpa sedikit pun awan menahan
terangnya
cahaya bulan, jaket jins yang kupakai ini
jadi
terasa kelewat tipis, tapi cukup lumayan untuk
tidak
membuatku menggigil.
”Stop,
Pak.”
Becak
berhenti persis di depan rumah. Semula
aku
berniat menunggu beberapa lama di teras. Pintu
pagar
kubuka pelan tapi tetap saja berderit keras.
”Siapa
di luar?”
”Saya,
Bu. Ardi.”
Lampu
ruang depan menyala. Pintu terbuka.
”Oalah,
anak ini . . .,” dan begitu saja aku sudah
berasa
dalam pelukan ibu. ”Sepagi ini kamu datang?”
”Kereta
tiba selewat tengah malam. Tadinya saya
mau
menunggu di stasiun sampai hari terang tapi terlalu
lama.
Maaf, terpaksa membangunkan ibu.”
”Kamu
kira ibu bisa tidur nyenyak sebelum kamu
datang?”
”Ibu
sakit?”
”Apa
aku kelihatan seperti orang sakit?”
”Surat
itu?”
Ibu
bergegas melangkah ke dalam. ”Jangan tanya
soal
surat. Pokoknya kamu sekarang sudah datang,
sudah
ada di sini. Mau minum dulu? Biar Atun
menjerang
air.”
”Jangan,
masih terlalu pagi.”
Terampil
Berbahasa Indonesia Kelas XI Bahasa 7 3
”Mau
minum jahe panas? Air termos kemarin
masih
penuh, tinggal direbus lagi barang sebentar.”
”Biar
saya sendiri nanti.”
”Kamu
tiduran dulu saja di sofa kalau masih
mengantuk.”
”Sebaiknya
ibu juga tidur lagi dulu. Saya baru
saja
minum kopi.”
”Ngopi
di mana kamu?”
”Di
warung dekat stasiun.”
”Masya
Allah. Lebih baik tengah malam tadi kamu
langsung
ke sini daripada mesti ngopi di warung
begituan.
Daerah situ tidak pantas buat kamu.
Bahaya.”
”Yang
ibu takutkan, apa?”
”Takut
tidak, cuma khawatir.”
Ibu
keluar dari dapur membawa segelas wedang
jahe.
.
. . .
*
* *
Pukul
tujuh pagi aku terbangun oleh suara sepeda
motor
yang berhenti di depan rumah, disusul ketukan
pintu
yang tak begitu keras.
”Kulonuwun
. . .”
Belum
sempat aku mencapai ruang tamu, kulihat
pintu
depan sudah lebih dulu terbuka. Seorang gadis
begitu
saja melangkah masuk dengan sebuah rantang
terjinjing
di tangannya, namun cepat tertahan ketika
melihat
aku berdiri kurang lebih tiga meter di
depannya.
Lama ia menatap atau lebih wajahnya
membayangkan
senyuman.
”Mas
Ardi, ya?”
”Ya
. . . .”
”Lupa?”
.
. . .
*
* *
Setelah
mandi aku diminta ibu agar mencicipi
masakan
kiriman Astuti yang ternyata enak juga.
Ingin
aku memujinya tapi sayang dia sudah terlanjur
pulang.
”Sering
dia kirim makanan begini?”
”Hampir
tiap hari. Astuti merasa aku ini guru
masaknya.
Padahal dianya sendiri yang memang
berbakat.
Pintar, cerdas, cekatan, daya tangkapnya
luar
biasa.”
”Kalau
tidak salah ibunya pintar masak juga?”
”Justru
setelah ibunya tidak ada dia terdorong
untuk
lebih dalam belajar.”
.
. . .
*
* *
”Ardi.”
Wajah ibu sekonyong-konyong berubah.
Sepertinya
selama kurang lebih empat jam sejak
kedatanganku
tadi ibu begitu keras berusaha
membawakan
peran sebagai seorang wanita yang
paling
bahagia, dan kini ia mengembalikan dirinya ke
sosok
yang sebenarnya.
”Apakah
keliru kalau aku mencarikan yang terbaik
buatmu?”
Pelan
aku berdiri sambil membawa piring kotor
ke
dapur. Di depan wastafel aku berharap cermin di
atasnya
itulah yang memang berjamur, sebab di sana
kulihat
sepotong wajah yang buram. Namun,
harapanku
sia-sia ketika ternyata cermin itu sangat
jujur
dalam merefleksikan kemurunganku.
”Saya
belum siap . . .”
”Jangan
kecewakan ibumu,” aku ingat benar itulah
kata-kata
terakhir yang diucapkan ayah sebelum
meninggal.
Nasihat serupa juga amat sering diucapkan
ibu
setiap kali aku melalaikan sesuatu, ”Jangan
kecewakan
ayahmu.” Ucapan yang secara setengah
hati
kuterima sebab kadang-kadang timbul prasangka
buruk
dalam pikiranku, bahwa dengan begitu aku
seolah
hidup semata-mata untuk mereka, untuk
menyenang-nyenangkan
mereka, menjadi bagian dari
prestasi
mereka. Bayang-bayang mereka terlampau
kuat
menuntun langkahku hingga ketika langkah
mereka
tersendat aku sempat kehilangan arah. Dan,
ketika
aku mencoba mendapatkan arah langkahku
sendiri,
bayang-bayang kekecewaan mereka
menghantuiku.
Tahukah
ibu bahwa aku menyelesaikan kuliah di
Jakarta
selama hampir sepuluh tahun sebenarnya
bukan
karena ”Ardi ingin menjadi sarjana yang terbaik”,
seperti
yang sering diceritakan pada para tetangga,
melainkan
semata-mata karena kekurangan biaya?
Tahukah
bahwa untuk itu aku harus melakukan
pekerjaan
apa saja yang di matanya mungkin kurang
terhormat?
Tahukah ibu bahwa setelah menjadi sarjana
aku
tak merasa lebih berharga sebab ternyata gelar
itu
hanya persembahan buat ayah-ibu sementara ilmu
yang
kuperoleh bukanlah ilmu yang ingin kupelajari.
Rasa-rasanya
ibu tak mengetahuinya, sebab aku
memang
tak pernah menceritakannya.
Ibu
tak tahu bahwa apabila nanti aku kembali ke
Lampung,
mereka yang di sana tak akan bersahutsahutan
menyambutku
dengan ”Apa kabar ibumu?”,
”Sakitkah
beliau?”, Bagaimana kabar sanak saudara?”
Ibu
tak tahu bahwa aku kembali ke sana hanya untuk
mengetahui
kontrak kerjaku bakal diperpanjang atau
tidak.
Ibu juga tidak tahu bahwa selama aku bekerja
di
sana, saat paling menggembirakan adalah ketika
aku
menerima surat dari ibu beberapa waktu yang lalu,
sebab
paling tidak aku menemukan alasan untuk
pulang.
Dikutip
dari: Parmin, Kumpulan Cerpen Jujur
Prananto,
Kompas, 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar