Peluru-peluru
Ditulis oleh Wa Ode Wulan Ratna
Tak pernah lupa ia pada suara dentuman meriam dan gencatan
senjata yang membuatnya bangun pagi-pagi. Ia melihat sinar matahari masuk ke
pembaringannya melalui celah jendela yang lapuk. Ia pun terduduk, berucap doa
selamat pagi pada Tuhan dan memohonkan kemerdekaan. Ia mengenakan seragamnya,
destar merah putihnya, dan pin merah putihnya.
Layaknya prajurit yang lain, ia pun bergegas mengambil
senjatanya, menyelempangkannya di bahu dan pergi tanpa sarapan apapun kecuali
harapan. Ia menyusuri jalan yang tidak rata, berkerikil dan berdebu. Sesaat
sebelum ia kembali pada peluru, ia teringat ibu dan menjadi ranum sebab
kekasihnya tengah menunggu....
Masa, begitulah masa lalu. Ketika pemuda-pemuda hanya
memikirkan bangsa. Tapi derita sayang, itu ibarat hayat yang tak lekang di
waktu apapun meski negara telah merdeka. Setiap abad akan selalu datang untuk
menghabiskan urat leher.
***
Di sepanjang pematang itu aku lihat kau berjalan dengan
terburu-buru sambil menenteng serantang makanan. Mungkin kau akan memberikannya
pada Bapakmu yang renta itu dan bukan pada suamimu yang kerjanya menggarap
sawah dan memeras keringat dari pekerjaan yang berlumuran lumpur liat. Kainmu
mengisut sepanjang lalang yang panjang yang tumbuh di pinggiran tanggul,
membuat udara sengal dan aku gerah melihatnya.
Kau yang hamil muda itu begitu lincah menapaki setapak itu.
Sebenarnya, ingin kuhancurkan benih dalam rahimmu. Tapi tak bisa, sebab ia
terlindung oleh ketuban dan air itu membuatnya hangat lagi nyaman. Bisa saja
benih yang baru tumbuh segempal itu berenang seperti kecebong dan berbahagia
dalam naungan doa-doa di dalam sana. Sungguh rasa cemburuku tak bisa
menghancurkannya, sebab air adalah kekuatan alam dan aku masih menyimpan memori
kandungan. Ruang yang lembab dan lindap itu adalah benih di mana ruh mulai
mengendus dan berkelemayar diterangi cahaya. Licin dan liat.
Begitu pun halnya denganmu. Dulu, dengan air mata itu
bagaimana bisa aku melukaimu? Seperti halnya bumi yang diberkati air, dengan
air yang menjadi tamengmu, kau adalah perempuan-perempuan yang dengannya
kehidupan tumbuh. Begitulah wajah feminin Tuhan menciptakan perempuan.
“Prita!” aku memanggilnya. Ia tersenyum, berhenti dari
langkahnya dan melambaikan tangannya padaku. Segera aku menghampirinya.
“Mau ke mana buru-buru?” Aku melihat rantangnya lalu
perutnya.
“Ah, Mas Khalis. Biasa, aku ingin menjenguk Bapak, tak ada
yang mengurus.” Ia masih malu-malu seperti dulu.
“Masmu tidak mengantar?”
“Kasihan dia. Sibuk.”
“Kalau begitu biar aku antar.” Aku menawarkan jasa untuk menenteng
rantangnya. Kami berjalan beriring sepanjang pematang.
“Kau sudah mengurus kartu untuk mendapatkan dana kompensasi
itu? Untuk Bapakmu?” ia tampak ragu menjawabnya.
“Aku diberi kepercayaan oleh pembarap untuk menjadi
petugas lapangan. Bapakmu kan mantan pejuang, ia harus mendapatkan dana itu.”
“Mas Khalis bisa bantu? Aku tidak mengerti cara-caranya.”
Kali ini aku yang ragu sebab ia sudah bersuami.
“Ya. Tapi ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi aku
kira. Nanti aku lihat lagi. Tapi kau bisa lihat dulu ke Pak RT, barangkali nama
Bapakmu sudah terdata. Itu akan sangat memudahkan.” Kulihat matanya berkesap-kesip.
Angin berkesiur dan hanya aku yang tahu hatiku telah menjadi bubur.
Betapa anehnya perjalanan ini perempuanku, dulu pernah kita
berjalan berdua seperti saat ini, bergandengan tangan mesra dan merajut
mimpi-mimpi bersama. Kadang kita lepas tertawa karena canda dan angan-angan
kita. Tapi kini perempuanku, kau menjadi makmur sementara aku tetap seorang
pengangguran yang menurut Bapakmu suka mencari muka.
***
Ia memilah-milah bongkahan arang, mana kiranya yang layak
untuk ditelan sebagai pengganjal perut. Anak perempuannya belum datang dan ia
tak mau menunggu terlalu lama bila ingin terus bertahan hidup. Biasanya anak
perempuannya itu mampir tiga hari sekali. Membawakannya beberapa kilo beras,
sambal petis dan teri. Atau sesekali bila sedang beruntung membawakannya hasil
ladang, sayur yang telah diolah. Dan dalam sebulan, anak perempuannya itu akan
mengurusnya sehari saja dengan penuh ketelatenan. Menginap sehari dan
membuatnya lupa pada arang-arang itu.
Para tetangga sebenarnya suka mendengar cerita-cerita
perjuangannya. Ia serasa menjadi muda kembali, menjadi gagah dan perkasa bila
sedang menceritakannya. Namun mungkin kini mereka sudah bosan mendengarkan
ceritanya sehingga ada saja yang memberinya sesuatu ketika ia hendak
mengeluarkan kata. Mereka merasa iba dan salut akan kesanggupannya hidup dari
memakan arang.
Matanya sudah meleleh. Rambutnya sepenuhnya telah dihiasi
bulu masu. Wajahnya berkeriput dan tangannya selalu gemetar. Ia getir menelan
hidup dan pengalaman, tapi ia bahagia memiliki kenangan. Mungkin orang-orang
sudah tak akan bangga padanya sebab ia hanyalah masa lalu.
Tiba-tiba didengarnya pintu reot itu diketuk. Dikunyahnya
satu arang dan berkata, “Siapa?”
“Ini Prita, Pak. Prita bawa makanan dan kabar.”
***
“Bapak Wadiman, sebenarnya Bapak sudah terdaftar di sini,
tapi Bapak harus mengurus kartu kompensasinya ke kelurahan.” Laki-laki tua itu
melirik Munir.
“Apakah harus membayar?” tanya pemuda itu.
“Tidak perlu. Pejabat dan petugas, sudah ada yang membayar.”
Pak RT tersenyum. Tapi Munir tahu harus ada uang brosur yang harus digantinya
dan uang rasa tidak enak. Mereka pamit.
“Bapak tidak punya uang. Jangankan untuk membayar uang
terima kasih, untuk ongkos ke kelurahan saja tak ada.”
“Sudahlah, Bapak tak usah pikirkan apa-apa.”
Aku meradang ketika melihat laki-laki itu rengsa beranjak
dari sawah liat. Aku tak ingin menegurnya, tapi seusai ia melunyah lahan
petaknya, aku sudah terlanjur melihatnya.
“Khalis!” Ah, jancuk! Mengapa ia mesti memanggil? Aku
tak bisa berpaling. Ia mendekatiku semakin dekat dan ingin rasanya kutinju
batang hidungnya.
“Aku dengar dari Prita kau jadi petugas jaga pos pengaduan,”
katanya. Aku sebal dia menyebut nama istrinya.
“Ya.” Tapi aku merasa bangga dengan jabatanku sebab aku
punya pekerjaan yang lebih baik dari melunyah sawah.
“Pak Wadiman, ayah istriku, belum mendapat kartu. Sedang
pengambilan dana tinggal tiga hari lagi.”
“Ya, dia sudah bilang padaku. Aku sekarang mau ke pusat,
nanti segera aku beritahu syarat-syaratnya. Yang pasti pengambilan dananya tak
dapat diwakilkan.” Ia menggangguk dan aku mohon diri. Oh Munir, mengapa kau
sengaja menghancurkanku?
“Bagaimana kau bisa. Dulu pemuda-pemuda tidak ada yang
selemah pada masa kini. Apa kau tidak tahu setiap saat mereka bisa saja dicekat
pelor?” lelaki tua itu, yang sudah sepuh, menghinaku dengan cerita-cerita
perjuangannya yang mengagumkan. Ia menunjukan bekas peluru pada lengan kirinya
dan ia masih mengantungi pin merah putihnya serta menyimpan baik-baik
penghargaan veterannya dari Bapak Presiden. Mungkin kelak ia akan membawanya ke
liang kuburnya.
Kata-kata itu masih terngiang di telingaku. Baginya aku
hanyalah pengangguran yang bagai benalu. Tentu ia tak mau anak perempuannya
makan arang juga sepertinya.
Aku menghela nafas. Udara menjadi hangat, perlahan dingin
akan segera datang sebab malam sebentar lagi merayap. Aku lihat sebongkah musim
mengambang. Mereka adalah orang-orang yang penuh derita, sama sepertiku,
berbaring dalam altar nasib. Tapi luka lebih parah, sebab aku tak mampu berbuat
apa-apa demi cinta. Demi Prita. Mengapa perempuan itu bisa bahagia dengan
seorang laki-laki selain aku?
Aku susuri gili-gili pada tepi jalan. Mataku menatap pohon
suren dari jauh sana. Pikiranku melanglang buana ke tempat di mana
orang-orang mencari keberuntungan dengan jalan melanggar hukum tapi bisa
dianggap biasa atau memenuhi prosedur. Semuanya pasti akan beres dan tak
kentara. Sebab aku adalah petugas jaga. Tak akan ada yang tahu aku berbuat sama
seperti para calo kartu-kartu itu. Aku tersenyum dan meludahi jalan setapak
itu.
***
Sungguh berkah musim dalam siruh-surihnya. Mata tua itu
memandang ke luar jendela. Melihat ranting-ranting patah dan bulan pucat
kehabisan darah. Ia raba lengan kirinya. Ia ingat selongsong peluru panas
pernah menembus lengannya. Betapa indahnya medan yang penuh darah itu. Ia dan
teman-temannya berteriak seperti kini para mahasiswa yang berdemonstrasi. Dulu
adalah zaman-zaman cinta yang manis. Di mana manusia menaburkan lidah-lidah
belasungkawa dan doa-doa berletusan ke angkasa setiap hari.
Hari ini ia kehilangan uang yang tak pernah ia miliki. Anak
perempuannya yang membayarkan kartu kompensasi itu untuknya sebesar lima puluh
ribu rupiah. Petugas baru membelikannya kartu bila ia telah membayar. Itulah
yang dikatakan Munir, menantunya.
“Pak, sekarang di kota, kencing saja harus bayar.”
“Ya, Tuhan! Jadi mendapatkan dana juga harus bayar? Kemarin
kan kau dengar sendiri kata Pak RT?”
“Ya, memang begitulah yang sudah tertata.”
“Ah keterlaluan betul mereka! Setengah mampus dulu aku
membela-bela negara ini, masa untuk seorang veteran saja mereka tak mau
menanggung sisa hidupku.”
“Sabar, Pak! Yang penting kan Bapak tak perlu lagi membayar.
Setiap tiga bulan mendapat dana.” Munir menatap arang di atas meja. Tentu ia
tak menginginkan ada arang lagi di atas meja makan mertuanya.
“Aku ini sudah bau tanah. Sebenarnya tak butuh pula uang,
arang saja sudah cukup. Rencananya, aku ingin tabung uang itu untuk membeli
sepetak tanah kuburku.” Munir diam. Ia memaklumi tingkah Bapak istrinya. Banyak
orang tua yang seperti itu bila mereka telah benar-benar tua.
Ia pergi setelah menyerahkan kartu itu. Ada perasaan
sungkan, entah mungkin karena tidak enak ketika lelaki tua itu menerima kartu
itu.
Satu hal yang tidak bisa ia lenyapkan dari pikirannya adalah
ia mungkin saja menyusahkan anak perempuannya.
Ia berjalan menghampiri jendela dan menekuri dirinya di
sana. Besok ia harus mengantri untuk uang tanah kuburnya.
***
Waktu menetes tapi mataku berjalan di tengah-tengah. Sosok
perempuanku menunggu, wajahnya tampak diremas-remas oleh perasaan cemas. Ia
diam saja di sudut itu, sesekali ia melongok melihat sudah sampai mana Bapaknya
mengantri.
Maafkan aku, Prita. Aku tak tahu bagaimana seharusnya
orangtuamu yang tinggal satu itu harus membayar harga diriku sebagai laki-laki
pemujamu.
Antrian itu mulai berdesak-desakan. Beberapa orang ibu-ibu
tiba-tiba datang dengan penuh emosi dan mengeluh padaku sambil marah-marah.
Mereka mengeluhkan karena mereka tak mendapatkan kartu padahal mereka terdaftar
sebagai orang miskin. Mereka juga mengeluhkan kalau orang-orang yang
mendapatkan kartu adalah orang-orang yang mapan yang hanya mengambil dana itu
untuk sekadar membeli pulsa telepon selularnya.
Antrian semakin tidak beres, sebab baik yang sudah memiliki
kartu atau belum bercampur menjadi satu. Panas yang membakar mulai hadir di
kepala para penyandang dana. Mereka yang tidak memiliki kartu marah-marah di
loket terlalu lama sedangkan antrian terlalu panjang.
“Hoi, Bu jangan lama-lama di situ! Kita di sini juga
ngantri.”
“Pak, bagaimana ini? Penghasilan saya kan tidak sampai
seratus ribu per bulan. Masa Bapak tidak percaya?”
“Ya, kartu bisa menyusul yang penting kan namanya sudah
terdaftar di kantor RT.”
“Wah maaf, Bu. Tidak bisa seperti itu, semua sudah ada
peraturannya.”
“Gimana sih pemerintah ngurus rakyatnya?”
“Jangan gitu, pemerintah juga kasihan. Rakyatnya kan banyak,
Bu.”
“Yang sabar, Bu.”
“Situ enak ngomong, sini kelaparan.” Tiba-tiba semuanya menjadi
kacau. Para petugas akhirnya turun tangan dan aku lengah memantaumu.
Orang-orang itu berteriak huru hara, menjadi berang. Mereka
semua kesetanan terpanggang emosi. Aku tak mengerti apa yang terjadi. Mereka
saling dorong dan begitu kasar. Orang-orang yang aku kenal jinak-jinak itu
menjadi liar tak terkontrol. Riuhnya mereka, teriakan mereka, membuat hatiku
bergetar. Inikah kemarahan orang-orang miskin?
“Tolong bawa Bapakku! Tolong bawa Bapakku!” aku
mendengar suara Prita, perempuanku. Waktu berjalan terlalu cepat dan aku tak
sempat mencerna. Dana itu lumer ke tangan-tangan yang mungkin bukan haknya dan
aku hanya bisa melihat wajahmu merah dan dilumuri air mata.
Ia tidak menyahut. Sebutir peluru menyambutnya lagi. Kali
ini tidak di lengan kirinya. Tidak pula di lengan kanan. Tidak di mana-mana.
Tapi di jiwanya.
Lelaki tua itu menjadi ringan dan kembali muda. Ia bangkit
dari pembaringannya, mengantongi peluru dan menyandang senjatanya di bahu. Tak
lupa ia bersiul tentang lagu-lagu kemerdekaan. Ia menapaki pagi itu dengan
ditemani mimpi sebab apalagi yang membuat manusia terjaga selain mimpi?
Lelaki itu ingin pergi dari dunia tuanya dan kembali ke masa
lalu. Di mana perjuangan bukanlah menjadi sesuatu yang sulit seperti masa kini.
Perjuangan baginya adalah dendang yang menyenangkan. Sungguh masa tuanya adalah
penjajahan atas kerjakerasnya di masa muda.
Lelaki itu tak ingin lagi menengok ke belakang meski anak
perempuannya memanggilnya. Sudah saatnya zaman berganti dan ia harus undur diri
dan digantikan generasi baru. Tapi ia takut menengok ke belakang, macam itukah
orang-orang yang akan melanjutkan perjuangannya?
Anak perempuannya sudah besar dan ia tak memerlukan dirinya
lagi. Anak perempuannya telah mendapatkan suami yang benar dan ia bisa pergi
dengan tenang.
Lelaki itu lelah. Ia tak tahu bagaimana akan dikubur sebab
ia belum mendapatkan sepeser pun. Tapi ia tahu, bumi akan menerima dengan
senang hati dan menanam jasanya seperti ia menimbun pin merah putihnya di dalam
kantong baju seragamnya.
***
Padang-padang tengadah. Kabut malam belum luruh tapi air
matamu telah jatuh. Kau yang diiringi orang-orang itu kini menjadi yatim piatu.
Di dada lelakimu kau bersandar dan tersedu. Ada laki-laki hebat pemakan arang
yang telah wafat untuk uang kuburnya. Aku merasa naas. Ada penyesalan dan rasa
bersalah di dadaku seperti tertembus peluru-peluru itu.
Air mataku luruh. Aku memang tidak suka pada Bapaknya tapi
tak ingin membunuhnya. Ada banyak kejahatan yang orang-orang sepertiku perbuat
dan mereka tak pernah merasa berdosa bahkan mengulanginya berkali-kali. Tapi
mereka tak pernah dilindungi cinta sehingga mereka tak tahu bagaimana rasanya
menderita.
Para penduduk yang tidak puas itu masih melapor padaku. Aku
sibuk mencatat keluhan mereka yang isinya sama saja. Tidak mendapat kartu,
harus membayar uang administrasi, orang-orang yang mendapat dana bukan
orang-orang miskin yang memang harus mendapat subsidi. Duh, kaya betul
pemerintah mau memberi dana untuk itu setiap tiga bulan. Aku jadi ingat
bagaimana Nabi Sulaiman meminta pada Tuhan untuk memberi makan ikan di laut
sehari saja.
Tapi aku tak bisa berpikir serius. Pikiranku selalu kembali
padamu.
“Mas Khalis, Pak Wardiman meninggal.”
“Ya, aku sudah tahu. Ia meninggal karena sudah tua. Sudah
waktunya.”
“Ia meninggal karena kehabisan nafas terjepit dan
terdorong-dorong antrian.”
“Salah sendiri kenapa orang-orang tidak mau sabar.” Aku
menyelesaikan catatanku. Semua orang sudah tahu, dulu aku sangat mencintai
Prita.
“Lho, Mas Khalis kok ngomong seperti itu?” Anak muda itu menatapku
dengan tatapan herannya, tapi aku tidak peduli. Dia juga sudah tahu masa lalu.
“Sudah. Kau mau lapor apa?”
“Sepertinya di desa Kuwu tempat tinggal Pak Wadiman, ada
yang tidak beres. Mas harus tahu, pembayannya Pak RT juga dapat dana.
Jangankan itu, bahkan Pak Haji saja dapat kartu, keluarga bermotor juga dapat
kartu. Masa yang dapat kartu orang-orang semacam itu?” Aku mendengarkan cerita
anak muda itu baik-baik.
“Aku juga merasa ada hal yang tidak beres.” Pemuda itu
tersenyum. Ia senang mendengar jawabanku. Aku harus melaporkan berita ini ke
pusat.
Orang-orang telah berkumpul di halaman rumah Pak RT malam
ini. Hatiku ringsek usai pemakaman Pak Wadiman. Betapa bencinya aku dengan
pejabat rukun tetangga itu. Kalau bukan karenanya tentu aku tak perlu memungut
uang untuk sekadar mempermainkan laki-laki tua itu. Dan orang itu sudah
seharusnya menguruskan kartu dana itu bagi penduduknya yang sudah terdaftar
kategori miskin. Tentu mereka tak akan berebutan minta subsidi dan
berdorong-dorongan hingga menghilangakan nyawa seorang veteran.
“Saya kan sudah bilang saudara-saudara, semua keluarga
miskin pasti mendapat dana kompensasi tunai,” kata Pak RT menenangkan
kerumunan.
“Alah, persetan! Kami setuju kalau semuanya tidak kebagian
dana daripada keluarga dekat petugas saja yang mendapat kartu dana itu.”
Celetuk seorang warga.
“Kalian bicara apa? Jangan emosi begitu.” Pak RT membela
diri. Aku pikir kerumunan itu sebentar lagi mulai bertindak anarkis.
“Saya tahu, yang menerima dana bahan bakar minyak itu
keponakannya sendiri,” ujarku memberanikan diri.
“Khalis? Kalian semua hendak mendemoku? Memang benar suami
keponakan saya dapat dana tapi lantaran mereka memang layak dapat.”
“Sudah. Kalian bubar! Tidak tahukah kalian bahwa tadi sore
seorang warga kita meninggal?” kata seorang hansip, tapi penduduk terus
berteriak-teriak. Mereka tidak puas dengan jawaban itu.
“Pak RT macam apa yang kita punya ini. Kita hancurkan saja
semua….” Seorang pemuda berteriak dari belakang. Tiba-tiba hatiku bergetar
dengan dahsyatnya. Bahkan aku melihat ibu-ibu mengacungkan golok ke angkasa.
Masa beringas, lebih beringas dari antrian siang tadi. Aku tak sanggup
membendung mereka. Mereka tumpah bagai air bah dan membanjiri rumah Pak RT.
Mereka berlarian, berhamburan, seperti anai-anai di musim
panen. Mereka melempari batu, melempari caci, seperti melempari peluru-peluru.
Begitu keras dan blingsatan.
“Tolong hentikan!”
“Kami marah. Di mana kalian taruh perut kami?”
“Kami ingin kartu-kartu itu tanpa perlu membayar atau ada
potongan!”
“Hentikaaannn….!”
Sisa malam menyusut menjadi batu. Batu-batu berhamburan
memecahkan mimpi semalam. Pintu rumah itu telah koyak dan isinya berhamburan ke
mana-mana. Kertas-kertas, surat-surat, semua terobrak-abrik. TV 24 inchi pun
menjadi sasaran keberingasan warga. Yang lolos hanya beberapa kwintal beras
raskin saja. Ia berhamburan di lantai marmernya.
Aku mengelus dada. Salahku?
Pagi ini, di rumah seorang petugas jaga malam tempat Pak RT
melarikan diri, pejabat rukun tetangga itu menghabisi nyawanya sendiri dengan mereguk
racun serangga. Istri dan anak-anaknya meraung-raung. Mereka bilang Pak RT
semalaman stres berat dan merasa terteror.
Aku tak tahu pernyataan itu benar atau salah. Tapi kematian
Pak RT tidak menyurutkan rasa kacauku dan rasa bersalahku padamu.
Prita, dengan tudung hijaumu kau berdiri kaku di atas
gundukan tanah merah itu. Menebar doa, tangis, dan kata-kata. Suamimu mungkin
menunggumu di pematang. Kini semua orang tak akan lagi mendengarkan cerita
perjuangan dari bibir Bapakmu. Tidak pula mereka merasa iba lagi dengan
arangnya di atas meja.
Aku menghampirimu. Melihat rantang yang kau bawa lalu
melihat perutmu yang tengah hamil muda. Tentu rantang makanan itu untuk
suamimu.
“Prita, bagaimana kabarmu? Aku turut berduka atas kematian
Bapakmu.” Ia tidak menyahut. Air matanya mengalir saja.
“Kasihan Bapak.”
“Ya.”
“Kau sendiri saja?” dia tidak menyahut.
“Biar aku antar.” Tapi ia menggeleng, menyusut air matanya
dan pergi begitu saja.
Kau yang hamil muda itu berjalan tanpa semangat. Tapi kainmu
mengisut rerumputan dan membuat mereka segar. Sebenarnya ingin kuhancurkan
benih dalam kandunganmu itu. Tapi aku tak bisa sebab ia tidur sepertiku dulu,
meringkuk seperti trenggiling dibalut ari-ari dan ketuban. Sungguh air adalah
kuasamu, Prita, perempuan-perempuan yang sempurna dengan air mata.
Perlahan kau terobos matahari, menyusuri setapak itu. Tak
kau hiraukan peluru-peluru menembus jantung dan hatiku, meninggalkan luka dan
bekas yang menganga. Bapakmu mungkin membawa bekas pelurunya sebagai kenangan,
tapi aku mati begitu saja tanpa pujaan. Kau pun ingin segera raib dalam
pandangan.
Oktober 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar